Thursday, August 30, 2007

Delegitimasi Elit Agama

Oleh: Buya Abd Aziz Aru Bone

Diterbitkan www.rakyatmerdeka.co.id
Rublik GAZEBU
Jumat, 31 Agustus 2007, 08:38:08 WIB

Setiap usai shubuh berbagai stasiun televisi dan radio menyiarkan beragam acara keagamaan. Berbagai gaya dan tipe ustad, kiai, pendeta dan biksu tampil sebagai narasumber menyerukan berbagai nilai moral agama masing-masing. Tapi di seberang sana, realitas sosial masyarakat seakan tak tersentuh apa-apa. Angka kriminalitas terus melonjak dari tahun ke tahun, kekerasan mengatasnamakan agama antarpemeluk agama atau antarpemeluk seagama sering terjadi, meski bertahun-tahun pelaksanaan dialog lintas iman teramat sering kita dengar. Anda pun bisa menambah daftar kesenjangan dalam benak masing-masing.

Ada sejumlah variable yang berpengaruh dan sejumlah sudut pandang untuk menjelaskan fakta ini. Tapi terlepas dari variable dan sudut pandang sosial, politik, pendidikan, kultural dan ekonomi yang ada dalam benak anda, saya berpendapat bahwa para elit agama -secara sadar atau pun tidak- sebenarnya turut bersumbangsih besar atas hilangnya fungsi praksis etika agama.

Dalam sudut pandang ini, kondisi tersebut saya rasa menjelaskan delegitimasi para elit agama oleh umatnya. Delegitimasi tersebut mengakibatkan mulai memudarnya pengaruh elit agama terhadap gerak dan etika sosial kaumnya. Delegitimasi disebabkan akumulasi kekecewaan umat beragama terhadap elit agama yang secara terus-menerus mempertontonkan inkonsistensi antara ucapan, normativitas agama dengan sikap praksisnya.

Berbagai politisasi agama kalangan elit agama di panggung Pemilu dan Pilkada menegaskan asumsi bahwa, elit agama bisa dibeli oleh politisi dan pengusaha, praktek korupsi oleh elit agama ketika duduk dalam birokrasi, keberpihakan elit agama terhadap kebijakan pemerintah yang jelas-jelas merugikan rakyat, kegagalan elit agama dalam memainkan peran sosialnya sebagai oposan pengelola negara dan penyambung lidah rakyat yang terhimpit dalam tingkat kesejahteraan hidup yang menyesakan dada, serta berbagai contoh lain yang memperlihatkan pengkhianatan elit agama, adalah tindakan yang mempertontonkan inkonsistensi dan pengkhianatan elit agama, bukan saja terhadap aspirasi dan kepercayaan umatnya, tapi juga ajaran agamanya. Puncaknya, akumulasi dagelan para elit agama itu secara perlahan seakan ingin mengkonfirmasi dugaan publik, bahwa banyak para elit agama tidak memiliki integritas moral untuk dijadikan teladan dan panutan.

Disinilah delegitimasi terjadi, tapi tidak dalam bentuk peniadaan elit agama secara personal dan institusional, melainkan dalam bentuk penegasian atau penafian terhadap tuntunan (baca: ajaran moral) yang keluar dari lidah para elit agama. Dalam bahasa yang sederhana, kondisi ini bisa diwakilkan oleh adegium, “Agamawan kita adalah tontonan, bukan penuntun.”

Delegitimasi elit agama menyebabkan normativitas nilai-nilai agama yang kerap didengungkan di mimbar khutbah di tempat-tempat ibadah, ceramah radio dan televisi, kehilangan gaungnya dalam realitas. Dalam kondisi demikian, pesan-pesan agama itu hanya merupakan seruan kosong tanpa makna kerena kehilangan praksisnya. Akan tetapi, karena basis kultural masyarakat Indonesia yang demikian kokoh, delegitimasi terhadap elit agama tidak berlanjut pada delegitimasi institusi agama.

Agen Kebaikan

Dalam perannya sebagai “agen kebaikan,” para elit agama dituntut untuk menjadi model yang mempraksiskan etika agama dalam realitas individual dan sosialnya. Harapan ini meniscayakan tuntutan, para elit agama harus memberikan orientasi kemanusiaan dalam pembicaraan tentang Tuhan dan ketaatan manusia kepadan-Nya. Itu artinya, harus mengembalikan normativitas agama menjadi aksi praksis.

Dalam konteks berbagai problematika kehidupan kita bermasyarakat, tuntutan ini dapat diturunkan dalam berbagai agenda praksis. Misalkan, penghentian politisasi agama oleh para elit agama di panggung pemilu dan pilkada, kesederhanaan hidup yang menggambarkan hadirnya rasa keprihatinan terhadap rendahnya tingkat kesejahteraan rakyat kecil, hadirnya konsistensi antara normativitas ajaran agama yang diucapkan oleh para elit agama di berbagai mimbar khutbah, siaran televisi, radio dan tumpukan buku dengan sikap sosial mereka, keberpihakan aktif para elit agama terhadap rakyat kecil menyangkut isu-isu sosial-kemanusiaan, kehadiran sikap oposan-kritis para elit agama dalam peran sosial-kulturalnya sebagai “agen kebaikan” untuk sepenuh hati berpihak pada kepentingan rakyat ketika berhadapan dengan kebijakan pemerintah yang merugikan rakyat.

