Saturday, December 1, 2007

Islam Puritan Anak Kandung Kolonialisme Barat


Diterbitkan oleh situs harian Rakyat Merdeka
www.rakyatmerdeka.co.id

Sabtu, 06 Oktober 2007, 12:59:08 WIB

Oleh: Buya Abd Aziz Aru Bone


KEBANGKITAN puritanisme Islam modern yang memimpikan terjadinya the re-birth of Islamic Civilization, erat kaitannya dengan era panjang kolonialisme Eropa di Timur Tengah. Kesadaran yang lahir di kalangan bangsa Arab sebagai respon terhadap kolonialisme adalah, bahwa yang paling berbahaya dari kolonialisme bukanlah dominasi militer Barat, melainkan invasi kultural ideologi Barat yang mengikis kepercayaan umat terhadap validitas ajaran Islam. Komunisme, sekularisme, demokrasi, liberalisme, pun diletakan sebagai ideologi Barat yang mengancam koherensi dan validitas Islam.

Karena itu, seruan untuk kembali kepada autentisitas Islam dipandang sebagai solusi untuk menghadapi invasi kultural Barat yang menyertai kolonialisme. (El Fadl, 1997:2). Kesadaran tersebut tidak hanya dialami kalangan Islam Sunny, tapi juga Islam Shi�ah di Iran, Irak, Lebanon dan Suriah (Mallat, 2003:4).

Kesadaran untuk kembali kepada autentisitas Islam bukan saja ingin membebaskan Timur Tengah dari kolonial Eropa, tapi lebih dari itu ingin kembali menciptakan the re-birth of Islamic Civilization dengan menempatkan tradisi Nabi Muhammad di masa Madinah sebagai sumber legitimasi dan otoritas.

Tapi tidak sedikitpun mimpi tersebut terwujud, meski pun pioner pemikir modern Islam; Muhammad Abduh dan Rasyid Ridho telah membuka jalan bagi terjadinya Islamic Renaissance dengan mengupayakan penyatuan modernisme Barat dan tradisi Islam pada fase kedua kebangkitan Islam Arab yang terjadi antara tahun 1870 hingga 1900. Abduh dan Ridho berupaya menafsirkan ulang Islam agar senantiasa sesuai dengan kehidupan modern minus pendirian negara Islam.

Kedua tokoh ini bekerja pada tataran pemikiran untuk meyakinkan umat bahwa mereka tetap dapat mengadopsi sisi positif modernisme Barat tanpa harus tercerabut dari tradisi dan nilai-nilai agama.

Akan tetapi, berakhirnya kolonialisme Eropa dan secara bersamaan dimulainya dominasi militer-ekonomi Uni Soviat dan Amerika Serikat di Timur Tengah yang diawali dengan pecahnya Perang Dunia Kedua, kembali melahirkan gerakan Ashabiyah nasionalisme Pan Arab dengan gagasan pokoknya, semua negara Timur Tengah yang berbahasa Arab adalah sebuah kesatuan politik, dan Islam Kafah yang diusung Ikhwanul Mislimin di Mesir dengan gagasan, menjadikan Islam sebagai satu-satunya dasar yang shahih dalam pengaturan sosial dan politik. (Hourani, 1983: xxii).

Jauh sebelumnya, Muhammad ibn �Abd al-Wahhab juga telah memproklamerkan ideologi politik serupa di Saudi Arabia dengan Wahabismenya (op.cit:xvii).
Terinspirasi Ikhwanul Muslimin dan Wahabisme, Islam pun kembali hadir sebagai ideologi sosial dan politik di era Arab modern. Islam kembali diletakan dalam kerangka politik sebagai ad-din wa ad-dawlah (agama dan Negara).

Pembajakan besar-besaran atas Islam sebagai basis otoritas dan legitimasi politik pun kembali mulai dibangun. Jika Abduh dan Ridho berupaya melakukan penyatuan Islam dan modernisme Barat tanpa mengagendakan pendirian negara Islam atau tidak menempatkan Islam sebagai ideologi sosial dan politik.

Maka Ikhwanul Muslimin dan Wahabisme sebaliknya, yakni, memerangi modernisme serta memberangus tradisi aliran intelektual Islam klasik, seperti, Mu�tazilah, Maturidiyah, Asy-Ariyah, dan tradisi fiqh berbagai mazhab sebagai bid�ah dan khurafat, sembari menyerukan kembali kepada Al-Qur�an dan As-Sunnah. Secara bersamaan, Ikhwanul Muslimin dan Wahabisme juga menyerukan penolakan terhadap semua ideologi dan konsep sosial-politik Barat, dengan pengecualian materialisme Barat.

Dalam kondisi demikian, terjadilah kemandekan intelektual, karena di satu sisi menutup diri dari nilai-nilai Barat, di sisi lain melakukan pemberangusan warisan tradisi intelektual Islam klasik.

Revitalisasi puritanisme Islam memang bukan hanya disebabkan faktor di luar Islam; hegemoni kultural idelogi-idelogi Barat yang menyertai kolonialisme Barat di Timur Tengah. Harus juga diakui bahwa, seperti halnya agama-agama lain, secara normatif sumber otoritas teks Islam; Al-Quran dan As-Sunnah, juga membuka peluang untuk ditafsirkan dengan lagam puritanistik. Ini lantaran watak dasar kedua sumber otoritas itu berwatak terbuka. Sebagai teks mati, makna Al-Quran dan As-Sunah diberikan oleh pembaca dan penafsirnya. Dalam menakukan tafsir, tentu si penafsir terikat pada konteks sosial-politik zamannya.

Dengan konteks seperti inilah, tokoh penting dan ideologi Ikhwanul Muslimin Sayyid Qutb meramu tafsir tentang jihad sebagai ajaran ofensif, bukan defensif. Penafsiran Qutb inilah yang dipakai oleh pelbagai kelompok Islam untuk membenarkan penggunaan kekerasan atas semua yang mereka anggap sebagai musuh-musuh Islam.
Dalam lagam penafsiran yang puritanistik-tekstual ala Qutb, Islam puritan mendapatkan justifikasi teologis untuk menolak semua idelogi dan konsep-konsep sosial politik Barat yang dinilai mengancam koherensi dan validitas Islam, termasuk demokrasi yang meniscayakan egaliterianisme, partisipasi dan kontrol publik, berkeadilan, menghargai kemajemukan dan pluralisme.


Menatap Indonesia

Kini Islam puritan yang akarnya dapat ditelusuri hingga Wahabisme dan Ikhwanul Muslimin hadir di Indoensia dimotori sejumlah gerakan keislaman, seperti, Hizbut Tahrir dan Majelis Mujahidin. Seperti halnya di Timur Tengah, Islam puritan Indonesia juga mengagendakan pembentukan negara Islam dan formalisasi Syariat Islam. Selain itu, juga menolak konsep sosial-politik Barat, seperti, demokrasi. Jika di Timur Tengah puritanisme Islam memberangus tradisi kritis aliran intelektual Islam klasik, seperti, Mu'tazilah, Maturidiyah, Asy-Ariyah, dan tradisi fiqh berbagai mazhab sebagai bid'ah dan khurafat, sembari menyerukan kembali kepada Al-Quran dan As-Sunnah. Maka di Indonesia mereka mengarahkan anak panahnya kepada Islam moderat Indonesia sebagai modal kultural demokrasi yang dimotori ormas-ormas Islam, seperti, NU, Muhammadiyah, Persis dan Nahdlatul Wathon.
Tapi berbeda dengan di tempat asalnya, Timur Tengah, Islam puritan Indonesia tumbuh dan mengembangkan dirinya dengan memanfaatkan demokratisasi yang kini tumbuh dan meniscayakan kebebasan berpendapat dan berorganisasi.

Inilah dilema demokrasi, ibarat pohon, ia memberi tempat kepada apapun untuk hidup selama tidak melanggar hokum positif yang merupakan social contract, bahkan terhadap parasit yang mengancam kelangsungannya.

Kehadiran Islam puritan di Indonesia yang menjadi ancaman terhadap demokrasi merupakan tantangan bagi Islam moderat yang sejak kehadiran Islam di Indonesia mengambil peran kultural dengan menempatkan Islam sebagai way of life, bukan ideologi sosial-politik.

Hemat saya, meski keberadaannya mengancam demokrasi, perlawananan terhadap puritanisme Islam tidak perlu melibatkan campur tangan negara, seperti yang dikehendaki Ketua Umum PBNU Hasyim Muzadi (Sindo, 26 Februari 2007). Biarkan saja demokrasi yang sedang tumbuh ini menjadi pasar bebas bagi ide-ide keagamaan. Perlawanan terhadapnya sebaiknya dilakukan secara cultural dengan memberikan pemahaman kepada kaum muslimin Indonesia tentang pentingnya Islam Indonesia mengambil peran cultural sebagai way of life, bukan sebagai ideologi tertutup.

Karena tidak seperti Islam Arab, dengan peran kulturalnya Islam Indonesia mengikuti gerak sejarah yang non-linear, yang mengalami kontinuitas, diskontinuitas dan perubahan. Dalam konteks Islam Indonesia, gerak sejarah itu mampu direspon secara terbuka dan adaptif, termasuk terhadap ide-ide progesif dan demokrasi. Wallahu A'lam bi as-Showab.

Tuesday, November 20, 2007

Kala Kita Membajak Agama

Oleh: Buya Abd Aziz Aru Bone
diterbitkan oleh situs www.myrmnews.com pada rublik Gazebu, edisi 21/11/2007

Secara umum, agama-agama lahir dari rahim dunia yang penuh krisis dan hadir untuk menjawab berbagai krisis tersebut. Karena itu, para Nabi pembawa agama bukan saja menempatkan agama sebagai jalan pencarian spiritual bagi kaum beriman untuk berbagi kebenaran menuju Yang Maha Benar, tapi secara sosiologis juga menempatkan agama sebagai perangkat revolusioner bagi pembebasan umat dari berbagai persoalan dan krisis kemanusiaan.

Di tangan para Nabi, agama tidak saja merupakan jalan spiritual meniti kebenaran dan pensucian diri bagi kaum beriman buat melampaui dunia yang dilanda aneka kemelut menuju Yang Maha Benar, tetapi secara praksis dalam ranah sosial, agama mampu ditampilkan oleh para Nabi sebagai perangkat yang membebaskan umatnya dari derita kemiskinan, kebodohan, ancaman ketertindasan dan perilaku tidak adil.

Maka dengan menampilkan dua wajah agama di tengah krisis zamannya, Nabi Musa bukan saja menjadikan agama sebagai energi spiritual bagi umatnya, tapi juga menjadi perangkat pembebasan pengikutnya dari otoritarianisme Fir’aun, penguasa Mesir Kuno.

Pun bagi Nabi Isa (Yesus), agama tidak saja merupakan mata air cinta dan kasih sayang, tetapi juga sumber inspirasi yang membebaskan Bangsa Yahudi dari kekaisaran otoriter Romawi yang kala itu dipimpin Herodes.

Atau bagi Nabi Muhammad, ia tidak saja menjadikan Islam sebagai jalan menyerahkan diri kepada Yang Maha Mutlak, tapi juga sebagai perangkat revolusioner bagi pembebasan masyarakat Arab dan Dunia.

Pendek kata, para Nabi mampu memfungsikan agama secara seimbang sebagai jalan kesholehan individual yang sejalan dengan kesholehan sosial. Karena memang, secara umum tujuan pokok pewahyuan agama bukan untuk Tuhan, tetapi kepentingan manusia guna membebaskan manusia secara individual maupun secara sosial di kehidupan kini dan nanti dari berbagai krisis, derita dan malapetaka, guna merengkuh kebahagiaan hidup di kehidupan kini dan nanti.

Bagi kita yang hidup jauh dari masa para Nabi. Kita kerap mengklaim bahwa kita beragama sama seperti agama yang peluk para Nabi. Tapi kini apa yang tersisa dari agama kita kini?

Berbeda 180 derajat dengan agama di tangan para Nabi, di tangan kita agama bukan saja gagap memberikan jawaban atas berbagai krisis kemanusiaan modern. Bahkan, oleh novelis seperti AN Wilson penulis buku, Against Religion, Why We Should Live Without It, agama digambarkan sebagai sumber konflik dan pertikaian, bukan saja antar pemeluk agama, tapi juga antar pemeluk seagama.

Wilson menggambarkan, semakin taat seorang pemeluk agama kepada Tuhan, ia semakin merasa mendapatkan justifikasi teologis untuk menghancurkan yang lain yang berbeda dari ajaran yang ia yakini benar. Yang berbeda adalah sesat dan kafir. Yang sesat dan kafir harus dilawan, bila perlu dengan cara-cara kekerasan.

Maka semakin merasa dirinya taat pada Tuhan, orang seperti ini biasanya semakin merasa benar sendiri dan merasa memiliki justifikasi teologis untuk menghancurkan yang tidak sejalan dengannya, baik terhadap yang seagama, apalagi yang berbeda agama.

Gambaran Wilson yang menempatkan agama sebagai sumber kekerasan dan pertikaian ini sungguh tidak berlebihan, apabila kita melihat agama lebih ditempatkan sebagai legitimasi perebutan klaim kebenaran atau bila kita membajak agama, hingga mencerabut agama dari fungsinya sebagai jalan untuk saling berbagi kebaikan guna mengatasi krisis kehidupan yang terjadi dalam level individual tiap kita, maupun pada level sosial kita.

