Friday, April 27, 2007

Pengetahuan: Antara Indera, Akal dan Wahyu


Oleh, Buya A. A. Aru Bone*

Ini artikel pertama ku yang diterbitkan media cetak, saat itu aku mahasiswa S1 duduk di Semester III.

Harian Pelita,
Jum’at, 1 oktober 1999 & Sabtu, 2 Oktober 1999

Pengetahuan merupakan satu nilai yang digunakan oleh Allah SWT (baca: manusia) untuk menempatkan seseorang (baca: bangsa) dalam suatu kedudukan atau derajat yang lebih tinggi dari orang (bangsa) yang lain. Di dalam Al-Qur’an, Allah SWT memberikan penjelasan tentang hal ini di sebuah ayat yang artinya, “dakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui? Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran” (Qs.39 ayat 9).

Pengetahuan pada hakekatnya bersumber pada Allah SWT, seperti yang diisyaratkan Allah ta’ala di dalam Al-Qur’an yang artinya, “Dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit” (Al-Isra.85). Namun, bila dijabarkan lebih lanjut, pengetahuan itu diberikan kepada manusia lewat proses dengan melalui tiga sarana atau sumber perantara. Seperti yang dijelaskan oleh DR.Yusuf Qardlowi di dalam bukunya Al-Sunnah: masdaran li al-ma’rifah wa Al-Hadharah, bahwa dalam pandangan kaum penganut filsafat materialisme, sumber ilmu pengetahuan adalah hal-hal materi yang hanya bias ditangkap oleh pancaindra dan masalah-masalah rasional yang eksistensinya bisa dilogikakan oleh akal. Mereka tidak mempercayai sumber lain selain kedua sumber di atas.

Bagi umat Islam, kita mempercayai kedua sumber di atas, percaya bahwa pancaindra merupakan anugrah Allah ta’ala, keduanya merupakan wahana penting untuk memperoleh pengetahuan, kita pun mampu memahami fenomena, rahasia-rahasia alam. Dan dengan keduanya, kita jadi sempurna dalam menjalankan tugas kita sebagai khalifah. Bahkan hukum dan fenomena alam, oleh Islam dianggap sebagai bukti yang paling kokoh untuk menjelaskan kekuasaan Allah ta’ala.

Banyak ayat Al-Qur’an yang menerangkan tentang itu, diantaranya ayat yang artinya sebagai berikut: “Mengapa kamu ingkar kepada Allah, padahal kamu tadinya mati, lalu Allah menghidupkan kamu, kemudian kamu dimatikan, lalu dihidupkan kembali, dan kepada-Nya-lah kamu dikembalikan (28). Dialah Allah yang menjadikan segala yang ada di bumi ini untuk kamu, dan ia berkehendak menuju langit, lalu dijadikanya tujuh langit dan dia mengetahui segala sesuatu (29)” (Qs Al-Baqarah).

Akal dan pancaindra merupakan wahana terpenting. Dengan keduanyalah, manusia dapat menjelaskan tugas kekhalifahan di muka bumi ini, untuk membentuk peradaban dan melaksanakan tugas-tugas kekhalifahan lainnya, sebagaimana yang diharapkan oleh Allah SWT. Dan keunggulan Nabi Adam, bapak umat manusia atas para malaikat dan makhluk Allah yang lain, tampak pada kelebihan Nabi Adam dalam ilmu pengetahuan, sehingga beliau menduduki derajat sebagai khalifah Allah di bumi ini. Oleh Allah SWT, Adam diajarkan berbagai nama materi, yang tidak Allah ajarkan kepada para malaikat dan iblis, dengan kelebihannya itu, Allah perintahkan kepada malaikat dan iblis untuk bersujud kepada Adam, sebagai bentuk penghormatan terhadap Nabi Adam (Qs. 2, ayat 30-34).