Pendek kata, para elit agama digugat untuk mengembalikan fungsi revolusioner agama dalam ranah sosial-kultural seperti yang pernah dicontohkan para nabi, namun selama ini dikhianati.

Seperti dicontonkan para Nabi, di tangan mereka agama tidak hanya urusan tentang Tuhan. Di tangan para Nabi agama hadir sebagai perangkat revolusioner bagi pembebasan umat dari berbagai persoalan hidup kemanusiaan. Peran praksis agama ini pernah dicontohkan oleh Nabi Musa saat membebaskan pengikutnya dari otoritarianisme Fir’aun, penguasa Mesir Kuno. Juga pernah dicontohkan Nabi Isa (Yesus) saat membebaskan bangsa Yahudi dari kekaisaran otoriter Romawi yang kala itu dipimpin Herodes. Pun pernah dicontohkan Nabi Muhammad saat membebaskan masyarakat Arab dan dunia.

Maka di tangan para nabi, agama hadir sebagai perangkat pembebasan masyarakat yang tertindas. Dalam sejarahnya, para Nabi selalu menempatkan diri sebagai oposan penguasa yang sangat kritis, tanpa takut tetapi sangat cerdas. Dalam sejarahnya, para Nabi senantiasa berpihak pada rakyat tertindas dan menjadi oposan yang cerdas terhadap penguasa dalam berbagai isu sosial-politik pada zaman mereka.

Karena memang, pembebasan seseorang atau komunitas sosial dari derita kemiskinan, kebodohan, ancaman ketertindasan, perilaku tidak adil, adalah tujuan pokok pewahyuan agama. Disini pula lah sebenarnya terletak inti utama ajaran berbagai ritus keagamaan.

Karena itu adalah pengkhianatan terhadap Tuhan dan para Nabi jika para elit agama melakukan politisasi agama, bersikap acuh pada berbagai penderitaan rakyat, tidak konsisten antara sikap hidup dalam ranah sosial dengan kata-kata yang keluar dari lidahnya di berbagai mimbar khutbah, siaran TV dan radio. Pun adalah pengkhianatan pada agama jika para elit agama tidak memiliki keberanian membela rakyat yang jelas-jelas dirugikan oleh kebijakan penguasa, bersikap loyal dan tidak kritis terhadap pemerintah. Seperti halnya juga merupakan sebuah dosa, jika para elit agama menggunakan agama untuk menghadirkan militansi umatnya untuk berbuat kerusakan dan menyebarkan ketakutan di tengah masyarakat dengan mengatasnamakan agama.

Tentu saja, tanggungjawab melakukan perbaikan yang dimulai dengan sikap konsisten antara normativitas etika agama dengan sikap hidup bukan hanya berada di pundak para elit agama. Dalam beragam profesi dan bidang pengabdian yang kita geluti, kita dituntut untuk bersikap seperti itu.

Adapun konteks kehidupan bernegara dan bermasyarakat, maka juga meniscayakan perbaikan sistemik-kultural dalam ranah politik, sosial, hukum untuk menghadirkan kultur-sistem yang transparan, accountable, bersih, yang mampu memaksa setiap individu untuk mempraksiskan nilai moral saat berada dalam sistem dan kultur tersebut. Wallahu a’lam

Ciputat, Rabu dinihari, 29 Agustus 2007.

Friday, August 17, 2007

Puritanisme Islam dan Pengkhianatan Elit Politik

Oleh, Buya Abd Aziz Aru Bone

Diterbitkan rakyatmerdeka.co.id pada rublik gazebo Sabtu, 18 Agustus 2007, 15:30:37 WIB.

Hari Minggu (12/8) kemarin, sekitar 90 ribu massa Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) memadati Gelora Bung Karno (GBK) Senayan, Jakarta , dalam acara bertajuk, “Saatnya Khilafah Memimpin Dunia; Konferensi Khilafah Internasional 2007.” Organisasi Islam puritan yang menyatakan diri sebagai gerakan politik dengan agenda pembentukan Khilafah Islamiyah ini secara tegas menyatakan, menolak konsep sosial-politik Barat, seperti, konsep negara-bangsa (nation-state) dan demokrasi.

Dengan pembentukan Khilafah Islamiyah, HTI bukan saja bercita-cita melenyapkan demokrasi dan negara-bangsa Indonesia , tapi juga mencita-citakan semua negara berpenduduk muslim mayoritas sebagai satu kesatuan politik.