Karena itu sikap menempatkan agama-agama sebagai corpus terbuka, inklusif, jalan untuk mendialogkan dan saling berbagi kebenaran, adalah merupakan keniscayaan dan salah satu langkah fundamental guna mengembalikan fungsi agama-agama seperti halnya ketika ia berada di tangan para Nabi pembawanya.

Jika tidak, maka tesis AN. Wilson yang memandang agama sebagai sumber konflik akan selalu menemukan pembenarannya. Jika tidak, maka agama-agama formal akan semakin kehilangan legitimasinya di mata sebagian masyarakat.

Dalam konteks Indonesia kini, maraknya berbagai aliran yang divonis sesat, saya rasa juga merupakan cerminan hilangnya kepercayaan sebagian masyarakat terhadap agama-agama formal. Karena agama-agama formal bukan saja dinilai gagal memainkan perannya sebagai jalan keselamatan yang mampu memberikan solusi atas problematika individual dan sosial seperti yang dicontohkan para Nabi di atas, alih-alih turut menjadi sumber masalah. Wallahu lam

Thursday, August 30, 2007

Delegitimasi Elit Agama

Oleh: Buya Abd Aziz Aru Bone

Diterbitkan www.rakyatmerdeka.co.id
Rublik GAZEBU
Jumat, 31 Agustus 2007, 08:38:08 WIB

Setiap usai shubuh berbagai stasiun televisi dan radio menyiarkan beragam acara keagamaan. Berbagai gaya dan tipe ustad, kiai, pendeta dan biksu tampil sebagai narasumber menyerukan berbagai nilai moral agama masing-masing. Tapi di seberang sana, realitas sosial masyarakat seakan tak tersentuh apa-apa. Angka kriminalitas terus melonjak dari tahun ke tahun, kekerasan mengatasnamakan agama antarpemeluk agama atau antarpemeluk seagama sering terjadi, meski bertahun-tahun pelaksanaan dialog lintas iman teramat sering kita dengar. Anda pun bisa menambah daftar kesenjangan dalam benak masing-masing.

Ada sejumlah variable yang berpengaruh dan sejumlah sudut pandang untuk menjelaskan fakta ini. Tapi terlepas dari variable dan sudut pandang sosial, politik, pendidikan, kultural dan ekonomi yang ada dalam benak anda, saya berpendapat bahwa para elit agama -secara sadar atau pun tidak- sebenarnya turut bersumbangsih besar atas hilangnya fungsi praksis etika agama.

Dalam sudut pandang ini, kondisi tersebut saya rasa menjelaskan delegitimasi para elit agama oleh umatnya. Delegitimasi tersebut mengakibatkan mulai memudarnya pengaruh elit agama terhadap gerak dan etika sosial kaumnya. Delegitimasi disebabkan akumulasi kekecewaan umat beragama terhadap elit agama yang secara terus-menerus mempertontonkan inkonsistensi antara ucapan, normativitas agama dengan sikap praksisnya.

Berbagai politisasi agama kalangan elit agama di panggung Pemilu dan Pilkada menegaskan asumsi bahwa, elit agama bisa dibeli oleh politisi dan pengusaha, praktek korupsi oleh elit agama ketika duduk dalam birokrasi, keberpihakan elit agama terhadap kebijakan pemerintah yang jelas-jelas merugikan rakyat, kegagalan elit agama dalam memainkan peran sosialnya sebagai oposan pengelola negara dan penyambung lidah rakyat yang terhimpit dalam tingkat kesejahteraan hidup yang menyesakan dada, serta berbagai contoh lain yang memperlihatkan pengkhianatan elit agama, adalah tindakan yang mempertontonkan inkonsistensi dan pengkhianatan elit agama, bukan saja terhadap aspirasi dan kepercayaan umatnya, tapi juga ajaran agamanya. Puncaknya, akumulasi dagelan para elit agama itu secara perlahan seakan ingin mengkonfirmasi dugaan publik, bahwa banyak para elit agama tidak memiliki integritas moral untuk dijadikan teladan dan panutan.

Disinilah delegitimasi terjadi, tapi tidak dalam bentuk peniadaan elit agama secara personal dan institusional, melainkan dalam bentuk penegasian atau penafian terhadap tuntunan (baca: ajaran moral) yang keluar dari lidah para elit agama. Dalam bahasa yang sederhana, kondisi ini bisa diwakilkan oleh adegium, “Agamawan kita adalah tontonan, bukan penuntun.”

Delegitimasi elit agama menyebabkan normativitas nilai-nilai agama yang kerap didengungkan di mimbar khutbah di tempat-tempat ibadah, ceramah radio dan televisi, kehilangan gaungnya dalam realitas. Dalam kondisi demikian, pesan-pesan agama itu hanya merupakan seruan kosong tanpa makna kerena kehilangan praksisnya. Akan tetapi, karena basis kultural masyarakat Indonesia yang demikian kokoh, delegitimasi terhadap elit agama tidak berlanjut pada delegitimasi institusi agama.

Agen Kebaikan

Dalam perannya sebagai “agen kebaikan,” para elit agama dituntut untuk menjadi model yang mempraksiskan etika agama dalam realitas individual dan sosialnya. Harapan ini meniscayakan tuntutan, para elit agama harus memberikan orientasi kemanusiaan dalam pembicaraan tentang Tuhan dan ketaatan manusia kepadan-Nya. Itu artinya, harus mengembalikan normativitas agama menjadi aksi praksis.

Dalam konteks berbagai problematika kehidupan kita bermasyarakat, tuntutan ini dapat diturunkan dalam berbagai agenda praksis. Misalkan, penghentian politisasi agama oleh para elit agama di panggung pemilu dan pilkada, kesederhanaan hidup yang menggambarkan hadirnya rasa keprihatinan terhadap rendahnya tingkat kesejahteraan rakyat kecil, hadirnya konsistensi antara normativitas ajaran agama yang diucapkan oleh para elit agama di berbagai mimbar khutbah, siaran televisi, radio dan tumpukan buku dengan sikap sosial mereka, keberpihakan aktif para elit agama terhadap rakyat kecil menyangkut isu-isu sosial-kemanusiaan, kehadiran sikap oposan-kritis para elit agama dalam peran sosial-kulturalnya sebagai “agen kebaikan” untuk sepenuh hati berpihak pada kepentingan rakyat ketika berhadapan dengan kebijakan pemerintah yang merugikan rakyat.

Pendek kata, para elit agama digugat untuk mengembalikan fungsi revolusioner agama dalam ranah sosial-kultural seperti yang pernah dicontohkan para nabi, namun selama ini dikhianati.

Seperti dicontonkan para Nabi, di tangan mereka agama tidak hanya urusan tentang Tuhan. Di tangan para Nabi agama hadir sebagai perangkat revolusioner bagi pembebasan umat dari berbagai persoalan hidup kemanusiaan. Peran praksis agama ini pernah dicontohkan oleh Nabi Musa saat membebaskan pengikutnya dari otoritarianisme Fir’aun, penguasa Mesir Kuno. Juga pernah dicontohkan Nabi Isa (Yesus) saat membebaskan bangsa Yahudi dari kekaisaran otoriter Romawi yang kala itu dipimpin Herodes. Pun pernah dicontohkan Nabi Muhammad saat membebaskan masyarakat Arab dan dunia.

Maka di tangan para nabi, agama hadir sebagai perangkat pembebasan masyarakat yang tertindas. Dalam sejarahnya, para Nabi selalu menempatkan diri sebagai oposan penguasa yang sangat kritis, tanpa takut tetapi sangat cerdas. Dalam sejarahnya, para Nabi senantiasa berpihak pada rakyat tertindas dan menjadi oposan yang cerdas terhadap penguasa dalam berbagai isu sosial-politik pada zaman mereka.

Karena memang, pembebasan seseorang atau komunitas sosial dari derita kemiskinan, kebodohan, ancaman ketertindasan, perilaku tidak adil, adalah tujuan pokok pewahyuan agama. Disini pula lah sebenarnya terletak inti utama ajaran berbagai ritus keagamaan.

Karena itu adalah pengkhianatan terhadap Tuhan dan para Nabi jika para elit agama melakukan politisasi agama, bersikap acuh pada berbagai penderitaan rakyat, tidak konsisten antara sikap hidup dalam ranah sosial dengan kata-kata yang keluar dari lidahnya di berbagai mimbar khutbah, siaran TV dan radio. Pun adalah pengkhianatan pada agama jika para elit agama tidak memiliki keberanian membela rakyat yang jelas-jelas dirugikan oleh kebijakan penguasa, bersikap loyal dan tidak kritis terhadap pemerintah. Seperti halnya juga merupakan sebuah dosa, jika para elit agama menggunakan agama untuk menghadirkan militansi umatnya untuk berbuat kerusakan dan menyebarkan ketakutan di tengah masyarakat dengan mengatasnamakan agama.

Tentu saja, tanggungjawab melakukan perbaikan yang dimulai dengan sikap konsisten antara normativitas etika agama dengan sikap hidup bukan hanya berada di pundak para elit agama. Dalam beragam profesi dan bidang pengabdian yang kita geluti, kita dituntut untuk bersikap seperti itu.

Adapun konteks kehidupan bernegara dan bermasyarakat, maka juga meniscayakan perbaikan sistemik-kultural dalam ranah politik, sosial, hukum untuk menghadirkan kultur-sistem yang transparan, accountable, bersih, yang mampu memaksa setiap individu untuk mempraksiskan nilai moral saat berada dalam sistem dan kultur tersebut. Wallahu a’lam

Ciputat, Rabu dinihari, 29 Agustus 2007.

Friday, August 17, 2007

Puritanisme Islam dan Pengkhianatan Elit Politik

Oleh, Buya Abd Aziz Aru Bone

Diterbitkan rakyatmerdeka.co.id pada rublik gazebo Sabtu, 18 Agustus 2007, 15:30:37 WIB.

Hari Minggu (12/8) kemarin, sekitar 90 ribu massa Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) memadati Gelora Bung Karno (GBK) Senayan, Jakarta , dalam acara bertajuk, “Saatnya Khilafah Memimpin Dunia; Konferensi Khilafah Internasional 2007.” Organisasi Islam puritan yang menyatakan diri sebagai gerakan politik dengan agenda pembentukan Khilafah Islamiyah ini secara tegas menyatakan, menolak konsep sosial-politik Barat, seperti, konsep negara-bangsa (nation-state) dan demokrasi.

Dengan pembentukan Khilafah Islamiyah, HTI bukan saja bercita-cita melenyapkan demokrasi dan negara-bangsa Indonesia , tapi juga mencita-citakan semua negara berpenduduk muslim mayoritas sebagai satu kesatuan politik.

Kebangkitan Islam puritan yang aktornya diperankan oleh gerakan keislaman seperti HTI, erat kaitannya dengan era panjang kolonialisme Eropa di Dunia Islam, terutama Timur Tengah. Kesadaran yang lahir di kalangan dunia Islam sebagai respon terhadap kolonialisme Barat di era kolonial adalah, bahwa yang paling berbahaya dari kolonialisme bukanlah dominasi militer Barat, melainkan invasi kultural ideologi Barat yang mengikis kepercayaan umat terhadap validitas ajaran Islam. Maka berbagai konsep sosial politik yang diidentifikasi berasal dari Barat, seperti, nation-state, sekularisme, demokrasi dan liberalisme, diletakan sebagai musuh yang harus diperangi karena dipandang mengancam koherensi dan validitas Islam. Dan seruan untuk kembali kepada autentisitas Islam dipandang sebagai solusi untuk menghadapi invasi kultural Barat. (El Fadl, 1997:2).

Dalam konteks pasca kolonial kini, sikap menempatkan dunia Islam pada kutup yang berlawanan secara diametral dengan Barat terus berlanjut dengan mengambil beragam agenda dan strategi, dari yang paling radikal melalui berbagai gerakan terorisme yang dimotori oleh organisasi seperti Al-Qaeda, hingga yang mengambil perlawanan politik-kultural dengan melakukan penolakan secara menyeluruh dan fundamental atas berbagai konsep sosial politik Barat, seperti yang dipelopori organisasi gerakan keislaman Hizbut Tahrir di berbagai negara.

Meski berbeda agenda dan strategi aksi, tapi gerakan Islam puritan ini sama-sama memposisikan Barat sebagai the others (meminjam istilah Edward W Said) yang menyebabkan keterpurukan Dunia Islam melalui kolonialisme duhulu, hingga imperealisme kini.

Sikap menempatkan Barat sebagai lawan juga dipicu dan seakan mendapatkan justifikasi teologis oleh pembacaan teks-teks keagamaan dengan lagam puritanistik.

Kaitannya dengan ini, tokoh penting dan ideologi Ikhwanul Muslimin yang merupakan organisasi asal Hizbut Tahrir, Sayyid Qutb, meramu tafsir tentang jihad sebagai ajaran ofensif, bukan defensif. Dalam lagam penafsiran yang puritanistik-tekstual ala Qutb, Islam puritan juga mendapatkan justifikasi teologis untuk menolak semua ideologi dan konsep-konsep sosial politik Barat yang dinilai mengancam koherensi dan validitas Islam, termasuk demokrasi dan nation state.

Kini Islam puritan hadir di Indoensia. Selain dipengaruhi dua faktor di atas, tumbuh suburnya puritanisme Islam di Indonesia pasca runtuhnya rezim Orde Baru, juga merupakan aktualisasi kekecewaan masyarakat bawah atas peralihan politik dari rezim Orde Baru ke Era Reformasi yang sama sekali tidak berdampak pada perbaikan kesejahteraan rakyat.