Bagaimanapun, sebagai umat beriman umat Islam percaya terhadap kedua sumber tersebut, yaitu pancaindera dan akal. Namun kitapun percaya, bahwa selain kedua sumber tersebut, ada hal yang ketiga, yaitu wahyu ilahi. Dengan kata lain, pengetahuan bagi kita umat Islam tidak hanya terbatas pada permasalahan-permasalahan yang dapat dirasionalisasikan dengan akal dan sesuatu yang dapat ditangkap oleh indra manusia, atau sesuatu yang bersifat materi, tetapi segala sesuatu yang metafisik atau immaterial, bagi umat Islam itu juga merupakan ilmu.

Permasalahannya sekarang, sampai sejauh mana masing-masing sumber tersebut dapat atau mampu memberikan informasi kepada kita, dan dalam batas-bats yang bagaimana indera, akal, dan wahyu memainkan perannya dalam menelaah atau menelusuri suatu hal.


DR. Yusuf al Qardlawi menerangkan, bahwa kemampuani indera sangat terbatas. Seperti indera yang terkuat sekalipun, yaitu penglihatan, terkadang kita melihat benda yang bergerak tapi seakan diam, melihat fatamorgana di kejauhan dikira air, melihat benda yang besar karena terlalu jauh sehingga terlihat kecil, kita tidak mampu melihat sesuatu yang dibatasi oleh tembok, begitu pula dengan indera-indera yang lainnya, kita sering salah dengar atau kurang jelas pendengaran kita, semua itu menunjukkan sangat terbatasnya kemampuan panca indera kita. karena keterbatasannya itulah, pancaindera kita hanya mampu memberikan informasi atau pengetahuan dalam jumlah yang sangat terbatas, jika dibandingkan dengan banyak dan luasnya ilmu pengetahuan, itupun hanya terbatas pada hal-hal yang bersifat materi, yang berada tidak jauh dari kita, selebihnya panca indera tidak bias berbuat apa-apa.

Apalagi menyangkut informasi dan pengetahuan tentang hal-hal yang ghaib atau metafisika, panca indera hanya seperti bayi kecil di gelapnya malam yang tidak sadar dan tidak tahu berada di mana dan harus bagaiman. Karena itu, lalu Allah menganugrahkan akal pada manusia.
Akal manusia merupakan anugrah yang istimewa dari Allah. Karena dengan akal, manusia mampu berpikir dan berbuat, untuk hidup dan kehidupannya sebagai khalifah Allah di muka bumi ini, seperti telah kami jelaskan sebelumnya. Namun timbul perbedaan pendapat, khususnya yang terjadi pada para ahli Kalam (Teologi Filosofis), tentang sampai dimana kemampuan akal manusia dalam menelusuri, menelaah suatu pengetahuan.

Para ahli Kalam tidak berbeda pendapat, bahwa akal mampu memahami semua permasalahan dan pengetahun yang bersifat materi dan yang dapat diidentifikasi oleh panca indera. Tetapi perbedaan pendapat terjadi, ketika membahas apakah akal manusia mampu memahami hakikat dari sesuatu, dan mampu mengetahui tentang pengetahuan yang ghaib atau metafisika?

Kelompok pertama berpendapat, akal manusia mampu mengetahui sesuatu yang bersifat metafisik. Pendapat ini dipakai oleh kaum Mu’tazillah yang dipelopori oleh Wasil Ibn Ata’ dan Amr ibn Ubaid ibn Bab, golongan ini sering disebut sebagai golongan rasional dalam Islam, atau kaum rasionalis, bagi golongan Mu’tazillah segala pengetahun dapat diperoleh dengan perantaraan akal, termasuk mengetahui Tuhan, hal-hal ghaib, begitupun mengetahui kewajiban terhadap Tuhan, dapat diketahui oleh akal dengan perenungan dan pemikiran mendalam. Dengan demikian, kata Mu’tazilah, berterimakasihlah atau bersyukur kepada Tuhan sebelum turunnya wahyu, adalah wajib hukumnya.