Kebangkitan Islam puritan yang aktornya diperankan oleh gerakan keislaman seperti HTI, erat kaitannya dengan era panjang kolonialisme Eropa di Dunia Islam, terutama Timur Tengah. Kesadaran yang lahir di kalangan dunia Islam sebagai respon terhadap kolonialisme Barat di era kolonial adalah, bahwa yang paling berbahaya dari kolonialisme bukanlah dominasi militer Barat, melainkan invasi kultural ideologi Barat yang mengikis kepercayaan umat terhadap validitas ajaran Islam. Maka berbagai konsep sosial politik yang diidentifikasi berasal dari Barat, seperti, nation-state, sekularisme, demokrasi dan liberalisme, diletakan sebagai musuh yang harus diperangi karena dipandang mengancam koherensi dan validitas Islam. Dan seruan untuk kembali kepada autentisitas Islam dipandang sebagai solusi untuk menghadapi invasi kultural Barat. (El Fadl, 1997:2).

Dalam konteks pasca kolonial kini, sikap menempatkan dunia Islam pada kutup yang berlawanan secara diametral dengan Barat terus berlanjut dengan mengambil beragam agenda dan strategi, dari yang paling radikal melalui berbagai gerakan terorisme yang dimotori oleh organisasi seperti Al-Qaeda, hingga yang mengambil perlawanan politik-kultural dengan melakukan penolakan secara menyeluruh dan fundamental atas berbagai konsep sosial politik Barat, seperti yang dipelopori organisasi gerakan keislaman Hizbut Tahrir di berbagai negara.

Meski berbeda agenda dan strategi aksi, tapi gerakan Islam puritan ini sama-sama memposisikan Barat sebagai the others (meminjam istilah Edward W Said) yang menyebabkan keterpurukan Dunia Islam melalui kolonialisme duhulu, hingga imperealisme kini.

Sikap menempatkan Barat sebagai lawan juga dipicu dan seakan mendapatkan justifikasi teologis oleh pembacaan teks-teks keagamaan dengan lagam puritanistik.

Kaitannya dengan ini, tokoh penting dan ideologi Ikhwanul Muslimin yang merupakan organisasi asal Hizbut Tahrir, Sayyid Qutb, meramu tafsir tentang jihad sebagai ajaran ofensif, bukan defensif. Dalam lagam penafsiran yang puritanistik-tekstual ala Qutb, Islam puritan juga mendapatkan justifikasi teologis untuk menolak semua ideologi dan konsep-konsep sosial politik Barat yang dinilai mengancam koherensi dan validitas Islam, termasuk demokrasi dan nation state.

Kini Islam puritan hadir di Indoensia. Selain dipengaruhi dua faktor di atas, tumbuh suburnya puritanisme Islam di Indonesia pasca runtuhnya rezim Orde Baru, juga merupakan aktualisasi kekecewaan masyarakat bawah atas peralihan politik dari rezim Orde Baru ke Era Reformasi yang sama sekali tidak berdampak pada perbaikan kesejahteraan rakyat.

Kecewa terhadap elit politik yang tidak menunjukan komitmen sungguh dan kepedulian penuh pada rakyat, rakyat pun bukan saja tidak percaya terhadap elit politik, tapi juga tidak percaya terhadap demokrasi. Lalu memandang penuh harap pada gerakan puritanisme agama yang dipandang memberikan harapan baru di dunia dan bumbu-bumbu janji syurgawi di kehidupan setelah mati.

Maka perlawanan terhadap puritanisme Islam Indonesia , sebenarnya bukan saja merupakan tantangan dan tanggungjawab kalangan muslim moderat dan civil sosiety, tapi juga elit politik.

Meski kehadirannya mengancam demokrasi dan negara-bangsa Indonesia , perlawananan terhadapnya tidak perlu melibatkan tangan besi kekuasaan negara, karena akan bertentangan dengan prinsip demokrasi yang meniscayakan kebebasan berorganisasi dan berpendapat. Biarkan saja demokrasi yang sedang tumbuh ini menjadi pasar bebas bagi ide-ide keagamaan.

Perlawanan terhadapnya sebaiknya dilakukan secara kultural oleh kalangan Islam moderat dan civil society dengan memberikan pemahaman kepada kaum muslimin Indonesia tentang pentingnya meletakan Islam sebagai corpus terbuka, moderat, dan mengambil peran kultural dalam relasi Islam dan negara, bukan sebagai ideologi politik tertutup yang legal-formalistik. Karena tidak seperti Islam Arab, dengan peran kulturalnya Islam Indonesia mengikuti gerak sejarah yang non-linear, yang mengalami kontinuitas, diskontinuitas dan perubahan. Dalam konteks Islam Indonesia , gerak sejarah itu mampu direspon secara terbuka dan adaptif, termasuk terhadap ide-ide progesif dan demokrasi.

Itu saja tidak cukup, tugas berat juga diemban para pengelola negara dan elit-elit politik untuk segera mengakhiri pengkhianatannya terhadap rakyat dan nilai-nilai demokrasi. Bahwa kini sudah saatnya para elit politik harus menunjukan keseriusan, komitmen tinggi dan keberpihakan pada rakyat agar perubahan politik yang terjadi secara langsung dapat berpengaruh positif pada perbaikan kesejahteraan rakyat, bukan hanya pergantian kekuasaan politik di tingkat elit.