Kecewa terhadap elit politik yang tidak menunjukan komitmen sungguh dan kepedulian penuh pada rakyat, rakyat pun bukan saja tidak percaya terhadap elit politik, tapi juga tidak percaya terhadap demokrasi. Lalu memandang penuh harap pada gerakan puritanisme agama yang dipandang memberikan harapan baru di dunia dan bumbu-bumbu janji syurgawi di kehidupan setelah mati.

Maka perlawanan terhadap puritanisme Islam Indonesia , sebenarnya bukan saja merupakan tantangan dan tanggungjawab kalangan muslim moderat dan civil sosiety, tapi juga elit politik.

Meski kehadirannya mengancam demokrasi dan negara-bangsa Indonesia , perlawananan terhadapnya tidak perlu melibatkan tangan besi kekuasaan negara, karena akan bertentangan dengan prinsip demokrasi yang meniscayakan kebebasan berorganisasi dan berpendapat. Biarkan saja demokrasi yang sedang tumbuh ini menjadi pasar bebas bagi ide-ide keagamaan.

Perlawanan terhadapnya sebaiknya dilakukan secara kultural oleh kalangan Islam moderat dan civil society dengan memberikan pemahaman kepada kaum muslimin Indonesia tentang pentingnya meletakan Islam sebagai corpus terbuka, moderat, dan mengambil peran kultural dalam relasi Islam dan negara, bukan sebagai ideologi politik tertutup yang legal-formalistik. Karena tidak seperti Islam Arab, dengan peran kulturalnya Islam Indonesia mengikuti gerak sejarah yang non-linear, yang mengalami kontinuitas, diskontinuitas dan perubahan. Dalam konteks Islam Indonesia , gerak sejarah itu mampu direspon secara terbuka dan adaptif, termasuk terhadap ide-ide progesif dan demokrasi.

Itu saja tidak cukup, tugas berat juga diemban para pengelola negara dan elit-elit politik untuk segera mengakhiri pengkhianatannya terhadap rakyat dan nilai-nilai demokrasi. Bahwa kini sudah saatnya para elit politik harus menunjukan keseriusan, komitmen tinggi dan keberpihakan pada rakyat agar perubahan politik yang terjadi secara langsung dapat berpengaruh positif pada perbaikan kesejahteraan rakyat, bukan hanya pergantian kekuasaan politik di tingkat elit.

Keberpihakan sepenuh hati pada kesejahteraan rakyat, merupakan keniscayaan muktak untuk menumbuhkan optimisme rakyat terhadap demokrasi sekaligus membendung arus puritanisme Islam yang mengancam nation-state dan demokrasi Indonesia . Lantaran, puritanisme Islam tumbuh subur di Indonesia pasca Orde Baru, bukan hanya sebagai respon atas sikap politik Barat terhadap dunia Islam yang tidak adil dan disokong oleh pemahaman keislaman yang puritanistik, tapi juga dipicu oleh kekecewaan terhadap elit politik dan pengelola negara yang kerap mempertontonkan pengkhianatan atas nilai-nilai demokrasi dan tidak memiliki keberpihakan sepenuh hati kepada rakyat.(**)

Sunday, August 5, 2007

Islam Melawan Poligami


Oleh: Buya Abd Aziz Aru Bone*

Diskursus poligami masih terus bergulir dan telah menjadi perdebatan hangat. Tapi banyak orang salah paham tentang poligami. Mereka mengira poligami baru dikenal setelah Islam datang. Mereka menganggap Islamlah yang membawa ajaran poligami, bahkan ada yang secara ekstrim berpendapat bahwa jika bukan karena Islam, poligami tidak akan dikenal dalam sejarah manusia. Pendapat demikian sungguh kejam dan menyesatkan.

Berabad-abad sebelum Islam diwahyukan, masyarakat di berbagai belahan dunia telah mengenal dan mempraktekkan secara luas poligami di Yunani, Persia, dan Mesir kuno. Di jazirah Arab sendiri, jauh sebelum Islam, masyarakatnya telah mempraktekkan poligami tak berbatas. Poligami bukanlah suatu hal yang aneh ataupun tercela. Karena bagi mereka beristri lebih dari satu adalah sesuatu yang lumrah. Perempuan pada saat itu nilainya sangat rendah dan lemah. Ketika Islam datang, kebiasaan poligami itu tidak serta merta dihapuskan. Namun, setelah ayat yang menyinggung poligami diwahyukan, Nabi Muhammad lalu melakukan perubahan yang radikal sesuai dengan petunjuk kandungan ayat (Siti Musdah Mulia, 2004).

Ada dua ayat Al-Qur’an terkait poligami yang kerap diperdebatkan.
Pertama, ayat 3 pada Surah An-Nisa:

وَإِنْ خِفْتُمْ أّلاَّتُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى فَانكِحُوا مَاطَابَ لَكُم مِّنَ النِّسَآءِ مَثْنَى وَثُلاَثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّتَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَامَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلاَّتَعُولُ
و

Terjemahan:
Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. (QS. 4:3)
Kedua, Surat An-Nisa ayat 129:

وَلَن تَسْتَطِيعُوا أَن تَعْدِلُوا بَيْنَ النِّسَآءِ وَلَوْ حَرَصْتُمْ فَلاَ تَمِيلُوا كُلَّ الْمَيْلِ فَتَذَرُوهَا كَالْمُعَلَّقَةِ وَإِن تُصْلِحُوا وَتَتَّقُوا فَإِنَّ اللهَ كَانَ غَفُورًا رَّحِيمًا
Terjemahan:
Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil diantara isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. 4:129)

Kita akan mendiskusikan kedua ayat di atas dengan menyertai pembacaan beberapa tokoh intelektual Islam atas kedua ayat tersebut, setelah secara sekilas kita berbicara tentang praktek poligami Nabi yang sebenarnya merupakan penentangan terhadap praktek poligami masyarakat pada masa beliau.

Nabi Muhammad Melawan Poligami

Banyak orang beranggapan bahwa karena Nabi mempraktekan poligami, maka mereka mengganggap poligami merupakan sunnah Nabi. Anggapan seperti ini keliru besar dan sangat menyesatkan. Sebab, tidak semua tindakan atau perbuatan Nabi dapat dijadikan sumber syariah dalam ketetapan hukum Islam. Ada tindakan atau perbuatan Nabi yang bersifat tasyri’iyyah, ada juga tindakan Nabi yang bersifat af’al jibiliyyah. Khaled Abou El-Fadl menyebut hal ini secara padat dengan menyertai beberapa contoh.

In the discourse on the prophet’s legacy (sirāh), not all of the prophet,s are of equal imperative value. Rather, their value is depedent upon their categorization. Some of the sunnah is tasyri’iyyah (intended by the prophet to be legislative) and some constitutes af’al jibiliyyah (personal behavior not intended by the prophet to be legislative). The non legislative (jibiliyyah) category includes sunnah that relates to specialized or technical knowledge on things such as medicine, commerce, agriculture or war. It also includes matters that are peculiar to the person of the propet such as number of his wife or sawm al wisal. (El Fadhl: 2001).

Karena itu poligami yang dilakukan Nabi dipandang sebagai upaya transformasi sosial. Mekanisme poligami yang diterapkan Nabi merupakan strategi untuk meningkatkan kedudukan perempuan dalam tradisi feodal Arab pada abad ke-7 Masehi. Saat itu, nilai sosial seorang perempuan dan janda sedemikian rendah sehingga seorang laki-laki dapat beristri sebanyak mereka suka. Dalam hal ini, praktek poligami Nabi bertujuan membatasi praktik poligami tanpa batas masyarakat Arab saat itu, selain itu juga mengkritik perilaku sewenang-wenang, dan menegaskan keharusan berlaku adil dalam berpoligami.

Maka ketika Nabi melihat sebagian sahabat telah mengawini delapan sampai sepuluh perempuan, mereka diminta menceraikan dan menyisakan hanya empat. Itulah yang dilakukan Nabi kepada Ghailan bin Salamah Al-Tsaqafi, Wahb al-Asadi, dan Qais bin al-Harits. Nabi juga marah besar ketika mendengar putri beliau, Fatimah binti Muhammad SAW, akan dipoligami Ali bin Abi Thalib RA. Ketika mendengar rencana itu, Nabi pun langsung masuk ke masjid dan naik mimbar, lalu berseru; “Beberapa keluarga Bani Hasyim bin Al-Mughiroh meminta izin kepadaku untuk mengawinkan putri mereka dengan Ali bin ABi Thalib. Ketahuilah, aku tidak akan mengizinkan, sekali lagi tidak akan mengizinkan, sungguh tidak aku izinkan, kecuali Ali bin Abi Thalib menceraikan putriku, ku persilakan mengawini putri mereka. Ketahuilah, putriku itu bagian dariku; apa yang mengganggu perasaannya adalah menggangguku juga, apa yang menyakiti hatinya adalah menyakiti hatiku juga.” (Jami’ al-Ushul, Juz XII)

Sama dengan Nabi yang berbicara tentang Fatimah, hampir semua orangtua tidak akan rela jika putrinya dimadu. Seperti dikatakan Nabi, poligami akan menyakiti hati orangtua dan wanita (baca: istri) yang dipoligami.
Dari sini kita juga menarik pemahaman, bahwa dari awal Islam telah memperjuangkan hak-hak kaum wanita (baca: istri) dengan secara gradual melakukan pembatasan terhadap kebiasaan berpoligami masyarakat saat itu dengan tujuan menetapkan hukum dasar hanya mempraktekan monogami (satu istri).


Al-Qur’an Melawan Poligami

Dengan mempertimbangkan tradisi Nabi di atas, kita dapat menarik kesimpulan bahwa Islam pada dasarnya hanya membolehkan seorang suami memiliki seorang istri saja, demi menjaga ketenangan kehidupan berkeluarga dan agar lebih mudah menjaga, memelihara dan mendidik anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut.

Namun, para ulama masih berbeda pendapat tentang hukum perkawinan poligami, apakah boleh atau tidak. Perbedaan pendapat ini justeru timbul saat mendiskusikan kedua ayat al-Qur’an; An-Nisa ayat 3 dan An-Nisa ayat 129. Lantaran terbuka peluang pada redaksi kedua ayat tersebut untuk ditafsirkan Al-Qur’an membolehkan poligami.

Seperti sudah kita tegaskan sejak awal, Islam bukanlah agama yang mula-mula mengajarkan poligami. Sewaktu Islam datang, poligami sudah umum dilakukan masyarakat. Bahkan poligami di kala itu, merupakan poligami yang mutlak tanpa batas. Kemudian Islam sebagai “agama baru” yang hadir dalam tatanan masyarakat patriakhal berusaha menentang poligami dengan secara simultan memberikan respon terhadap realitas yang demikian dengan melakukan pembatasan atau mencari sintesa atau jalan tengah. Tujuannya jangka pendeknya, yaitu, agar praktek poligami masyarakat Arab saat itu (masa awal dan generasi Islam klasik yang patriakal) yang tidak bisa dihapus secara serta merta, dapat menjadi rahmat kepada setiap orang dan dapat menjaga keutuhan rumah tangga dan masyarakat. Hal ini sejalan dengan tradisi kenabian yang sudah kita sebutkan di atas.

Permasalahan kemudian adalah, lahirnya modernisme menuntut terjadinya kesetaraan relasi pria dan wanita. Dalam konteks perubahan sosial yang menuntut penerapkan kesetaraan lelaki dan perempuan, poligami dilihat sebagai sistem masyarakat primitif, yang meningkat dan menurun sejalan dengan meningkat dan menurunnya kondisi perempuan.
Maka membebaskan wanita dari sistem poligami adalah suatu langkah untuk memajukan wanita, karena poligami sudah tidak sesuai lagi dengan zaman modern, dimana wanita sudah memperoleh hak-haknya dengan sempurna. Sedangkan poligami merupakan sistem perkawinan yang menitikberatkan kesejahteraan laki-laki dengan mengorbankan kedudukan dan kemuliaan wanita (Chadijah Nasution,1976).

Terlepas dari pembahasan ada atau tidaknya pengaruh gerakan femenisme modern terhadap penafsiran keislaman. Saya ingin menegaskan bahwa para pemikir Islam yang menolak poligami seperti Muhammad Abduh, Rasyid Ridho, Fazlur Rahman dan Nasr Hamid Abu Zayd, telah berupaya memberikan penafsiran baru atas An-Nisa ayat 3 dan ayat 129. Penafsiran mereka berbeda dengan penafsiran berbagai tafsir para ahli fiqh dan ahli tafsir klasik yang diketahui membolehkan poligami empat istri.

Berikut saya kutipkan kembali dua ayat tersebut lalu merangkum pembacaan para tokoh di atas tentang kedua ayat tersebut.
Surah An-Nisa ayat 3:


وَإِنْ خِفْتُمْ أّلاَّتُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى فَانكِحُوا مَاطَابَ لَكُم مِّنَ النِّسَآءِ مَثْنَى وَثُلاَثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّتَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَامَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلاَّتَعُولُو

Artinya:
Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. (QS. 4:3)

Dan Surat An-Nisa ayat 129:

وَلَن تَسْتَطِيعُوا أَن تَعْدِلُوا بَيْنَ النِّسَآءِ وَلَوْ حَرَصْتُمْ فَلاَ تَمِيلُوا كُلَّ الْمَيْلِ فَتَذَرُوهَا كَالْمُعَلَّقَةِ وَإِن تُصْلِحُوا وَتَتَّقُوا فَإِنَّ اللهَ كَانَ غَفُورًا رَّحِيمًا
Terjemahan:
Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil diantara isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. 4:129)


Pada umumnya para ulama klasik dari kalangan mufassir (ahli tafsir) maupun faqih (ahli fiqh) berpendapat, berdasarkan ayat di atas, pria muslim dapat menikahi empat perempuan. Tafsir ini telah mendominasi nalar seluruh umat Islam.