Lebih jelasnya, almarhum Prof DR Harun Nasution di dalam bukunya Teologi Islam, Aliran-aliran Sejarah dan Analisa Perbandingan menjelaskan, konsepsi yang dapat dipakai untuk menerangkan tentang pendapat yang mengatakan bahwa akal manusia dapat mengetahui Tuhan dan permasalahan-permasalahan metafisik adalah, Tuhan berdiri di puncak alam wujud dan manusia di bawahnya berusaha semaksimal mungkin dengan akalnya untuk sampai kepada Tuhan. Lalu Tuhan sendiri dengan belas kasihannya kepada manusia, menolong manusia dengan wahyu melalui rasul-rasulnya. Dengan kata lain, wahyu lahir sebagai justifikasi dari usaha akal manusia memahami Tuhan. Yang menjadi persoalan selanjutnya adalah, sampai mana akal manusia dapat mencapai Tuhan dan mengetahui kewajiban-kewajiban terhadap Tuhan?

Persoalan ini dijelaskan oleh Al Syahrastani bahwa kewajiban mengetahui Tuhan dan kewajiban terhadap Tuhan dapat diketahui oleh akal, sudah barang tentu sebelum mengetahui sesuatu adalah wajib, orang harus mengetahui hakekat sesuatu itu sendiri. Tegasnya, sebelum mengetahui perintah Tuhan, berterimakasih pada-Nya, baik dan buruk, orang harus terlebih dahulu mengetahui hakekat Tuhan dan mengetahui hakikat baik dan buruk.

Kelompok kedua mengatakan, bahwa akal manusia hanya mampu memahami sesuatu yang dapat diidentifikasi oleh pancaindra dan sesuatu yang dapat dirasionalisasikan oleh akal, sedangkan pengetahuan-pengetahuan ghaib, tidak dapat diketahui, kecuali melalui informasi yang diberikan oleh Allah ta’ala melalui wahyu-wahyu yang diberikan kepada para rasul. Pendapat ini dimotori kelompok Al-Asy’ariyah, yang dipelopori oleh ‘Ali ibn Muhammad Al-Asy’ari, beliau lahir di Basrah 873 M dan wafat di Bagdad 935 M.

Aliran Al-Asy’ariyah menentang pendapat yang disampaikan oleh aliran Mu’tazillah. Diantaranya untuk mengetahui Tuhan, tidak bisa hanya mengandalkan akal, karena akal manusia tidak luput dari sifat salah dan keliru, dan tidak mungkin bagi manusia yang berbentuk materi, untuk memahami hakikat Tuhan yang bersifat immateri, hanya mengandalkan potensi yang ada pada dirinya, demikian juga mengetahui kewajiban-kewajiban manusia kepada Tuhan, dan informasi-informasi tentang hal-hal ghaib lainnya. Aliran Al-Asy’ariyah mengatakan, kalau untuk memahami hal-hal yang dapat dirasakn oleh panca indera dan dapat dirasionalisasikan oleh akal saja, manusia sudah sering salah dan keliru, apalagi untuk memahami hal-hal yang metafisik atau ghaib, tentu potensi untuk salah dan keliru akan lebih besar lagi.

Konsepsi yang digunakan oleh DR Yusuf Al Qardlawi setidaknya dapat menerangkan pendapat aliran Al Asy’ariyah ini. Beliau menulis bahwa Allah menciptakan bagi manusia, satu potensi lebih tinggi dari potensi yang lain. Allah menciptakan panca indera, namun kemampuan panca indera hanya terbatas pada hal-hal yang materi, itupun hanya terbatas pada hal-hal yang berada di sekitarnya. Selebih dari itu panca indera tidak mampu berbuat banyak. Karenanya Allah ta’ala menciptakan akal bagi manusia, agar apa yang telah diterima dari panca indera dapat dikaji, ditelaah dan diuji kebenarannya oleh akal. Dengan akal manusia juga memperoleh pengetahuan-pengetahuan lain, yang tidak dapat digapai oleh panca indera, sehingga dengan hadirnya akal ini pengetahuannya bertambah.