Keberpihakan sepenuh hati pada kesejahteraan rakyat, merupakan keniscayaan muktak untuk menumbuhkan optimisme rakyat terhadap demokrasi sekaligus membendung arus puritanisme Islam yang mengancam nation-state dan demokrasi Indonesia . Lantaran, puritanisme Islam tumbuh subur di Indonesia pasca Orde Baru, bukan hanya sebagai respon atas sikap politik Barat terhadap dunia Islam yang tidak adil dan disokong oleh pemahaman keislaman yang puritanistik, tapi juga dipicu oleh kekecewaan terhadap elit politik dan pengelola negara yang kerap mempertontonkan pengkhianatan atas nilai-nilai demokrasi dan tidak memiliki keberpihakan sepenuh hati kepada rakyat.(**)

Sunday, August 5, 2007

Islam Melawan Poligami


Oleh: Buya Abd Aziz Aru Bone*

Diskursus poligami masih terus bergulir dan telah menjadi perdebatan hangat. Tapi banyak orang salah paham tentang poligami. Mereka mengira poligami baru dikenal setelah Islam datang. Mereka menganggap Islamlah yang membawa ajaran poligami, bahkan ada yang secara ekstrim berpendapat bahwa jika bukan karena Islam, poligami tidak akan dikenal dalam sejarah manusia. Pendapat demikian sungguh kejam dan menyesatkan.

Berabad-abad sebelum Islam diwahyukan, masyarakat di berbagai belahan dunia telah mengenal dan mempraktekkan secara luas poligami di Yunani, Persia, dan Mesir kuno. Di jazirah Arab sendiri, jauh sebelum Islam, masyarakatnya telah mempraktekkan poligami tak berbatas. Poligami bukanlah suatu hal yang aneh ataupun tercela. Karena bagi mereka beristri lebih dari satu adalah sesuatu yang lumrah. Perempuan pada saat itu nilainya sangat rendah dan lemah. Ketika Islam datang, kebiasaan poligami itu tidak serta merta dihapuskan. Namun, setelah ayat yang menyinggung poligami diwahyukan, Nabi Muhammad lalu melakukan perubahan yang radikal sesuai dengan petunjuk kandungan ayat (Siti Musdah Mulia, 2004).

Ada dua ayat Al-Qur’an terkait poligami yang kerap diperdebatkan.
Pertama, ayat 3 pada Surah An-Nisa:

وَإِنْ خِفْتُمْ أّلاَّتُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى فَانكِحُوا مَاطَابَ لَكُم مِّنَ النِّسَآءِ مَثْنَى وَثُلاَثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّتَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَامَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلاَّتَعُولُ
و

Terjemahan:
Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. (QS. 4:3)
Kedua, Surat An-Nisa ayat 129:

وَلَن تَسْتَطِيعُوا أَن تَعْدِلُوا بَيْنَ النِّسَآءِ وَلَوْ حَرَصْتُمْ فَلاَ تَمِيلُوا كُلَّ الْمَيْلِ فَتَذَرُوهَا كَالْمُعَلَّقَةِ وَإِن تُصْلِحُوا وَتَتَّقُوا فَإِنَّ اللهَ كَانَ غَفُورًا رَّحِيمًا
Terjemahan:
Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil diantara isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. 4:129)

Kita akan mendiskusikan kedua ayat di atas dengan menyertai pembacaan beberapa tokoh intelektual Islam atas kedua ayat tersebut, setelah secara sekilas kita berbicara tentang praktek poligami Nabi yang sebenarnya merupakan penentangan terhadap praktek poligami masyarakat pada masa beliau.

Nabi Muhammad Melawan Poligami

Banyak orang beranggapan bahwa karena Nabi mempraktekan poligami, maka mereka mengganggap poligami merupakan sunnah Nabi. Anggapan seperti ini keliru besar dan sangat menyesatkan. Sebab, tidak semua tindakan atau perbuatan Nabi dapat dijadikan sumber syariah dalam ketetapan hukum Islam. Ada tindakan atau perbuatan Nabi yang bersifat tasyri’iyyah, ada juga tindakan Nabi yang bersifat af’al jibiliyyah. Khaled Abou El-Fadl menyebut hal ini secara padat dengan menyertai beberapa contoh.

In the discourse on the prophet’s legacy (sirāh), not all of the prophet,s are of equal imperative value. Rather, their value is depedent upon their categorization. Some of the sunnah is tasyri’iyyah (intended by the prophet to be legislative) and some constitutes af’al jibiliyyah (personal behavior not intended by the prophet to be legislative). The non legislative (jibiliyyah) category includes sunnah that relates to specialized or technical knowledge on things such as medicine, commerce, agriculture or war. It also includes matters that are peculiar to the person of the propet such as number of his wife or sawm al wisal. (El Fadhl: 2001).

Karena itu poligami yang dilakukan Nabi dipandang sebagai upaya transformasi sosial. Mekanisme poligami yang diterapkan Nabi merupakan strategi untuk meningkatkan kedudukan perempuan dalam tradisi feodal Arab pada abad ke-7 Masehi. Saat itu, nilai sosial seorang perempuan dan janda sedemikian rendah sehingga seorang laki-laki dapat beristri sebanyak mereka suka. Dalam hal ini, praktek poligami Nabi bertujuan membatasi praktik poligami tanpa batas masyarakat Arab saat itu, selain itu juga mengkritik perilaku sewenang-wenang, dan menegaskan keharusan berlaku adil dalam berpoligami.