Tetapi Ulama seperti Muhammad Abduh (1849-1905) tidak sepakat dengan penafsiran itu. Dalam Tafsir Al-Manar ia mengatakan, baginya diperbolehkannya poligami karena keadaan memaksa pada awal Islam muncul dan berkembang di Jazirah Arab. Pertama, saat itu jumlah pria sedikit dibandingkan jumlah perempuan akibat mati dalam peperangan antar suku dan kafilah, maka sebagai bentuk perlindungan, para pria menikahi perempuan lebih dari satu. Kedua, saat itu Islam masih sedikit sekali pemeluknya. Dengan poligami, perempuan yang dinikahi diharapkan masuk Islam dan memengaruhi sanak-keluarganya. Ketiga, dengan poligami terjalin ikatan pernikahan antarsuku yang mencegah peperangan dan konflik.

Kini, keadaan telah berubah. Poligami, papar Abduh, justru menimbulkan permusuhan, kebencian, dan pertengkaran antara para istri dan anak. Efek psikologis bagi anak-anak hasil pernikahan poligami sangat buruk: merasa tersisih, tak diperhatikan, kurang kasih sayang, dan dididik dalam suasana kebencian karena konflik itu. Suami jadi suka berbohong dan menipu karena sifat manusia yang tidak mungkin berbuat adil.
Islam, menurut Abduh, adalah agama yang menganut perkawinan monogami, sebagaimana tendensi Al-Quran sendiri mengarah pada kesimpulan ini. Ia menggambarkan, seandainya perkawinan poligami diizinkan, persyaratan adil yang diberikan dalam surat an-Nisa ayat 3 tersebut susah untuk dipenuhi. Ia justru melihat, bahwa dalam ayat tersebut tidak ada kesan dorongan berpoligami tapi malah lebih pada kecaman terhadapnya.

Dalam konteks keadilan, Fazlur Rahman sebagaimana dikutip Musdah Mulia mengemukakan bahwa, frase keadilan yang diisyaratkan al-Quran untuk orang yang ingin berpoligami bukan dengan ukuran materi, tetapi cinta. Dengan merujuk ayat-ayat lain, seperti surat Al-Rum ayat 21 dan surat Al-Baqoroh ayat 187, Rahman mengemukakan bahwa Al-Quran menghendaki hubungan suami istri harus berlandaskan atas cinta dan kasih sayang. Jadi jika ukuran keadilan adalah materi, mustahil al-Quran mengatakan kemusykilan laki-laki untuk tak dapat berlaku adil meski ia menginginkannya. Ketika al-Quran mengatakan “Dan sesungguhnya kamu tidak akan sanggup berlaku adil terhadap istri-istrimu meskipun kamu ingin melakukannya”, maka secara jelas Al-Quran mengatakan bahwa perkawinan yang ideal dalam Islam adalah monogami (Musdah Mulia, 2004).

Lebih lanjut, argumentasi pembatalan poligami, dalam Tafsir al-Manar Abduh menjelaskan dalam tiga butir penjelasan, pertama; sesungguhnya syarat poligami adalah penerapan keadilan. Apabila dijumpai satu orang dalam satu juta maka tidaklah benar, dalam hal ini, untuk dijadikan prinsip. Ketika terjadi kerusakan pada jiwa-jiwa, yang dapat menguatkan bahwa para laki-laki itu tidak bisa berbuat adil kepada istri mereka, maka boleh bagi hakim untuk menolak poligami secara mutlak karena mempertimbangkan mayoritas. Kedua, ketika poligami laki-laki cenderung memperlakukan istri-istri mereka dengan buruk dan mengingkari hak-hak mereka dalam nafkah lahir dan batin. Hal tersebut adalah alasan bagi hakim untuk melarang poligami sebagai pencegahan terhadap kerusakan yang luas. Ketiga, bahwa sumber kerusakan dan permusuhan antar anak adalah perbedaan ibu. Oleh karena itu, boleh bagi hakim atau tokoh agama untuk melarang poligami untuk menyelamatkan rumah tangga dari kehancuran.

Tapi Abduh juga mengemukakan bahwa poligami dapat dilakukan hanya dalam kondisi darurat. Memiliki lebih dari seorang istri, kata Abduh, diperkenankan hanya dengan satu syarat yakni istri pertama terbukti tidak dapat memberikan keturunan. Itu disebabkan karena tujuan perkawinan dalam Islam, menurut Abduh, adalah untuk mempunyai keturunan. Gambaran pemikiran Abduh tentang poligami menjelaskan bahwa upaya Abduh, meski menentang poligami, namun belum mengisyaratkan ketegasan yang mutlak. Pada beberapa hal, Abduh masih terlihat toleran terhadap praktek berpoligami. Ini dapat dilihat, misalnya, ia selalu menyinggung bolehnya berpoligami. Dalam keadaan darurat namun harus tercipta di dalamnya kedamaian dan kemaslahatan dan tidak memunculkan kedzoliman.
Meski demikian, pada akhir pembahasannya, Abduh mengatakan dengan tegas bahwa poligami haram qat’y (haram mutlaq) karena syarat yang diminta adalah berbuat adil, dan itu tidak mungkin dipenuhi manusia. (lihat Tafsir al-Manar, Muhammad Rasyid Rida,t.th).

Dalam menjelaskan syarat berbuat adil yang ditetapkan oleh Abduh, intelektual Indonesia Syafiq Hasyim mengatakan, Prinsip keadilan inilah yang digarisbawahi Abduh ketika dia mengeluarkan fatwa yang sangat menghebohkan untuk ukuran zamannya. Fatwah Abduh yang dikeluarkan pada tahun 1298 H. Abduh mengatakan bahwa syariat Muhammad SAW, memang membolehkan laki-laki mengawini empat perempuan sekaligus, jika tidak mampu berbuat adil, tidak diperbolehkan beristri lebih dari satu. Menurut Abduh, apabila seorang laki-laki tidak mampu memberikan hak-hak istrinya, rusaklah struktur rumah tangga dan kacaulah penghidupan keluarga. Padahal, tiang utama dalam mengatur kehidupan rumah tangga adalah adanya kesatuan dan saling menyayangi antar anggota keluarga.

Syafiq mengatakan, dengan demikian Abduh sangat menekankan pada keadilan yang kualitatif dan hakiki, seperti perasaan sayang, cinta, dan kasih, yang semuanya ini tidak bisa diukur dengan angka-angka. Hal ini sesuai dengan makna yang dikandung dalam istilah yang digunakan oleh al-Qur’an, yaitu al‘adalah, yang memang memiliki makna yang lebih kualitatif. Adapun keadilan yang dikemukakan oleh para ahli fiqh klasik lebih cenderung bersifat kuantitatif, yang sebenarnya lebih tepat untuk kata qisthum. Keadilan kuantitatif ini bersifat rentan karena sifatnya mudah berubah.
Keadilan kuantitatif tersebut, lanjut Syafiq, terdapat dalam aturan-aturan fiqh mengenai poligami, misalnya tentang pembagian rezeki secara merata di antara istri-istri yang dikawini, pembagian jatah hari (giliran), dan sebagainya. Para ahli fiqh tidak memperhatikan aspek-aspek yang kualitatif yang justru sangat menentukan, misalnya rasa saying,, cinta, tidak pilih kasih, memihak, dan sebagainya. Padahal, keadialn kualitatif ini menjadi prioritas utama. Orang yang bisa mencapai keadilan kuantitatif,belum tentu bisa mencapai keadilan kualitatif (Syafiq Hasyim, 2001).

Sementara Nasr Hamid Abu Zayd dalam bukunya yang diterbitkan dan diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dan diberi judul, Dekonstruksi Gender, mendiskusikan problem poligami pada Surat An-Nisa ayat 3 dengan tiga fokus pembahasan:

a. Konteks teks itu sendiri. Dia memulai pembahasan ini dengan mempertanyakan terabaikannya makna “atau budak-budak perempuan yang kamu miliki” pada ayat tersebut. Yang ia maksudkan adalah, bahwa praktek hukum memiliki tawanan perang atau budak perempuan sebagai selir yang boleh digauli dalam wacana Islamis telah hilang selamanya, sementara pada sisi yang lain poligami terus menerus dipertahankan. Padahal, menurutnya, hal itu telah ditetapkan oleh teks yang sama tingkat kejelasan dan ketegasannya.

Penjelasan para pengikut salafi literal dalam hal ini, lanjutnya, mengungkapkan kerancuan dan lemahnya pendapat mereka mengenai teks, lebih dari itu mengungkapkan juga kerancuan dan lemahnya cara pandang mereka terhadap kehidupan secara umum, bahkan terhadap teks-teks keagamaan. Dalam hal ini, pengikut salafi sebenarnya tidak menghilangkan indikasi “budak yang dimiliki itu” secara sengaja, tetapi tidak menyadari bahwa “hilangnya” hukum menggauli budak perempuan ini diniscayakan oleh dinamisnya kehidupan realitas manusia.

Dalam artian, Abu Zayd ingin mengatakan bahwa hal itu terjadi sebagai sebab dari perjuangan manusia untuk mengembalikan kebebasan mereka yang telah didominasi oleh sebagian yang lain dalam konteks system ekonomi sosial kuno. Dalam hal ini Abu Zayd memaksudkan pada gerakan perempuan (emansipasi).
Fenomena ”hilangnya” hukum menggauli budak yang dimiliki ini, menurut Abu Zayd, menunjukkan hilangnya kesadaran akan historisistas teks-teks keagamaan, bahwa ia adalah teks linguistic dan bahwa bahasa adalah sebuah produk social dan cultural. Sebagaimana Muhammad Abduh, Abu Zayd berargumen bahwa izin bagi seorang laki-laki untuk menikah dengan empat orang istri haruslah diletakkan dalam konteks hubungan antar manusia. Khususnya hubungan antara laki-laki dan perempuan sebelum kedatangan Islam

Abu Zayd menegaskan bahwa al-Quran merupakan perbuatan yang menyejarah, suatu peristiwa yang terwujud dalam sejarah dan terkondisikan oleh akal objek pembicaraannya (mukhatabun) dan karakter realitas social serta budaya yang terwujud di dalamnya. Abu Zayd berbicara di luar asumsi bahwa al-Quran adalah Azali atau Qodim. Baginya, historisitas kalam ilahi merupakan perkara yang tidak membutuhkan dalil di luar sejarah itu sendiri. Bahwa fenomena “hilangnya” hokum “budak yang dimiliki” adalah dilampaui oleh perkembangan social manusia tentunya tidak didalilkan di dalam teks.

b. Meletakkan teks dalam konteks al-Quran secara keseluruhan. Dalam fokus ini, Abu Zayd meniscayakan bahwa peletakkan teks di dalam konteksnya yang lebih luas dapat mengungkapkan suatu dimensi makna yang penting dalam wacana, yaitu, dimensi yang tersembunyi atau disembunyikan (al-maskut ‘anhu) atau “yang tak terkatakan”, dalam pengertian bahwa yang implisit pada akhirnya dapat diungkapkan.

Teks al-Quran sendiri juga menyarankan untuk hanya memiliki seorang istri jika suami takut tidak bisa berbuat adil; “jika kamu takut tidak akan bisa berbuat adil (terhadap mereka)maka seorang saja”, teks yang ditunjuk Abu Zayd sebagai penegasan dan bukti tentang karakter gerakan yang dibicarakan oleh teks tentang kedudukan perempuan di dalam realitas yang direspon wahyu. Demikian pula teks lain yang mengatakan bahwa bersikap adil terhadap para istri adalah tidak mungkin dilakukan; “kamu tidak akan bisa berlaku adil di antara istri-istri kamu meskipun kamu sangat berkeinginan melakukannya” (QS An-Nisa’ 4;129).
Makna yang menurut Abu Zayd sesuai dengan metode analisis linguistik tentang penegasan bahwa bersikap adil di antara para istri –dalam poligami- tidaklah mungkin.

c. Dengan mendasarkan secara logis pada dua fokus pembahasan tersebut, Abu Zayd mengusulkan sebuah pembaharuan hukum Islam. (dalam hukum Islam klasik, poligami diklasisifikasikan dalam “hal-hal yang diperbolehkan” (al-mubahah).

Jika pembolehan poligami dalam realitas merupakan “penyempitan” dan transisi terhadap poligami yang lebih luas dan mendahului hukumnya, maka tema pembolehan (ibahah) menurut Abu Zayd, tidaklah sesuai karena pembolehan terkait dengan hal yang tidak diperbolehkan oleh teks. Sementara pembolehan poligami dalam al-Quran pada hakikatnya adalah sebuah pembatasan dari poligami yang tidak terbatas yang telah dipraktekkan sebelum datangnya Islam. Pembatasan tidak berarti pembolehan.

Dengan demikian, sedikit berbeda dengan Abduh yang mengatakan pembatalan hukum pembolehan poligami sekaligus mengatakan hukum asal poligami haram qot’y (haram muktak) tapi masih memberi toleransi membolehkan poligami pada kondisi darurat dan terpenuhinya syarat dapat berlaku adil secara kuantitatif dan kualitatif, yang karena jika kedua unsur itu (darurat dan mampu adil) terpenuhi secara bersamaan dimungkinkan terjadinya dispensasi hukum untuk dibolehkan berpoligami. Tampaknya Abu Zayd mengharamkan poligami secara multak dengan memberikan tiga fokus pembahasan di atas tanpa memberi dispensasi hukum meski dalam kondisi darurat. Wallahu a’lam bi ashowab.