Akan tetapi akalpun tak lepas dari ketidaksempurnaan. Seringkali apa yang dipikirkan oleh akal dan diyakini kebenarannya saat ini, pada masa yang lain hal itu terbukti salah. Yang menarik sekali, yang membuktikan kesalahan dan kekeliruan akal itu, adalah akal itu sendiri.

Kemampuan indera dan akal sangat terbatas pada pengetahuan-pengetahuan yang rasional dan dapat dirasakan oleh indera, lebih dari itu akal dan indera tidak mampu. Demikianpun dengan pengetahuan-pengetahuan yang ghaib, memasuki wilayah ini, akal ibarat tamu yang memasuki sebuah rumah, tamu yang tahu awal sebuah perjalanan tanpa tahu kemana perjalanan itu akan berakhir. Karena itu seperti yang dikatakan oleh Syeikh Muhammad Abdul (Khazanah Intelektual Muslim, Nurcholish Madjid. Tulisan Abduh, Risalah Tentang Tauhid), akal membutuhkan pembimbing yang mengarahkannya ke arah yang benar. Kehadiran wahyu memberikan perannya dalam hal ini.

Demikian yang dikemukakan oleh aliran Al-Asy’ariyah, tidak sependapat dengan aliran Mu’tazillah. Karena itu aliran Al-Asy’riyah mengatakan bahwa pengetahuan tentang hal-hal ghaib hanya dapat diketahui melalui wahyu ilahi.

Karena definisi wahyu secara terminologis dan etimologis beraneka ragam, maka yang dimaksud disini adalah pengertian terminologi, yang berarti wahyu Al-Qur’an yang diturunkan kepada Rasulullah SAW. Secara singkat dan global, wahyu Al-Qur’an memberikan informasi-informasi tentang perkara ghaib, seperti tentang Allah ta’ala, surga dan neraka, kewajiban beribadah kepada Allah ta’ala dalam segala hal, baik ibadah yang bersifat ritual keagamaan atau ibadah dalm semua bentuk aktifitas manusia yang bermanfaat buat dirinya dan lingkunganya, tuntutan untuk memperoleh kebahagiaan dalam kehidupan dunia dan kehidupan akhirat, kisah umat-umat masa lau agar dijadikan pelajaran bagi umat-umat sesudahnya, Al-Qur’an juga menerangkan tentang fenomena-fenomena alam secara global dan singkat pada manusia, dan beberapa fenomena yang disebutkan oleh Al-Qur’an dibuktikan kebenarannya kemudian oleh akal manusia.

Ini hanyalah sekedar penjelasan yang ingin disampaikan, bahwa bagi kita umat Islam, akal, indera dan wahyu merupakan sumber perantara atau wahana bagi kita untuk memperoleh pengetahuan. Ketiganya tidak mungkin saling bertentangan, karena pada hakikatnya ketiganya berasal dari Allah ta’ala. Kalaupun sementara seakan tidak saling sesuai, kita kembali kepada sebuah prinsip awal, bahwa kebenaran tertinggi adalah wahyu Allah, sedangkan indera dan akal hanya dapat memberikan kebenaran yang bersifat relatif dan temporal. Untuk ini kita hanya memakai logika sederhana, bahwa indera sering memperlihatkan kepada kita keterbatasannya. Demikian pula akal, telah banyak terbukti apa yang saat ini oleh akal dianggap benar, pada saat yang sama atau saat yang berlainan, akal pula yang membuktikan kesalahannya. Sedangkan wahyu Al-Qur’an sampai saat ini dan selamanya, kebenarannya tidak akan terbantahkan. Wallahu a’lam bi ashowab