Maka ketika Nabi melihat sebagian sahabat telah mengawini delapan sampai sepuluh perempuan, mereka diminta menceraikan dan menyisakan hanya empat. Itulah yang dilakukan Nabi kepada Ghailan bin Salamah Al-Tsaqafi, Wahb al-Asadi, dan Qais bin al-Harits. Nabi juga marah besar ketika mendengar putri beliau, Fatimah binti Muhammad SAW, akan dipoligami Ali bin Abi Thalib RA. Ketika mendengar rencana itu, Nabi pun langsung masuk ke masjid dan naik mimbar, lalu berseru; “Beberapa keluarga Bani Hasyim bin Al-Mughiroh meminta izin kepadaku untuk mengawinkan putri mereka dengan Ali bin ABi Thalib. Ketahuilah, aku tidak akan mengizinkan, sekali lagi tidak akan mengizinkan, sungguh tidak aku izinkan, kecuali Ali bin Abi Thalib menceraikan putriku, ku persilakan mengawini putri mereka. Ketahuilah, putriku itu bagian dariku; apa yang mengganggu perasaannya adalah menggangguku juga, apa yang menyakiti hatinya adalah menyakiti hatiku juga.” (Jami’ al-Ushul, Juz XII)

Sama dengan Nabi yang berbicara tentang Fatimah, hampir semua orangtua tidak akan rela jika putrinya dimadu. Seperti dikatakan Nabi, poligami akan menyakiti hati orangtua dan wanita (baca: istri) yang dipoligami.
Dari sini kita juga menarik pemahaman, bahwa dari awal Islam telah memperjuangkan hak-hak kaum wanita (baca: istri) dengan secara gradual melakukan pembatasan terhadap kebiasaan berpoligami masyarakat saat itu dengan tujuan menetapkan hukum dasar hanya mempraktekan monogami (satu istri).


Al-Qur’an Melawan Poligami

Dengan mempertimbangkan tradisi Nabi di atas, kita dapat menarik kesimpulan bahwa Islam pada dasarnya hanya membolehkan seorang suami memiliki seorang istri saja, demi menjaga ketenangan kehidupan berkeluarga dan agar lebih mudah menjaga, memelihara dan mendidik anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut.

Namun, para ulama masih berbeda pendapat tentang hukum perkawinan poligami, apakah boleh atau tidak. Perbedaan pendapat ini justeru timbul saat mendiskusikan kedua ayat al-Qur’an; An-Nisa ayat 3 dan An-Nisa ayat 129. Lantaran terbuka peluang pada redaksi kedua ayat tersebut untuk ditafsirkan Al-Qur’an membolehkan poligami.

Seperti sudah kita tegaskan sejak awal, Islam bukanlah agama yang mula-mula mengajarkan poligami. Sewaktu Islam datang, poligami sudah umum dilakukan masyarakat. Bahkan poligami di kala itu, merupakan poligami yang mutlak tanpa batas. Kemudian Islam sebagai “agama baru” yang hadir dalam tatanan masyarakat patriakhal berusaha menentang poligami dengan secara simultan memberikan respon terhadap realitas yang demikian dengan melakukan pembatasan atau mencari sintesa atau jalan tengah. Tujuannya jangka pendeknya, yaitu, agar praktek poligami masyarakat Arab saat itu (masa awal dan generasi Islam klasik yang patriakal) yang tidak bisa dihapus secara serta merta, dapat menjadi rahmat kepada setiap orang dan dapat menjaga keutuhan rumah tangga dan masyarakat. Hal ini sejalan dengan tradisi kenabian yang sudah kita sebutkan di atas.

Permasalahan kemudian adalah, lahirnya modernisme menuntut terjadinya kesetaraan relasi pria dan wanita. Dalam konteks perubahan sosial yang menuntut penerapkan kesetaraan lelaki dan perempuan, poligami dilihat sebagai sistem masyarakat primitif, yang meningkat dan menurun sejalan dengan meningkat dan menurunnya kondisi perempuan.
Maka membebaskan wanita dari sistem poligami adalah suatu langkah untuk memajukan wanita, karena poligami sudah tidak sesuai lagi dengan zaman modern, dimana wanita sudah memperoleh hak-haknya dengan sempurna. Sedangkan poligami merupakan sistem perkawinan yang menitikberatkan kesejahteraan laki-laki dengan mengorbankan kedudukan dan kemuliaan wanita (Chadijah Nasution,1976).

Terlepas dari pembahasan ada atau tidaknya pengaruh gerakan femenisme modern terhadap penafsiran keislaman. Saya ingin menegaskan bahwa para pemikir Islam yang menolak poligami seperti Muhammad Abduh, Rasyid Ridho, Fazlur Rahman dan Nasr Hamid Abu Zayd, telah berupaya memberikan penafsiran baru atas An-Nisa ayat 3 dan ayat 129. Penafsiran mereka berbeda dengan penafsiran berbagai tafsir para ahli fiqh dan ahli tafsir klasik yang diketahui membolehkan poligami empat istri.