Tuesday, July 17, 2007

ISLAM FOR CHILDREN:

From Religious Rituals to Religious Responsibility

Buya Abdul Aziz Aru Bone

Most of parents strongly encourage their children to do some religious rituals every day, such as, pray five times a day without knowing the spiritual dimension of the religious obligation. Many parents strongly obligate their female children for wearing veil but the children know nothing about the meaning of veil obligation. Parents forget that the prophet Muhammad need 15 years preparing the first Moslem community before the veil obligation.

Parents strongly compulse that these religious rituals are obligated by God for every male and female moslem. Parents even know that their children are not being adults or unlawful by age according to Islamic Law (Syariah), but they prefer to obligate the religious rituals for children earlier without understanding do their children feel convertible or unconvertible of it.

On another words, at the beginning of our ages most of us had learned that Islam is a juristic religion with certain religious rituals an sich. At the beginning of our ages we were learning that Islam is a juristic religion an sich obligating believers about what is forbidden and what is permissible.

Most of parents forget that the first elements of Islam that Allah gave to the Prophet Muhammad SAW were not juristic elements but Tauhid, which is about religious responsibility. Specifically, some of the first wahyu (ayat or surah in Qur’an) that Allah gave to the Prophet were not obligation of prayer five times a day, shoum of Ramadhan, or another Islamic rituals. But about religious conciseness and religious responsibility about God and people as the representative of God in the earth (klalifatullah fi al-ardh).

Allah gradually had legislated the Islamic juristic elements step by step during 23 years of the prophet times. Those Islamic juristic elements had legislated gradually and simultaneously according to the growing of religious responsibility of the first Moslem community. On the other hand, the Islamic juristic elements were legislated according to some circumstances, conditions of the prophet friends (shohabah) and situations of the first moslem community in Makkah (before Hijrah) and Madinah (after Hijrah).

Based on the prophetic experiences, parents should realize that the religious responsibility must be the first element of Islamic teaching for children. It must be the fundamental element of developing moslem at the individual level.

The meaning of religious responsibility in Islam is that every man and woman have responsibility to God and another people. In doing so, Islam determines three fundamental values; correctness, ethic dimension and priority of values. A good moslem is not who perfectly do all of the religious rituals but put behind the ethic and priority values of individual and social orientation.

It means that all of the religious rituals, such as, veil obligation, pray five times a day and shoum of Ramadhan have ethic dimension and priority values for transformation Moslem at the individual and social level.
Islamic teaching for children should be focused on introduction children to the ethic dimension and priority values of the religious rituals at the individual and social level as main part of religious responsibility.

=========
Nb: Ya namanya juga belajar nulis dalam bahasa Inggris, jadi maaf kalau secara kebahasaan ada kekurangan.

Friday, June 29, 2007

Ibn Rusyd Pelopor Kajian Fiqh Perbandingan


Oleh: Buya Abd Aziz Aru Bone


Ibn Rusyd dikenal luas sebagai ahli Ilmu Kalam dan Filsafat. Tapi sedikit sekali yang menaruh perhatian bahwa Ibn Rusyd juga ahli fiqh (jurisprudensi hukum Islam). Karyanya yang berjudul Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid bukan hanya membahas perbedaan pendapat antarmazhab fiqh suni, tapi juga menjelaskan dan mendiskusikan secara sistematik-kritis berbagai argumentasi dan landasan ushuliyyah masing-masing pendapat hukum antarmazhab fiqh suni



Dunia intelektual Islam mempunyai penilaian tersendiri tentang Ibn Rusyd. Ilmuwan Islam kelahiran Cordova, Spanyol, 526 H/1126 M ini dikenal ahli berbagai bidang ilmu yang berkembang pada masanya. Ia mengusai Kedokteran, Ilmu Kalam, Filsafat, Ilmu Fiqh, Ushul Fiqh, Matematika, Astronomi dan Sastra Arab (Harun Nasution:1986).
Sebagai ahli kedokteran, ia adalah orang pertama yang mengatakan, jika seseorang pernah berjuang melawan penyakit cacar, maka sistem kekebalan tubuhnya akan melindungi dari serangan cacar seumur hidupnya. Ibn Rusyd juga merupakan ahli kedokteran pertama yang membuat gambar cara kerja dan kegunaan retina mata.

Sebagai ahli Ilmu Kalam dan Filsafat, ia seorang “fanatik” Aristotelian dan Platonian. Dia adalah pengagum berat Ilmu Mantiq Aristoteles dan menganggapnya sebagai sumber besar kebahagiaan. Sehingga ia menyesali, mengapa Aristoteles dan Plato tidak bertemu dengannya! Tetapi menurut alm. Prof. Nurcholis Madjid, segi lain yang lebih mengesankan dari Ibn Rusyd adalah, usahanya yang sungguh-sungguh untuk menggabungkan Agama dan Filsafat. Hal ini tercermin dalam salah satu karya terpentingnya yang berjudul, Fash al-Maqậl fi mậ baina al-Hikmah wa as-Syari’ah min al-Ittishậl. Nurcholish bahkan menyatakan, Ibn Rusyd lebih bersungguh-sungguh dibanding sejumlah filosof muslim sebelumnya, seperti, Al-Kindi, Al-Farabi, Ibn Sina dan lain-lain. Seperti yang ditegaskan Nurcholish, Ibn Rusyd mengajukan argumen bahwa, kebenaran agama dan kebenaran filsafat adalah satu, meski dinyatakan dalam simbol berbeda. Tapi Ibn Rusyd juga membela pandangan yang mengatakan bahwa, kebenaran tertinggi selalu bersifat filosofis, dan bagi yang mampu, harus diinterpretasikan demikian (Nurcholish Madjid: 1994)

Meski ahli dalam beragam disiplin ilmu yang berkembang pada masanya, ‘Abdul Mun’im Majid dalam Tarikh Al-Hadharoh Al-Islamiyyah fi Al-‘Ushur Al-Wustho menulis, sepanjang karir intelektualnya, Ibn Rusyd banyak mencurahkan pikirannya menulis Filsafat Aristotelian dan Platonian. Sehingga, filosof muslim yang di Eropa lebih dikenal dengan sebutan Averous ini dijuluki Sang Penafsir Terbesar Aristoteles dan Plato (‘Abdul Mun’im Majid: 1978).

Sementara Najati dalam Ad-Dirâsat An-Nafsiyyah ‘Inda Al-‘Ulama Al- Muslimin menulis, karya-karya Ibn Rusyd tentang Filsafat Aristotelian dan Platonian banyak yang diterjemahkan ke Bahasa Latin hingga mempengaruhi ahli-ahli pikir Eropa. Mengutip Muhammad Ali Abu Rayyan, Najati menyebutkan bahwa, pengaruh pemikiran Ibn Rusyd tampak jelas pada pemikir pelopor renaissance Eropa, seperti, Saint Thomas Aquinas dan Spinoza (Muhammad ‘Ustmani Najati: 1993)

Diantaranya dari karya-karya Ibn Rusyd, beberapa pioner pemikir awal renaissance Eropa mengenal Filsafat Helenisme yang pada akhirnya membebaskan Eropa dari The Dark Ages. Selain disebutkan oleh Najati, keterangan serupa juga disampaikan Nurcholis Madjid, Mun’im Majid dan Harun Nasution dalam buku mereka masing-masing sembari mengutip pengakuan beberapa sarjana Barat kontemporer.

Mengutip Rainan dalam bukunya Averous and Averousme, Najati juga mengatakan, karya-karya Ibn Rusyd mencapai 78 buku dan catatan yang cakupannya meliputi bidang Filsafat, Sastra Arab, Kedokteran, Fiqh, dan Astronomi. Banyak diantaranya yang hilang, sedikit sekali yang dapat dicetak. Najati menyebutkan, seluruh daftar karya Ibn Rusyd dapat diketahui dalam buku Mu’allafat Ibn Rusyd, sebuah buku yang khusus diterbitkan pada Festival Ibn Rusyd untuk memperingati delapan abad wafatnya.


Pelopor Kajian Fiqh Perbandingan

Meski dikenal luas sebagai ahli Ilmu Kalam dan Filsafat Islam, tapi tidak banyak yang menaruh perhatian bahwa Ibn Rusyd juga merupakan ahli Hukum Islam (jurist) atau faqih (plural: fuqoha). Kondisi serupa juga terjadi pada dunia akademik. Yasin Dutton, misalkan, dalam artikelnya yang berjudul The Introduction to Ibn Rusyd’s Bidayah al-Mujtahid pada jurnal Islamic Law and Society menyebutkan, hanya beberapa sarjana yang menulis Ibn Rusyd dalam kapasitas sebagai ahli hukum, seperti, artikel yang ditulis Brunschvig (1962), Abdel Magid Turki (1978), Dominique Urvoy (1991) dan disertasi Asadullah Yate (1991). Selebihnya, menulis Ibn Rusyd dalam kapasitasnya sebagai ahli Ilmu Kalam dan Filsafat (Yasin Dutton: 1994).

Adapun dalam bahasa Indonesia, telah banyak yang menulis Ibn Rusyd dalam kapasitasnya sebagai ahli Ilmu Kalam dan Filsafat, tapi penulis belum menemukan sebuah tulisan tentang Ibn Rusyd dalam kapasitasnya sebagai ahli hukum. Padahal karya Ibn Rusyd berjudul Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid, adalah karya klasik paling komprehensif dan sistematik dalam kajian Perbandingan Mazhab Fiqh Suni.
Ibn Rusyd memulai menulis Bidayah saat ia berusia 40-an tahun. Tapi karena suatu hal yang tidak ia jelaskan, ia baru menyelesaikan penulisannya 20 tahun kemudian atau tepatnya tahun 584 H/1188 M. Keterangan ini disebutkan Ibn Rusyd pada bagian akhir Bab Haji dalam karyanya, Bidayah.

Karya klasik ini digunakan kalangan pesantren yang akrab dengan kajian kitab kuning dan menjadi salah satu bacaan wajib para mahasiswa Jususan Perbandingan Mazhab dan Hukum IAIN/UIN, lantaran seperti tergambar dari judulnya, Bidayah memang merupakan rujukan permulaan bagi seseorang yang mulai belajar berijtihad dan akhir bagi seseorang yang mencukupkan dirinya dengan pengetahuan dasar hukum Islam. Maka dengan mempelajari Bidayah, seseorang diharapkan mencoba untuk berijtihad atas masalah-masalah yang belum ditemukan ketetapan hukumnya, maupun masalah fiqh klasik yang harus disesuaikan ketetapan hukumnya karena tuntutan al-maslahah sebagai konsekuensi loncatan zaman kontemporer.

Karena dalam Bidayah, Ibn Rusyd tidak hanya menyebutkan berbagai perbedaan pendapat mazhab-mazhab fiqh suni atas suatu masalah, tapi juga menjelaskan secara mendetil argumentasi-argumentasi perbedaannya .

Ibn Rusyd juga secara sistematik mempertimbangkan argumen-argumen utama yang menyebabkan terjadinya perbedaan pendapat para fuqoha lintas mazhab atas suatu masalah fiqh, ia juga menguak qowa’id (principles) ushuliyyah di balik berbagai perbedaan argumentasi yang ada. Lalu ia mendiskusikannya secara panjang lebar sembari melakukan analisis kebahasaan atas teks Al-Qur’an dan Al-Hadist yang dijadikan pijakan otoritas oleh para fuqoha dalam membangun argumentasi.

Bahkan pada tahap berikut, tak jarang ia mengunggulkan pendapat suatu mazhab dari mazhab yang lain atau mengambil qoul ar-rậjih, setelah mendiskusikan argumentasi terbaik masing-masing mazhab. Kadang pula, Ibn Rusyd mengungkapkan pendapatnya tentang suatu masalah, setelah menunjukan kelemahan argumentasi masing-masing mazhab yang ia diskusikan.

Dengan memperhatikan pendekatan Ibn Rusyd dalam penulisan Bidayah, tak berlebihan jika Ibn Rusyd ditempatkan sebagai salah seorang pelopor kajian Perbandingan Mazhab Fiqh (Muqoranah al-Mazhahib fi al-Fiqh).

Karena pada prinsipnya, pendekatan ini merupakan suatu pendekatan antarmazhab fiqh untuk menguji dan mendiskusikan pendapat maupun bangunan argumentasi masalah fiqh tertentu, guna mengetahui pendapat dan argumentasi mana yang paling unggul.

Selain memperlihatkan penguasaan Ibn Rusyd terhadap fiqh lintas mazhab, Bidayah juga memperihatkan penguasaan penulisnya terhadap disiplin ilmu Ushul Fiqh. Hal ini tampak pada bagian pengantar Bidayah. Dalam bagian pengantar yang hanya setebal tiga halaman ini (Bidayah edisi terbitan Dar al-Fikr, Cairo, tth.) Ibn Rusyd merangkumkan secara padat disiplin Ushul Fiqh yang ia jadikan sebagai landasan analisis-teori penulisan Bidayah.

Maka membaca Bidayah, kita tidak hanya disuguhkan beragam argumentasi dan perbedaan pendapat berbagai mazhab fiqh suni atas berbagai masalah fiqhiyah, tapi juga diajak untuk menyelami bagaimana suatu ketetapan hukum atas suatu masalah fiqh dibentuk dan bagaimana penggalian hukum (istinbanth) dilakukan.