* Mahasiswa IAIN (sekarang UIN) Syarif Hidayatulah
(Identitas disesuaikan saat artikel ini pertama kali terbit)

Tuesday, April 3, 2007

Beberapa Catatan Kritis Atas Kaedah Ushul Fiqh

Oleh, Buya A. A. Arubone

Al-Qur’an, dalam sejarah pemikiran hukum Islam selalu dipandang sebagai kitab suci yang memuat ketentuan-ketentuan perundangan. Sudut pandang semacam ini pada gilirannya telah melahirkan pemisahan mekanis antara ayat-ayat ahkam dan ayat-ayat yang tidak berisi ketentuan hukum. Ayat-ayat hukum tersebut selalu dipahami secara otomistis dan harfiah dengan ditopang oleh hadist dan ijma’, yang pandang sebagai sumber syariah kedua dan ketiga setelah Al-Qur’an.

Ilustrasi berikut memperlihatkan karakteristik penafsiran harfiah dan otomistis tersebut. Di dalam Al-Qur’an (II:282); disebutkan bahwa dalam transaksi utang piutang, jumlahnya harus dituliskan dengan disaksikan dua orang saksi laki-laki, atau jika tidak ada, maka seorang lelaki dan dua orang wanita. Ayat ini oleh para ulama fiqh dijadikan dasar hukum persaksian dan diterapkan secara ketat. Namun dalam sebuah hadist yang diriwayatkan Abu Dawud, disebutkan bahwa Rasulullah pernah memutuskan perkara dengan seorang saksi yang disumpah(1).

Karena ketatnya para ulama fiqh berpegang pada makna tekstual ayat di atas, maka tindakan Nabi tersebut diartikan sebagai telah memenuhi ketentuan Al-Qur’an mengenai dua orang saksi. Lantaran sumpah saksi tersebut dipandang sebagai pengganti seorang saksi. Demikian pula penggantian seorang saksi laki-laki dengan dua orang saksi wanita, dipegang secara harfiah oleh para ulama fiqh tanpa melihat alas an Al-Qur’an, yaitu, "Jika salah satu diantara keduanya lupa, maka yang lain akan mengingatkannya…." (Al-Qur’an: II:182). Jadi dalam kasus pergantian saksi ini, tampak bahwa dua wanita sebanding nilainya dengan sumpah seorang saksi laki-laki.

Ilustrasi di atas memperlihatkan, betapa terikatnya para fiqh terhadap zhohir nash (baca: makna redaksional) tanpa mau menengok gagasan-gagasan lain dalam Al-Qur’an, seperti keadilan gender, persamaan manusia, yang merupakan doktrin sentral dalam Kitab Suci. Juga tampak bahwa pemaknaan ayat tersebut telah dikeluarkan dari konteks kesejarahannya. Memang dalam penafsiran di atas, telah dikemukakan asbaab al-nuzul (sebab-sebab turunnya)-ayat tersebut, namun hal ini tidak terinteraksi atau dikaitkan dengan penafsiran mereka(2).

Contoh kasus pemahaman harfiah dan parsial pada ayat tersebut (demikian juga dengan penafsiran para ulama fiqh pada puluhan ayat lain, terutama yang terkait hubungan sosial dan individual pria dengan wanita) mendapat sokongan dari kaedah-kaedah ushul al-fiqh yang pada hakekatnya dirumuskan dari nash-nash yang terisolasi dan merupakan pemaksaan pra-konsepsi ke dalam Al-Qur’an yang tidak dapat dibiarkan. Dengan demikian tidaklah mengherankan, penafsiran-penafsiran dan produk-produk hukum yang menggunakan kaedah tersebut bersifat parsial dan tidak mampu menyampaikan pesan Al-Qur’an secara utuh.