Berikut saya kutipkan kembali dua ayat tersebut lalu merangkum pembacaan para tokoh di atas tentang kedua ayat tersebut.
Surah An-Nisa ayat 3:


وَإِنْ خِفْتُمْ أّلاَّتُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى فَانكِحُوا مَاطَابَ لَكُم مِّنَ النِّسَآءِ مَثْنَى وَثُلاَثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّتَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَامَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلاَّتَعُولُو

Artinya:
Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. (QS. 4:3)

Dan Surat An-Nisa ayat 129:

وَلَن تَسْتَطِيعُوا أَن تَعْدِلُوا بَيْنَ النِّسَآءِ وَلَوْ حَرَصْتُمْ فَلاَ تَمِيلُوا كُلَّ الْمَيْلِ فَتَذَرُوهَا كَالْمُعَلَّقَةِ وَإِن تُصْلِحُوا وَتَتَّقُوا فَإِنَّ اللهَ كَانَ غَفُورًا رَّحِيمًا
Terjemahan:
Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil diantara isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. 4:129)


Pada umumnya para ulama klasik dari kalangan mufassir (ahli tafsir) maupun faqih (ahli fiqh) berpendapat, berdasarkan ayat di atas, pria muslim dapat menikahi empat perempuan. Tafsir ini telah mendominasi nalar seluruh umat Islam.

Tetapi Ulama seperti Muhammad Abduh (1849-1905) tidak sepakat dengan penafsiran itu. Dalam Tafsir Al-Manar ia mengatakan, baginya diperbolehkannya poligami karena keadaan memaksa pada awal Islam muncul dan berkembang di Jazirah Arab. Pertama, saat itu jumlah pria sedikit dibandingkan jumlah perempuan akibat mati dalam peperangan antar suku dan kafilah, maka sebagai bentuk perlindungan, para pria menikahi perempuan lebih dari satu. Kedua, saat itu Islam masih sedikit sekali pemeluknya. Dengan poligami, perempuan yang dinikahi diharapkan masuk Islam dan memengaruhi sanak-keluarganya. Ketiga, dengan poligami terjalin ikatan pernikahan antarsuku yang mencegah peperangan dan konflik.

Kini, keadaan telah berubah. Poligami, papar Abduh, justru menimbulkan permusuhan, kebencian, dan pertengkaran antara para istri dan anak. Efek psikologis bagi anak-anak hasil pernikahan poligami sangat buruk: merasa tersisih, tak diperhatikan, kurang kasih sayang, dan dididik dalam suasana kebencian karena konflik itu. Suami jadi suka berbohong dan menipu karena sifat manusia yang tidak mungkin berbuat adil.
Islam, menurut Abduh, adalah agama yang menganut perkawinan monogami, sebagaimana tendensi Al-Quran sendiri mengarah pada kesimpulan ini. Ia menggambarkan, seandainya perkawinan poligami diizinkan, persyaratan adil yang diberikan dalam surat an-Nisa ayat 3 tersebut susah untuk dipenuhi. Ia justru melihat, bahwa dalam ayat tersebut tidak ada kesan dorongan berpoligami tapi malah lebih pada kecaman terhadapnya.

Dalam konteks keadilan, Fazlur Rahman sebagaimana dikutip Musdah Mulia mengemukakan bahwa, frase keadilan yang diisyaratkan al-Quran untuk orang yang ingin berpoligami bukan dengan ukuran materi, tetapi cinta. Dengan merujuk ayat-ayat lain, seperti surat Al-Rum ayat 21 dan surat Al-Baqoroh ayat 187, Rahman mengemukakan bahwa Al-Quran menghendaki hubungan suami istri harus berlandaskan atas cinta dan kasih sayang. Jadi jika ukuran keadilan adalah materi, mustahil al-Quran mengatakan kemusykilan laki-laki untuk tak dapat berlaku adil meski ia menginginkannya. Ketika al-Quran mengatakan “Dan sesungguhnya kamu tidak akan sanggup berlaku adil terhadap istri-istrimu meskipun kamu ingin melakukannya”, maka secara jelas Al-Quran mengatakan bahwa perkawinan yang ideal dalam Islam adalah monogami (Musdah Mulia, 2004).

Lebih lanjut, argumentasi pembatalan poligami, dalam Tafsir al-Manar Abduh menjelaskan dalam tiga butir penjelasan, pertama; sesungguhnya syarat poligami adalah penerapan keadilan. Apabila dijumpai satu orang dalam satu juta maka tidaklah benar, dalam hal ini, untuk dijadikan prinsip. Ketika terjadi kerusakan pada jiwa-jiwa, yang dapat menguatkan bahwa para laki-laki itu tidak bisa berbuat adil kepada istri mereka, maka boleh bagi hakim untuk menolak poligami secara mutlak karena mempertimbangkan mayoritas. Kedua, ketika poligami laki-laki cenderung memperlakukan istri-istri mereka dengan buruk dan mengingkari hak-hak mereka dalam nafkah lahir dan batin. Hal tersebut adalah alasan bagi hakim untuk melarang poligami sebagai pencegahan terhadap kerusakan yang luas. Ketiga, bahwa sumber kerusakan dan permusuhan antar anak adalah perbedaan ibu. Oleh karena itu, boleh bagi hakim atau tokoh agama untuk melarang poligami untuk menyelamatkan rumah tangga dari kehancuran.