Sebagai sosok yang juga ahli ilmu eksakta (kedokteran) dan filsafat, tentu saja paradigma rasional-empirik turut memempengaruhinya dalam penulisan Bidayah. Hal ini tampak pada beberapa pembahasan dalam Bidayah. Contoh, saat ia berbicara tentang cara menentukan ‘illa (operative cause of a ruling) dan maqsad (purpose of the ruling) dalam penggunaan metode Qiyas atau menarik kesimpulan dengan analogi. Tampak bahwa Ibn Rusyd menekankan pentingnya penalaran rasional dalam penerapan Qiyas, bukan saja agar mendapatkan pemahaman yang lengkap, tapi juga agar kesimpulam hukum atas masalah baru (furu’) yang dianologikan dengan masalah lama (ashl) karena ada kesamaan ‘illa ataupun maqsad (untuk Qiyas khafiyy) dapat diaplikasikan.

Contoh lain, bagaimana menentukan awal Ramadhan jika munculnya bulan sabit baru sebelum matahari terbenam. Dalam kasus ini, Ibn Rusyd terlebih dahulu menyebutkan pendapat para fuqoha dan menyertakan sejumlah hadist yang menjadi landasan argumentasi mereka. Ibn Rusyd lalu berargumen bahwa untuk kasus ini seseorang harus menggunakan nalar dan pengalaman objektif, bahwa jika bulan baru terlihat meski pada tengah hari atau sebelum matahari terbenam, maka ditentukan saat itu sebagai awal Ramadhan. Dengan kata lain, dalam kasus penentuan awal Ramadhan, Ibn Rusyd menggunakan metode rukyah, bukan hisab.

Diantara manfaat besar membaca Bidayah adalah, kita dapat mengetahui sebab terjadinya perbedaan pendapat berbagai mazhab fiqh suni atas berbagai masalah fiqh dan mengetahui bagaimana penggalian hukum dilakukan. Hal ini sangat penting agar membantu kita keluar dari taqlid buta. Hal lain, terbuka bagi kita memperdalam studi atas berbagai argumentasi dan ketetapan hukum yang diperselisihkan, sekaligus berbagai pendekatan penggalian hukum masing-masing mazhab atas masalah fiqh tertentu. Dengan demikian akan timbul kesadaran dan sikap saling menghargai, karena sadar bahwa semua pendapat mazhab yang berbeda tersebut dapat dipertanggungjawabkan. Wallahu a’lam bi as-showab.

Saturday, May 12, 2007

Islam Puritan Parasit Demokrasi


Oleh: Buya Abd Aziz Aru Bone
Alumnus Perbandingan Mazhab & Hukum, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Alumnus Pesantren Manbaul ‘Ulum Ashiddiqiyah serta Pesantren Khusus Hadist & Ilmu-ilmu Hadist Darus Sunnah


Beberapa gerakan Islam puritan, seperti, Majelis Mujahidin Indonesia dan Hizbut Tahrir Indonesia kembali mengagendakan formalisasi Syariat Islam dengan menjadikan Islam sebagai ideologi negara. Kini agenda tersebut tidak hanya dalam lingkup wacana. Lahirnya sejumlah peraturan Pemerintahan Daerah tentang pelacuran, miras, persyaratan pegawai negari sipil harus mampu membaca Al-Qur’an, yang beberapa waktu lalu sempat menghiasi pemberitaan media massa, merupakan langkah awal keberhasilan gerakan Islam puritan ini. Tulisan ini ingin menelusuri secara singkat latarbelakang sosial politik kehadiran gerakan Islam puritan di wilayah asalnya, Timur Tengah modern, untuk kemudian menegaskan kehadirannya di Indonesia sebagai parasit yang akan memberangus demokrasi.

Kolonialisme Eropa

Revitalisasi Islam puritan sangat erat kaitannya dengan kehadiran kolonial Eropa di Timur Tengah. Khaled M Abou El Fadl menjelaskan, transformasi intelektual bangsa Arab di era kolonial melahirkan kesadaran bahwa, ancaman paling berbahaya dari kolonialisme bukanlah invasi militer Eropa. Melainkan, invasi kultural ideologi Barat yang meruntuhkan sendi-sendi kepercayaan bangsa Arab terhadap koherensi dan validitas Islam. Marxisme, komunisme, sekularisme, kapitalisme dan liberalisme pun ditempatkan sebagai ideologi Barat asing dan mengancam koherensi dan validitas ajaran Islam. Maka seruan untuk kembali kepada autentisitas Islam dipandang sebagai solusi untuk menghadapi invasi kultural ideologi Barat yang menyertai kolonialisme (El Fadl, And God Knows The Solders, The Authoritative and The Authoritarian in Islamic Discourses, 1997:2). Kesadaran serupa tidak hanya lahir pada negara-negara Arab penganut Islam Sunny, tapi juga penganut Islam Syiah, seperti di Irak, Iran, Suriah dan Lebanon (Chibli Mallat, The Renewall of Islamic Law, Muhammad Bager as-Sadr, Najaf and the Shi’i International, 2003:4)

Cita-cita yang ingin diwujudkan saat itu, bukan saja membebaskan bangsa Arab dari kolonialisme Eropa, lebih dari itu untuk kembali mewujudkan keagungan peradaban Islam dengan menjadikan tatanan masyarakat Madinah di masa Nabi Muhammad dan para khalifah yang empat pada abad pertama hijriah sebagai model dan sumber otoritas.

Tapi dalam perkembangannya, tidak sedikitpun cita-cita itu terwujud. Padahal dua pioner pemikir modern Islam, Muhammad Abduh dan Rasyid Ridho telah membuka jalan bagi terjadinya Islamic Renaissance dengan mengupayakan penyatuan modernitas Barat dengan tradisi Islam klasik pada fase kedua kebangkitan Islam Arab yang terjadi antara tahun 1870 hingga 1900. Abduh dan Ridho saat itu berupaya menafsirkan ulang Islam agar senantiasa sesuai dengan kehidupan modern. Selanjutnya, era kolonial Eropa berakhir bersamaan dengan pecahnya Perang Dunia Kedua. Pada saat yang bersamaan, kekuatan militer-ekonomi Uni Soviet dan Amerika Serikat menggantikan kolonial Eropa. Proyek pemikiran Islamic Renaissance yang telah digagas Abduh dan Ridho, juga diganti gerakan ‘ashabiyah nasionalisme Pan Arab dengan gagasan pokoknya, semua negara Timur Tengah yang berbahasa Arab adalah sebuah kesatuan politik, dan Islam Kafah yang diusung Ikhwanul Mislimin di Mesir dengan gagasan, Islam menjadi satu-satunya dasar yang shahih dalam pengaturan sosial dan politik. (Albert Hourani, Pemikiran Liberal di Dunia Arab, 2004: xxii, alih bahasa). Jauh sebelumnya, Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhab telah memproklamerkan ideologi politik serupa di Saudi Arabia dengan Wahabismenya (op.cit:xvii)

Terinspirasi Ikhwanul Muslimin dan Wahabisme, Islam pun kembali hadir sebagai ideologi sosial dan politik di era Arab modern. Islam kembali diletakan dalam kerangka politik sebagai ad-din wa ad-dawlah. Pembajakan besar-besaran atas Islam sebagai basis otoritas dan legitimasi politik pun kembali mulai dibangun. Bedanya, jika Abduh dan Ridho berupaya melakukan penyatuan Islam dan modernitas Barat. Maka Ikhwanul Muslimin dan Wahabisme sebaliknya, yakni, memerangi modernisme serta memberangus tradisi aliran intelektual Islam, seperti, Mu’tazilah, Maturidiyah, Asy-Ariyah, dan tradisi fiqh berbagai mazhab sebagai bid’ah dan khurafat, sembari menyerukan kembali kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Terjadilah kemandekan intelektual, karena di satu sisi menutup diri dari nilai-nilai Barat, di sisi lain melakukan pemberangusan warisan tradisi intelektual.

Bernard Lewis, seperti dikutip Sukidi Mulyadi mensinyalir, kombinasi Islam sebagai agama (ad-din) dan negara (ad-dawlah); kombinasi yang suci dan yang profan, ikut menjadi hambatan serius dalam proses demokratisasi di Dunia Islam, khususnya Timur Tengah. Dengan semangat kembali kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah, di tangan rezim-rezim despotik-otoriter Timur Tengah, Nabi Muhammad senantiasa dipandang sebagai sosok pemimpin agama dan negara sekaligus. Dengan merujuk tradisi Nabi di Madinah, mereka mengklaim bahwa Nabi telah memberikan blue print konsep negara. Karena itu, hubungan Islam dan negara dicirikan legal-formalistik atau negara berideologi Islam (Sukidi, paper berjudul, Defisit Demokrasi di Dunia Islam, dalam Islam, Negara dan Civil Society, 2005: 229).

Padahal banyak ahli studi Islam berpandangan, Islam hanya memberikan prinsip-prinsip dasar kehidupan berpolitik yang menjadi tuntutan bagi kaum muslimin. Adapun pilihan bentuk ideologi negara, adalah masalah ijtihadiyah yang terkait erat dengan situasi dan kondisi sosial-politik dan problematika kaum muslimin di suatu wilayah.

Lebih dari itu, pengalaman Nabi di Madinah yang dijadikan sumber otoritas cita-cita kebangkitan puritanisme Islam seperti yang disebutkan di awal tulisan ini, justeru menunjukan bahwa, Nabi bukanlah pemimpin politik, melainkan pemimpin keagamaan.

Tegasnya, Nabi tidak pernah mendirikan negara Islam di Madinah, melainkan mempraktekan nilai-nilai dasar bermasyarakat yang baik yang ditandai dengan egaliterianisme (al-musaawah), partisipasi kontrol publik (amr bi al-ma’ruf wa nahy ‘an al-munkar) musyawarah (al-syuro), berkeadilan (al-‘adalah), menghargai kemajemukan dan pluralisme (at-ta’adduddiyah). Secara bersamaan, juga melarang masyarakat berbuat yang sebaliknya, seperti, aniaya (zholim), tidak loyal (al-khiyanah) dan lain-lain.

Tapi naifnya, tradisi Nabi di Madinah tidak dipraktekan oleh rezim-rezim dispotik-otoriter Timur Tengah yang mengklaim dirinya sebagai negara Islam. Malah melakukan penolakan besar-besaran terhadap konsep demokrasi yang sesuai nilai-nilai Nabawiyah di atas yang kebetulan pertama kali lahir di Eropa, sembari mengungkapkan alasan sikap penentangan terhadap ideologi sosial-politik Barat, termasuk demokrasi, sebagai penolakan terhadap invasi kultural Barat dan tidak islami.

Padahal kalau mau jujur membaca warisan khazanah intelektual Islam, perkembangan berbagai disiplin ilmu keislaman klasik yang pernah mengantarkan peradaban Islam sebagai adikuasa dunia, bahkan, hingga kini warisan intelektual itu masih tekun dipelajari dan dikembangkan, seperti, ush al-fiqh, ilmu kalam, tasawuf, kajian fiqh dengan beberapa cabangnya, ‘ulumul hadist, filsafat Islam dengan berbagai coraknya, adalah karena persentuhan Islam Arab klasik dengan Filsafat Helenisme (Mun’im Madjid, Tarikh Al-Hadharoh Al-Islamiyyah fi Al-‘Ushur Al-Wustho, 1978; Nurcholish Madjid, Khazanah Intelektual Islam, 1994). Tapi di era modern ini, sikap yang menempatkan Islam sebagai corpus terbuka kini lenyap karena dibajak kekuasaan politik despotik-otoriter.

Memang ada banyak penjelasan terhadap absennya gelombang ketiga demokrasi di Timur Tengah modern. Sikap tertutup terhadap sistem sosial-politik Barat dan pemberangusan warisan tradisi intelektual Islam klasik, sembari melakukan pembajakan Islam sebagai sumber otoritas dan legitimasi politik, adalah diantara penjelasannya.

Poin lain, adalah tidak adanya political will para pemimpin politik Timur Tengah untuk menjalankan tata kelola pemerintahan yang transparan dan akuntabel (baca: demokratis). Tiadanya political will ini lantaran demokrasi ditakuti akan membongkar semua kebusukan pengelolaan negara yang korup. Naifnya, sikap para penguasa Arab kaya minyak ini, diam-diam didukung Amerika Serikat dengan motif ekonomi-politik.

Parasit Demokrasi

Dengan bingkai latarbelakang sosial politik yang demikian, Islam puritan yang dipelopori Majelis Mujahidin dan Hizbut Tahrir kini hadir di Indonesia dengan agenda serupa; formalisasi Syariah dan pendirian negara Islam.

Revitalisasi Islam puritan di Indonesia mendapatkan angin segar dengan memanfaatkan demokratisasi yang mensyaratkan kebebasan berorganisasi dan berpendapat di ruang publik. Maka selama tidak melalui cara-cara yang melanggar hukum positif, gerakan-gerakan Islam puritan leluasa memasarkan pemahaman keislamannya. Inilah dilema demokrasi. Ibarat pohon, ia membuka diri dimanfaatkan siapapun selama mematuhi kontrak bersama, bahkan oleh parasit yang akan menghisabnya hingga mati.

Seperti disebutkan sebelumnya, kalau di Timur Tengah gerakan Islam puritan seperti Wahabisme dan Ikhwanul Muslmin memberangus tradisi aliran intelektual Islam, seperti, Mu’tazilah, Maturidiyah, Asy-Ariyah, dan tradisi fiqh berbagai mazhab sebagai bid’ah dan khurafat, sembari menyerukan kembali kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah, maka di Indonesia gerakan Islam puritan mengarahkan anak panahnya kepada Islam moderat yang menjadi modal kultural utama demokrasi.