Dua ilustrasi berikut memaparkan proses perumusan kaedah-kaedah ushul fiqh tersebut:

Kaedah; "Al-‘umuruu bi maqashidiha (setiap sesuatu -dinilai dari- maksudnya)", dirumuskan dari firman Allah, "Wa maa ‘umiruu illa li ya’budullaha mukhlishina lahu ad-din. (Qs. Al-Bayyinah:5), dan ayat "Fa’budillah mukhlisan lahuu ad-din." (Qs. Az-Zumar:2), serta hadist Nabi, "Inna ma al-a’maalu bi an-niyat." (Mutafaqqun alaih) (3).

Kedua ayat yang dijadikan landasan tersebut, telah dikeluarkan dari konteksnya, yang sebenarnya mengacu pada agama monoteis yang diwahyukan pada Muhammad dan didakwakan oleh Al-Qur’an. Istilah ‘ibadah yang digandengkan dengan ikhlash dan din, mengacu pada agama tauhid dan hanif dalam Al-Qur’an. Sebab pemakaian kata ikhlash dan turunannya di dalam Al-Qur’an selalu mengacu pada mengesakan Allah (4).

Berpijak dari makna yang diperoleh dari konteks bahasa ini, kiranya sukar dimengerti, bagaimana kedua ayat di atas (Al-Bayyinah:5 dan Az-Zumar:2) dapat dijadikan basis untuk merumuskan kaedah, "Al-‘umuruu bi maqashidiha," terlebih lagi jika dihubungkan dengan istilah niyyat yang terdapat pada hadist yang diriwayatkan oleh Ibn Umar di atas.

Kaedah lain yang memperlihatkan kesewenangan para fuqoha dalam menafsikan ayat Al-Qur’an, adalah "Al-‘Adah muhakkamah (kebiasaan atau tradisi –dapat menjadi- ketetapan hukum)." Landasan penetapan kaedah ini diambil dari Surah Al-A’raf:199. "Khuz al-‘ufwa wa a’mur bi al-‘urfi wa a’ridh ‘an al-jahilin." Namun penelusuran seluruh kosakata urf dan turunannya dalam Al-Qur’an tidak memberi tempat untuk ditafsirkan "tradisi (5)." Juga dibentuk berdasarkan hadist yang diriwayatkan Imam Ahmad dalam kitab Musnad-nya (6).

Ilustrasi di atas menggambarkan kaedah-kaedah yang dirumuskan dari ayat-ayat Al-Qur’an. Di samping itu, masih banyak kaedah-kaedah lain yang dirumuskan dari hadist-hadist yang spesifik bahkan fatwa-fatwa para imam mazhab. Lebih jauh, kaedah-kaedah yang "arbitrer" ini menimbulkan perbedaan-perbedaan pendapat dan perbedaan-perbedaan penetapan hukum.

Sebagai contoh akutnya perselisihan ini, bisa dikemukakan penafsiran Al-Qur’an surah An-Nur:33, persis pada potongan ayat; "Fakaatibuuhum in ‘alimtum fii him khoiraan." Bagian ayat ini menyuruh orang-orang Islam memperkenankan para budak mereka membeli kebebasannya dengan harga yang disepakati secara berangsuran(7).

Mazhab Zohiri berpendapat, pernyataan fakatibuu hum menunjukan wajibnya seorang tuan menerima permintaan budaknya dengan mukaatabah. Mazhab ini perpegang pada kaedah ushul fiqh; al-amru fii syaiin lii al-wujub. Di samping itu, juga perpegang pada sebuah riwayat yang diterima dari Anas Ibn Malik, yang menolak mukatabah salah seorang budaknya. Setelah ditegur Umar Ibn Khatab, Anas menerimanya. Akan tetapi jumhur (mayoritas) ahli fiqh berpendapat, lafaz tersebut hanya anjuran bagi si tuan untuk menerima permintaan pembebasan diri dari budaknya. Mereka berlandaskan pada kaedah ushul fiqh; al-amru fii syaiin lii an-nadb. Di samping itu, jumhur juga berpendapat, mukatabah terikat pada syarat adanya keyakinan dari si tuan, jika pembebasan itu berdampak baik bagi budak tersebut. Syarat ini menunjukan bahwa si tuan tidak wajib menerima mukatabah. Alasan lain adalah, terdapat sabda Nabi yang terjemahannya, "Tidak halal harta seorang muslim kecuali atas izinnya." Karena menurut jumhur budak adalah harta, untuk itu mayoritas ulama fiqh berpendapat tidak syah mukatabah kecuali atas izin tuannya. Jumhur juga menyebutkan ijma’ (konsensus mayoritas ahli fiqh), bahwa seorang tuan tidak harus menerima usulan budaknya, sehingga mukatabah tidak wajib dilakukan oleh si tuan tersebut(8).