Tapi Abduh juga mengemukakan bahwa poligami dapat dilakukan hanya dalam kondisi darurat. Memiliki lebih dari seorang istri, kata Abduh, diperkenankan hanya dengan satu syarat yakni istri pertama terbukti tidak dapat memberikan keturunan. Itu disebabkan karena tujuan perkawinan dalam Islam, menurut Abduh, adalah untuk mempunyai keturunan. Gambaran pemikiran Abduh tentang poligami menjelaskan bahwa upaya Abduh, meski menentang poligami, namun belum mengisyaratkan ketegasan yang mutlak. Pada beberapa hal, Abduh masih terlihat toleran terhadap praktek berpoligami. Ini dapat dilihat, misalnya, ia selalu menyinggung bolehnya berpoligami. Dalam keadaan darurat namun harus tercipta di dalamnya kedamaian dan kemaslahatan dan tidak memunculkan kedzoliman.
Meski demikian, pada akhir pembahasannya, Abduh mengatakan dengan tegas bahwa poligami haram qat’y (haram mutlaq) karena syarat yang diminta adalah berbuat adil, dan itu tidak mungkin dipenuhi manusia. (lihat Tafsir al-Manar, Muhammad Rasyid Rida,t.th).

Dalam menjelaskan syarat berbuat adil yang ditetapkan oleh Abduh, intelektual Indonesia Syafiq Hasyim mengatakan, Prinsip keadilan inilah yang digarisbawahi Abduh ketika dia mengeluarkan fatwa yang sangat menghebohkan untuk ukuran zamannya. Fatwah Abduh yang dikeluarkan pada tahun 1298 H. Abduh mengatakan bahwa syariat Muhammad SAW, memang membolehkan laki-laki mengawini empat perempuan sekaligus, jika tidak mampu berbuat adil, tidak diperbolehkan beristri lebih dari satu. Menurut Abduh, apabila seorang laki-laki tidak mampu memberikan hak-hak istrinya, rusaklah struktur rumah tangga dan kacaulah penghidupan keluarga. Padahal, tiang utama dalam mengatur kehidupan rumah tangga adalah adanya kesatuan dan saling menyayangi antar anggota keluarga.

Syafiq mengatakan, dengan demikian Abduh sangat menekankan pada keadilan yang kualitatif dan hakiki, seperti perasaan sayang, cinta, dan kasih, yang semuanya ini tidak bisa diukur dengan angka-angka. Hal ini sesuai dengan makna yang dikandung dalam istilah yang digunakan oleh al-Qur’an, yaitu al‘adalah, yang memang memiliki makna yang lebih kualitatif. Adapun keadilan yang dikemukakan oleh para ahli fiqh klasik lebih cenderung bersifat kuantitatif, yang sebenarnya lebih tepat untuk kata qisthum. Keadilan kuantitatif ini bersifat rentan karena sifatnya mudah berubah.
Keadilan kuantitatif tersebut, lanjut Syafiq, terdapat dalam aturan-aturan fiqh mengenai poligami, misalnya tentang pembagian rezeki secara merata di antara istri-istri yang dikawini, pembagian jatah hari (giliran), dan sebagainya. Para ahli fiqh tidak memperhatikan aspek-aspek yang kualitatif yang justru sangat menentukan, misalnya rasa saying,, cinta, tidak pilih kasih, memihak, dan sebagainya. Padahal, keadialn kualitatif ini menjadi prioritas utama. Orang yang bisa mencapai keadilan kuantitatif,belum tentu bisa mencapai keadilan kualitatif (Syafiq Hasyim, 2001).

Sementara Nasr Hamid Abu Zayd dalam bukunya yang diterbitkan dan diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dan diberi judul, Dekonstruksi Gender, mendiskusikan problem poligami pada Surat An-Nisa ayat 3 dengan tiga fokus pembahasan:

a. Konteks teks itu sendiri. Dia memulai pembahasan ini dengan mempertanyakan terabaikannya makna “atau budak-budak perempuan yang kamu miliki” pada ayat tersebut. Yang ia maksudkan adalah, bahwa praktek hukum memiliki tawanan perang atau budak perempuan sebagai selir yang boleh digauli dalam wacana Islamis telah hilang selamanya, sementara pada sisi yang lain poligami terus menerus dipertahankan. Padahal, menurutnya, hal itu telah ditetapkan oleh teks yang sama tingkat kejelasan dan ketegasannya.