Meski kehadiran Islam puritan menjadi ancaman serius demokrasi, tapi rasanya tidak konsisten dengan semangat berdemokrasi yang baik, jika ormas-ormas Islam moderat, seperti, Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU) meminta campur tangan pemerintah untuk melarang kehadiran ideologi Islam transnasional –termasuk gerakan Islam puritan- di Indonesia, seperti yang dilakukan Ketua Umum PBNU Hasyim Muzadi saat melakukan temu wicara Mahkamah Konstitusi (Kompas, 26 Februari 2007).

Hemat saya, pemerintah tidak perlu campur tangan. Biarkan saja demokrasi yang sedang tumbuh ini menyajikan pasar bebas ide-ide keagamaan. Inilah tantangan terberat dan terkini bagi NU dan Muhammadiyah untuk menanamkan kesadaran kepada masyarakat muslim tentang pentingnya agama sebagai way of life, bukan sebagai ideologi politik dalam kaitan hubungan Islam dan negara di Indonesia.

Islam moderat sebagai modal kultural demokrasi kita butuhkan untuk membangun kehidupan yang jauh lebih baik. Sejarah telah membuktikan bahwa Islam Indonesia mengikuti hukum sejarah yang non-linear, mengalami kontinuitas, diskontinuitas dan perubahan. Karena itu tidak seperti Islam di Timur Tengah, Islam di Indonesia mampu merespon gerak sejarah secara terbuka dan adaptif, termasuk terhadap ide-ide progesif dan demokrasi.

Islam Indonesia bukan saja telah mampu mendialogkan nilai-nilai progresif dan demokratis di ruang publik, bahkan telah mampu mempraksiskannya. Kini, Islam Indonesia tampil sebagai sebuah model masyarakat muslim demokratis atau muslim demokrat bagi dunia Islam. Lebih dari itu, dengan karakternya demikian, Islam Indonesia juga memiliki nilai tambah untuk menjembatani dan mendialogkan Barat dan Islam. Wallahu A’lam bi as-Showab.


­Buku-buku Rujukan:

El Fadl, Khaled Abou, And God Knows The Solders, The Authoritative and The Authoritarian in Islamic Discourses, (Maryland:University Press of America, rev. ed.,1997:2).

Mallat, Chibli, The Renewall of Islamic Law, Muhammad Bager as-Sadr, Najaf and the Shi’i International, (Cambridge: Cambridge University Press, 2003:4).

Mun’im Madjid, Tarikh Al-Hadharoh Al-Islamiyyah fi Al-‘Ushur Al-Wustho, (Cetakan keempat. Maktabah Al-Anhal Al-Mishriyyah, Kairo-Mesir, 1978).

Hourani, Albert, alih bahasa, Pemikiran Liberal di Dunia Arab, (Bandung: Penerbit Mizan 2004: xxii).

Sukidi Mulyadi, artikel Defisit Demokrasi di Dunia Islam, dalam Islam Negara dan Civil Society, Gerakan dan Pemikiran Islam Kontemporer, (Jakarta: Paramadina, 2005: 229).

Nurcholish Madjid, Khazanah Intelektual Islam, (Jakarta: Bintang Bulan, 1994)

Menolak Ideologi Islam Arab

Buya Abd Aziz Aru Bone
Alumnus Jurusan Perbandingan Mazhab & Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Pernah nyantri di Pesantren Manba’ul ‘Ulum Ashiddiqiyyah serta Pesantren Khusus Hadis & Ilmu-ilmu Hadist Darus Sunnah


Ini tanggapan atas artikel Irfan S Awwas yang berjudul, “Kritik Atas Penolakan Ideologi Transnasional,” (Republika, Rabu, 9 Mei 2007). Tulisan ini juga tidak ingin berpretensi memberikan pembelaan terhadap NU yang menolak kehadiran ideologi Islam transnasional, baik yang diidentifikasi sebagai kutub Liberal yang berakar pada post-modernisme Barat atau kutub fundamentalis yang berakar pada idelogi Islam Arab. Tulisan menjelaskan argumentasi penolakan terhadap Fundamentalisme Islam Arab dengan menelaah konteks sosial politik yang meliputi kehadiran serta perannya dalam membajak Islam sebagai basis otoritas legitimasi kekuasaan-kekuasaan politik Timur Tengah. Untuk kemudian dikontraskan dengan Islam Indonesia.

***

Kebangkitan fundamentalisme Islam yang memimpikan terjadinya the re-birth of Islamic Civilization, erat kaitannya dengan era panjang kolonialisme Eropa di Timur Tengah. Kesadaran yang lahir sebagai respon terhadap kolonialisme adalah, yang paling berbahaya dari kolonialisme bukanlah dominasi militer Barat, melainkan invasi kultural yang mengikis kepercayaan umat terhadap validitas ajaran Islam. Karena itu, seruan untuk kembali kepada autentisitas Islam dipandang sebagai solusi untuk menghadapi invasi kultural Barat yang menyertai kolonialisme. (El Fadl, 1997:2). Kesadaran tersebut tidak hanya dialami Islam Sunny, tapi juga Islam Shi’ah di Iran, Irak, Lebanon dan Suriah (Mallat, 2003:4).

Mimpi itu ingin kembali menciptakan keindahan dan keagungan kehidupan Islam Madinah masa Nabi Muhammad dan kepemimpinan para klalifah awal Islam yang dipuji Robert N Bellah dengan pernyataan, tatanan sosial masa Madinah terlampau modern untuk ukuran zamannya. Lantaran tipisnya sumberdaya infrastuktur politik yang dimiliki, rekayasa demokrasi gagal diwujudkan (Bellah, 2000:213).

Tapi tidak sedikitpun mimpi tersebut terwujud, meski pun pioner pemikir modern Islam; Muhammad Abduh dan Rasyid Ridho telah membuka jalan bagi terjadinya Islamic Renaissance dengan mengupayakan penyatuan modernisme Barat dan tradisi Islam pada fase kedua kebangkitan Islam Arab yang terjadi antara tahun 1870 hingga 1900. Abduh dan Ridho berupaya menafsirkan ulang Islam agar senantiasa sesuai dengan kehidupan modern.

Alih-alih, berakhirnya kolonialisme Eropa dan mulainya dominasi militer-ekonomi Rusia dan Amerika Serikat di Timur Tengah yang diawali dengan pecahnya Perang Dunia Kedua, kembali melahirkan gerakan ‘ashabiyah nasionalisme Pan Arab dengan gagasan pokoknya, semua negara Timur Tengah yang berbahasa Arab adalah sebuah kesatuan politik, dan Islam Kafah yang diusung Ikhwanul Mislimin dengan gagasan, menjadikan Islam menjadi satu-satunya dasar yang shahih dalam pengaturan masyarakat. (Hourani, 1983: xxii).
Dari sinilah era modern pembajakan besar-besaran Islam sebagai basis otoritas dan legitimasi rezim otoriter-despotik di Timur Tengah mulai dibangun. Islam diletakan dalam kerangka politik sebagai ad-din wa ad-dawlah.

Bernard Lewis, seperti yang dikutip kanda Sukidi Mulyadi, mahasiswa Ph.D Islamic Studies di Harvard University mensinyalir, kombinasi Islam sebagai agama (ad-din) dan negara (ad-dawlah), yang suci dan yang profan, ikut menjadi hambatan serius dalam proses demokratisasi di Dunia Islam, khususnya Timur Tengah (Sukidi, 2005: 229).
Di tangan rezim-rezim despotik-otoriter Timur Tengah, Nabi Muhammad senantiasa dipandang sebagai sosok pemimpin agama dan negara sekaligus. Dengan merujuk tradisi Nabi, mereka mengklaim bahwa Nabi telah memberikan blue print konsep negara. Karena itu hubungan Islam dan negara dicirikan legal-formalistik

Padahal dalam pandangan banyak ahli studi Islam, begitu pun pembacaan saya terhadap teks-teks Al-Qur’an dan Al-Hadist, Islam hanya memberikan prinsip-prinsip dasar kehidupan berpolitik yang menjadi tuntutan bagi kaum muslimin. Pengalaman Nabi di Madinah yang menjadi cita-cita kebangkitan fundamentalisme Islam seperti yang disebutkan di atas, justeru menunjukan bahwa, Nabi bukanlah juga menjadi pemimpin politik, melainkan pemimpin sosial-keagamaan. Tegasnya, Nabi tidak pernah mendirikan negara Islam di Madinah, tapi hanya mempraktikan nilai-nilai dasar bermasyarakat yang baik yang ditandai dengan sifat egaliter (al-musaawah), partisipasi atau kontrol publik (amr bi al-ma’ruf wa nahy ‘an al-munkar) musyawarah (al-syuro), berkeadilan (al-‘adalah), menghargai kemajemukan dan pluralisme (at-ta’adduddiyah) secara bersamaan juga melarang masyarakat berbuat yang sebaliknya, seperti aniaya (zholim), tidak loyal (al-khiyanah) dan lain-lain.

Tapi naifnya, tradisi Nabi di Madinah tidak dipraktekan oleh rezim-rezim dispotik-otoriter Timur Tengah. Alih-alih melakukan penolakan besar-besaran terhadap konsep demokrasi yang sesuai nilai-nilai Nabawiyah di atas, sembari mengungkapkan alasan sikap penentangan terhadap ideologi sosial-politik Barat sebagai penolakan terhadap invasi kultural Barat.

Inilah salah satu poin penjelasan Sukidi saat menjelaskan absennya gelombang demokrasi ketiga di Timur Tengah, yakni, tidak adanya political will para pemimpin politik Timur Tengah untuk menjalankan tata kelola pemerintahan yang transparan dan akuntabel (baca: demokratis), yang secara diam-diam didukung Amerika Serikat dengan motif ekonomi-politik.

Kondisi ini jelas berbeda dengan Islam Indonesia. Awalnya Islam sufistik yang merupakan tradisi Islam paling inklusif jika dibanding tradisi Fiqh, Kalam, apalagi Siyasah, masuk ke Indonesia secara damai melalui pendekatan kultural hingga mampu beradaptasi dengan tradisi dan kultur lokal sejak pertama kali hadir hingga kini.

Dengan demikian tidak seperti Islam Arab, Islam Indonesia mengikuti gerak sejarah yang non-linear, yang mengalami kontinuitas, diskontinuitas dan perubahan. Dalam konteks Islam Indonesia, gerak sejarah itu mampu direspon secara terbuka dan adaptif, termasuk terhadap ide-ide progesif dan demokrasi.

Islam Indonesia, dengan demikian, bukan saja telah mampu mendialogkan nilai-nilai progresif dan demokratis di ruang publik, bahkan telah mampu mempraksiskannya. Kini Islam Indonesia mampu tampil sebagai sebuah model masyarakat muslim demokratis dengan terus berusaha secara kreatif-kultural mendapatkan inspirasi nilai-nilai Nabawiyah di Madinah dalam kehidupan sosial-politik-keagamaannya. Wallahu A’lam bi as-Showab.



Referensi Tulisan

El Fadl, Khaled Abou, And God Knows The Solders, The Authoritative and The Authoritarian in Islamic Discourses, (Maryland:University Press of America, rev. ed.,1997:2)
Mallat, Chibli, The Renewall of Islamic Law, Muhammad Bager as-Sadr, Najaf and the Shi’i International, (Cambridge: Cambridge University Press, 2003:4)
Bellah, Robert N, Beyond Belief: Esai-esai Tentang Agama di Dunia Modern, alih bahasa (Jakarta: Paramadina, 2000:213)
Hourani, Albert, alih bahasa, Pemikiran Liberal di Dunia Arab, (Bandung: Penerbit Mizan 2004: xxii)
Sukidi Mulyadi, artikel Defisit Demokrasi di Dunia Islam, dalam Islam Negara dan Civil Society, Gerakan dan Pemikiran Islam Kontemporer, (Jakarta: Paramadina, 2005: 229)

Friday, April 27, 2007

Pengetahuan: Antara Indera, Akal dan Wahyu


Oleh, Buya A. A. Aru Bone*

Ini artikel pertama ku yang diterbitkan media cetak, saat itu aku mahasiswa S1 duduk di Semester III.

Harian Pelita,
Jum’at, 1 oktober 1999 & Sabtu, 2 Oktober 1999

Pengetahuan merupakan satu nilai yang digunakan oleh Allah SWT (baca: manusia) untuk menempatkan seseorang (baca: bangsa) dalam suatu kedudukan atau derajat yang lebih tinggi dari orang (bangsa) yang lain. Di dalam Al-Qur’an, Allah SWT memberikan penjelasan tentang hal ini di sebuah ayat yang artinya, “dakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui? Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran” (Qs.39 ayat 9).

Pengetahuan pada hakekatnya bersumber pada Allah SWT, seperti yang diisyaratkan Allah ta’ala di dalam Al-Qur’an yang artinya, “Dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit” (Al-Isra.85). Namun, bila dijabarkan lebih lanjut, pengetahuan itu diberikan kepada manusia lewat proses dengan melalui tiga sarana atau sumber perantara. Seperti yang dijelaskan oleh DR.Yusuf Qardlowi di dalam bukunya Al-Sunnah: masdaran li al-ma’rifah wa Al-Hadharah, bahwa dalam pandangan kaum penganut filsafat materialisme, sumber ilmu pengetahuan adalah hal-hal materi yang hanya bias ditangkap oleh pancaindra dan masalah-masalah rasional yang eksistensinya bisa dilogikakan oleh akal. Mereka tidak mempercayai sumber lain selain kedua sumber di atas.