Penerapan kaedah ushul fiqh dalam memahami dan menyimpulkan ayat-ayat (hukum) Al-Qur’an seperti yang dijelaskan di atas, selain mengindikasikan betapa akutnya perselisihan yang terjadi, juga memperlihatkan penafsiran yang parsial, atau mungkin artifisial.

Kaedah-kaedah fiqhiyah yang disimpulkan dari nash-nash Al-Qur’an yang spesifik dan parsial, serta fatwa para imam mazhab, secara metodologis telah gagal sejak semula untuk dijadikan perangkat dalam memahami pesan-pesan Al-Qur’an secara utuh. Tampak jelas bahwa penggunaan metode tersebut telah menendang pesan kitab suci yang paling vital, persamaan manusia dan egalitarianisme.

Katakanlah, meski pun Mazhab Zahiri mewajibkan membebaskan budak dalam kasus ini, namun argumentasinya tidak dibangun dari pemahaman yang utuh dari Al-Qur’an dan gagasan pokok Al-Qur’an tentang persamaan martabat manusia. Kegagalan memahami pesan pokok Al-Qur’an lantaran menggunakan metode ushul fiqh ini tidak disadari para ulama fiqh. Bahkan, ada kecenderungan saat ini untuk mencari solusi dari problematika sosial lewat kaedah-kaedah seperti ini (terutama problematika sosial yang tidak disebutkan dalam Al-Qur’an). Wallahu A’lam bi as-Showab.


Catatan Kaki:

1Lihat Sunan Abi Dawud, Jilid II, hal. 172, Dar al-Fikr, Beirut-Libanon, 1994 M/1414 H.
2 Lihat misalkan tafsir ayat tersebut pada Hasyiah al-‘Alamah as-Showy ala Tafsir al-Jalalain, jilid II, hal. 132-133, Syaikh Ahmad as-Showy al-Maliky, Beirut-Libanon, Dar al-Fikr, tth.
3 Lihat misalkan, Al-Asy Bah wa an-Nadhoir fi al-Furu’ karya Jalaluddin as-Syuyuthi. Wafat 991 H. Hal. 6-7. Dar al-Kutub al-Islamy. Tth.
4 Lihat Al-Qur’an II:139, IV:156, VIII:29, XII:22,24, XIX:51 dan ayat-ayat lain yang berbicara tentang keesaan Allah, ditempatkan kata ‘ikhlash.’
5 Al-Qur’an II:89,241 III:104,114, IV:144 dan sejumlah ayat yang lain.
6 Op. Cit. Jalaluddin as-Syuyuthi, hal.63.
7 Kata khair di dalam Al-Qur’an dapat berarti "sesuatu yang baik," dapat pula berarti "harta." Dalam ayat ini berarti "harta." Lihat Al-Raghib al-Isfahani, Mu’jam al-Mufradaat al-Fazil a-Qur’an, Dar al-Katib al-Araby, 1972 hal. 163,164.l
8 Muhammad ‘Ali as-Syabuny, Rawa’i al-Bayan, Beirut:Dar-al-Kalam 1971, vol.II, hal. 191-193.