Penjelasan para pengikut salafi literal dalam hal ini, lanjutnya, mengungkapkan kerancuan dan lemahnya pendapat mereka mengenai teks, lebih dari itu mengungkapkan juga kerancuan dan lemahnya cara pandang mereka terhadap kehidupan secara umum, bahkan terhadap teks-teks keagamaan. Dalam hal ini, pengikut salafi sebenarnya tidak menghilangkan indikasi “budak yang dimiliki itu” secara sengaja, tetapi tidak menyadari bahwa “hilangnya” hukum menggauli budak perempuan ini diniscayakan oleh dinamisnya kehidupan realitas manusia.

Dalam artian, Abu Zayd ingin mengatakan bahwa hal itu terjadi sebagai sebab dari perjuangan manusia untuk mengembalikan kebebasan mereka yang telah didominasi oleh sebagian yang lain dalam konteks system ekonomi sosial kuno. Dalam hal ini Abu Zayd memaksudkan pada gerakan perempuan (emansipasi).
Fenomena ”hilangnya” hukum menggauli budak yang dimiliki ini, menurut Abu Zayd, menunjukkan hilangnya kesadaran akan historisistas teks-teks keagamaan, bahwa ia adalah teks linguistic dan bahwa bahasa adalah sebuah produk social dan cultural. Sebagaimana Muhammad Abduh, Abu Zayd berargumen bahwa izin bagi seorang laki-laki untuk menikah dengan empat orang istri haruslah diletakkan dalam konteks hubungan antar manusia. Khususnya hubungan antara laki-laki dan perempuan sebelum kedatangan Islam

Abu Zayd menegaskan bahwa al-Quran merupakan perbuatan yang menyejarah, suatu peristiwa yang terwujud dalam sejarah dan terkondisikan oleh akal objek pembicaraannya (mukhatabun) dan karakter realitas social serta budaya yang terwujud di dalamnya. Abu Zayd berbicara di luar asumsi bahwa al-Quran adalah Azali atau Qodim. Baginya, historisitas kalam ilahi merupakan perkara yang tidak membutuhkan dalil di luar sejarah itu sendiri. Bahwa fenomena “hilangnya” hokum “budak yang dimiliki” adalah dilampaui oleh perkembangan social manusia tentunya tidak didalilkan di dalam teks.

b. Meletakkan teks dalam konteks al-Quran secara keseluruhan. Dalam fokus ini, Abu Zayd meniscayakan bahwa peletakkan teks di dalam konteksnya yang lebih luas dapat mengungkapkan suatu dimensi makna yang penting dalam wacana, yaitu, dimensi yang tersembunyi atau disembunyikan (al-maskut ‘anhu) atau “yang tak terkatakan”, dalam pengertian bahwa yang implisit pada akhirnya dapat diungkapkan.

Teks al-Quran sendiri juga menyarankan untuk hanya memiliki seorang istri jika suami takut tidak bisa berbuat adil; “jika kamu takut tidak akan bisa berbuat adil (terhadap mereka)maka seorang saja”, teks yang ditunjuk Abu Zayd sebagai penegasan dan bukti tentang karakter gerakan yang dibicarakan oleh teks tentang kedudukan perempuan di dalam realitas yang direspon wahyu. Demikian pula teks lain yang mengatakan bahwa bersikap adil terhadap para istri adalah tidak mungkin dilakukan; “kamu tidak akan bisa berlaku adil di antara istri-istri kamu meskipun kamu sangat berkeinginan melakukannya” (QS An-Nisa’ 4;129).
Makna yang menurut Abu Zayd sesuai dengan metode analisis linguistik tentang penegasan bahwa bersikap adil di antara para istri –dalam poligami- tidaklah mungkin.

c. Dengan mendasarkan secara logis pada dua fokus pembahasan tersebut, Abu Zayd mengusulkan sebuah pembaharuan hukum Islam. (dalam hukum Islam klasik, poligami diklasisifikasikan dalam “hal-hal yang diperbolehkan” (al-mubahah).

Jika pembolehan poligami dalam realitas merupakan “penyempitan” dan transisi terhadap poligami yang lebih luas dan mendahului hukumnya, maka tema pembolehan (ibahah) menurut Abu Zayd, tidaklah sesuai karena pembolehan terkait dengan hal yang tidak diperbolehkan oleh teks. Sementara pembolehan poligami dalam al-Quran pada hakikatnya adalah sebuah pembatasan dari poligami yang tidak terbatas yang telah dipraktekkan sebelum datangnya Islam. Pembatasan tidak berarti pembolehan.

Dengan demikian, sedikit berbeda dengan Abduh yang mengatakan pembatalan hukum pembolehan poligami sekaligus mengatakan hukum asal poligami haram qot’y (haram muktak) tapi masih memberi toleransi membolehkan poligami pada kondisi darurat dan terpenuhinya syarat dapat berlaku adil secara kuantitatif dan kualitatif, yang karena jika kedua unsur itu (darurat dan mampu adil) terpenuhi secara bersamaan dimungkinkan terjadinya dispensasi hukum untuk dibolehkan berpoligami. Tampaknya Abu Zayd mengharamkan poligami secara multak dengan memberikan tiga fokus pembahasan di atas tanpa memberi dispensasi hukum meski dalam kondisi darurat. Wallahu a’lam bi ashowab.