Bagi umat Islam, kita mempercayai kedua sumber di atas, percaya bahwa pancaindra merupakan anugrah Allah ta’ala, keduanya merupakan wahana penting untuk memperoleh pengetahuan, kita pun mampu memahami fenomena, rahasia-rahasia alam. Dan dengan keduanya, kita jadi sempurna dalam menjalankan tugas kita sebagai khalifah. Bahkan hukum dan fenomena alam, oleh Islam dianggap sebagai bukti yang paling kokoh untuk menjelaskan kekuasaan Allah ta’ala.

Banyak ayat Al-Qur’an yang menerangkan tentang itu, diantaranya ayat yang artinya sebagai berikut: “Mengapa kamu ingkar kepada Allah, padahal kamu tadinya mati, lalu Allah menghidupkan kamu, kemudian kamu dimatikan, lalu dihidupkan kembali, dan kepada-Nya-lah kamu dikembalikan (28). Dialah Allah yang menjadikan segala yang ada di bumi ini untuk kamu, dan ia berkehendak menuju langit, lalu dijadikanya tujuh langit dan dia mengetahui segala sesuatu (29)” (Qs Al-Baqarah).

Akal dan pancaindra merupakan wahana terpenting. Dengan keduanyalah, manusia dapat menjelaskan tugas kekhalifahan di muka bumi ini, untuk membentuk peradaban dan melaksanakan tugas-tugas kekhalifahan lainnya, sebagaimana yang diharapkan oleh Allah SWT. Dan keunggulan Nabi Adam, bapak umat manusia atas para malaikat dan makhluk Allah yang lain, tampak pada kelebihan Nabi Adam dalam ilmu pengetahuan, sehingga beliau menduduki derajat sebagai khalifah Allah di bumi ini. Oleh Allah SWT, Adam diajarkan berbagai nama materi, yang tidak Allah ajarkan kepada para malaikat dan iblis, dengan kelebihannya itu, Allah perintahkan kepada malaikat dan iblis untuk bersujud kepada Adam, sebagai bentuk penghormatan terhadap Nabi Adam (Qs. 2, ayat 30-34).

Bagaimanapun, sebagai umat beriman umat Islam percaya terhadap kedua sumber tersebut, yaitu pancaindera dan akal. Namun kitapun percaya, bahwa selain kedua sumber tersebut, ada hal yang ketiga, yaitu wahyu ilahi. Dengan kata lain, pengetahuan bagi kita umat Islam tidak hanya terbatas pada permasalahan-permasalahan yang dapat dirasionalisasikan dengan akal dan sesuatu yang dapat ditangkap oleh indra manusia, atau sesuatu yang bersifat materi, tetapi segala sesuatu yang metafisik atau immaterial, bagi umat Islam itu juga merupakan ilmu.

Permasalahannya sekarang, sampai sejauh mana masing-masing sumber tersebut dapat atau mampu memberikan informasi kepada kita, dan dalam batas-bats yang bagaimana indera, akal, dan wahyu memainkan perannya dalam menelaah atau menelusuri suatu hal.


DR. Yusuf al Qardlawi menerangkan, bahwa kemampuani indera sangat terbatas. Seperti indera yang terkuat sekalipun, yaitu penglihatan, terkadang kita melihat benda yang bergerak tapi seakan diam, melihat fatamorgana di kejauhan dikira air, melihat benda yang besar karena terlalu jauh sehingga terlihat kecil, kita tidak mampu melihat sesuatu yang dibatasi oleh tembok, begitu pula dengan indera-indera yang lainnya, kita sering salah dengar atau kurang jelas pendengaran kita, semua itu menunjukkan sangat terbatasnya kemampuan panca indera kita. karena keterbatasannya itulah, pancaindera kita hanya mampu memberikan informasi atau pengetahuan dalam jumlah yang sangat terbatas, jika dibandingkan dengan banyak dan luasnya ilmu pengetahuan, itupun hanya terbatas pada hal-hal yang bersifat materi, yang berada tidak jauh dari kita, selebihnya panca indera tidak bias berbuat apa-apa.

Apalagi menyangkut informasi dan pengetahuan tentang hal-hal yang ghaib atau metafisika, panca indera hanya seperti bayi kecil di gelapnya malam yang tidak sadar dan tidak tahu berada di mana dan harus bagaiman. Karena itu, lalu Allah menganugrahkan akal pada manusia.
Akal manusia merupakan anugrah yang istimewa dari Allah. Karena dengan akal, manusia mampu berpikir dan berbuat, untuk hidup dan kehidupannya sebagai khalifah Allah di muka bumi ini, seperti telah kami jelaskan sebelumnya. Namun timbul perbedaan pendapat, khususnya yang terjadi pada para ahli Kalam (Teologi Filosofis), tentang sampai dimana kemampuan akal manusia dalam menelusuri, menelaah suatu pengetahuan.

Para ahli Kalam tidak berbeda pendapat, bahwa akal mampu memahami semua permasalahan dan pengetahun yang bersifat materi dan yang dapat diidentifikasi oleh panca indera. Tetapi perbedaan pendapat terjadi, ketika membahas apakah akal manusia mampu memahami hakikat dari sesuatu, dan mampu mengetahui tentang pengetahuan yang ghaib atau metafisika?

Kelompok pertama berpendapat, akal manusia mampu mengetahui sesuatu yang bersifat metafisik. Pendapat ini dipakai oleh kaum Mu’tazillah yang dipelopori oleh Wasil Ibn Ata’ dan Amr ibn Ubaid ibn Bab, golongan ini sering disebut sebagai golongan rasional dalam Islam, atau kaum rasionalis, bagi golongan Mu’tazillah segala pengetahun dapat diperoleh dengan perantaraan akal, termasuk mengetahui Tuhan, hal-hal ghaib, begitupun mengetahui kewajiban terhadap Tuhan, dapat diketahui oleh akal dengan perenungan dan pemikiran mendalam. Dengan demikian, kata Mu’tazilah, berterimakasihlah atau bersyukur kepada Tuhan sebelum turunnya wahyu, adalah wajib hukumnya.


Lebih jelasnya, almarhum Prof DR Harun Nasution di dalam bukunya Teologi Islam, Aliran-aliran Sejarah dan Analisa Perbandingan menjelaskan, konsepsi yang dapat dipakai untuk menerangkan tentang pendapat yang mengatakan bahwa akal manusia dapat mengetahui Tuhan dan permasalahan-permasalahan metafisik adalah, Tuhan berdiri di puncak alam wujud dan manusia di bawahnya berusaha semaksimal mungkin dengan akalnya untuk sampai kepada Tuhan. Lalu Tuhan sendiri dengan belas kasihannya kepada manusia, menolong manusia dengan wahyu melalui rasul-rasulnya. Dengan kata lain, wahyu lahir sebagai justifikasi dari usaha akal manusia memahami Tuhan. Yang menjadi persoalan selanjutnya adalah, sampai mana akal manusia dapat mencapai Tuhan dan mengetahui kewajiban-kewajiban terhadap Tuhan?

Persoalan ini dijelaskan oleh Al Syahrastani bahwa kewajiban mengetahui Tuhan dan kewajiban terhadap Tuhan dapat diketahui oleh akal, sudah barang tentu sebelum mengetahui sesuatu adalah wajib, orang harus mengetahui hakekat sesuatu itu sendiri. Tegasnya, sebelum mengetahui perintah Tuhan, berterimakasih pada-Nya, baik dan buruk, orang harus terlebih dahulu mengetahui hakekat Tuhan dan mengetahui hakikat baik dan buruk.

Kelompok kedua mengatakan, bahwa akal manusia hanya mampu memahami sesuatu yang dapat diidentifikasi oleh pancaindra dan sesuatu yang dapat dirasionalisasikan oleh akal, sedangkan pengetahuan-pengetahuan ghaib, tidak dapat diketahui, kecuali melalui informasi yang diberikan oleh Allah ta’ala melalui wahyu-wahyu yang diberikan kepada para rasul. Pendapat ini dimotori kelompok Al-Asy’ariyah, yang dipelopori oleh ‘Ali ibn Muhammad Al-Asy’ari, beliau lahir di Basrah 873 M dan wafat di Bagdad 935 M.

Aliran Al-Asy’ariyah menentang pendapat yang disampaikan oleh aliran Mu’tazillah. Diantaranya untuk mengetahui Tuhan, tidak bisa hanya mengandalkan akal, karena akal manusia tidak luput dari sifat salah dan keliru, dan tidak mungkin bagi manusia yang berbentuk materi, untuk memahami hakikat Tuhan yang bersifat immateri, hanya mengandalkan potensi yang ada pada dirinya, demikian juga mengetahui kewajiban-kewajiban manusia kepada Tuhan, dan informasi-informasi tentang hal-hal ghaib lainnya. Aliran Al-Asy’ariyah mengatakan, kalau untuk memahami hal-hal yang dapat dirasakn oleh panca indera dan dapat dirasionalisasikan oleh akal saja, manusia sudah sering salah dan keliru, apalagi untuk memahami hal-hal yang metafisik atau ghaib, tentu potensi untuk salah dan keliru akan lebih besar lagi.

Konsepsi yang digunakan oleh DR Yusuf Al Qardlawi setidaknya dapat menerangkan pendapat aliran Al Asy’ariyah ini. Beliau menulis bahwa Allah menciptakan bagi manusia, satu potensi lebih tinggi dari potensi yang lain. Allah menciptakan panca indera, namun kemampuan panca indera hanya terbatas pada hal-hal yang materi, itupun hanya terbatas pada hal-hal yang berada di sekitarnya. Selebih dari itu panca indera tidak mampu berbuat banyak. Karenanya Allah ta’ala menciptakan akal bagi manusia, agar apa yang telah diterima dari panca indera dapat dikaji, ditelaah dan diuji kebenarannya oleh akal. Dengan akal manusia juga memperoleh pengetahuan-pengetahuan lain, yang tidak dapat digapai oleh panca indera, sehingga dengan hadirnya akal ini pengetahuannya bertambah.

Akan tetapi akalpun tak lepas dari ketidaksempurnaan. Seringkali apa yang dipikirkan oleh akal dan diyakini kebenarannya saat ini, pada masa yang lain hal itu terbukti salah. Yang menarik sekali, yang membuktikan kesalahan dan kekeliruan akal itu, adalah akal itu sendiri.

Kemampuan indera dan akal sangat terbatas pada pengetahuan-pengetahuan yang rasional dan dapat dirasakan oleh indera, lebih dari itu akal dan indera tidak mampu. Demikianpun dengan pengetahuan-pengetahuan yang ghaib, memasuki wilayah ini, akal ibarat tamu yang memasuki sebuah rumah, tamu yang tahu awal sebuah perjalanan tanpa tahu kemana perjalanan itu akan berakhir. Karena itu seperti yang dikatakan oleh Syeikh Muhammad Abdul (Khazanah Intelektual Muslim, Nurcholish Madjid. Tulisan Abduh, Risalah Tentang Tauhid), akal membutuhkan pembimbing yang mengarahkannya ke arah yang benar. Kehadiran wahyu memberikan perannya dalam hal ini.

Demikian yang dikemukakan oleh aliran Al-Asy’ariyah, tidak sependapat dengan aliran Mu’tazillah. Karena itu aliran Al-Asy’riyah mengatakan bahwa pengetahuan tentang hal-hal ghaib hanya dapat diketahui melalui wahyu ilahi.

Karena definisi wahyu secara terminologis dan etimologis beraneka ragam, maka yang dimaksud disini adalah pengertian terminologi, yang berarti wahyu Al-Qur’an yang diturunkan kepada Rasulullah SAW. Secara singkat dan global, wahyu Al-Qur’an memberikan informasi-informasi tentang perkara ghaib, seperti tentang Allah ta’ala, surga dan neraka, kewajiban beribadah kepada Allah ta’ala dalam segala hal, baik ibadah yang bersifat ritual keagamaan atau ibadah dalm semua bentuk aktifitas manusia yang bermanfaat buat dirinya dan lingkunganya, tuntutan untuk memperoleh kebahagiaan dalam kehidupan dunia dan kehidupan akhirat, kisah umat-umat masa lau agar dijadikan pelajaran bagi umat-umat sesudahnya, Al-Qur’an juga menerangkan tentang fenomena-fenomena alam secara global dan singkat pada manusia, dan beberapa fenomena yang disebutkan oleh Al-Qur’an dibuktikan kebenarannya kemudian oleh akal manusia.

Ini hanyalah sekedar penjelasan yang ingin disampaikan, bahwa bagi kita umat Islam, akal, indera dan wahyu merupakan sumber perantara atau wahana bagi kita untuk memperoleh pengetahuan. Ketiganya tidak mungkin saling bertentangan, karena pada hakikatnya ketiganya berasal dari Allah ta’ala. Kalaupun sementara seakan tidak saling sesuai, kita kembali kepada sebuah prinsip awal, bahwa kebenaran tertinggi adalah wahyu Allah, sedangkan indera dan akal hanya dapat memberikan kebenaran yang bersifat relatif dan temporal. Untuk ini kita hanya memakai logika sederhana, bahwa indera sering memperlihatkan kepada kita keterbatasannya. Demikian pula akal, telah banyak terbukti apa yang saat ini oleh akal dianggap benar, pada saat yang sama atau saat yang berlainan, akal pula yang membuktikan kesalahannya. Sedangkan wahyu Al-Qur’an sampai saat ini dan selamanya, kebenarannya tidak akan terbantahkan. Wallahu a’lam bi ashowab

* Mahasiswa IAIN (sekarang UIN) Syarif Hidayatulah
(Identitas disesuaikan saat artikel ini pertama kali terbit)