Sunday, November 2, 2008

Ibn Rusyd & Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid


Oleh: Buya A.A. Aru Bone


Ibn Rusyd dikenal luas sebagai ahli Ilmu Kalam dan Filsafat. Tapi sedikit sekali yang menaruh perhatian bahwa Ibn Rusyd juga ahli fiqh (jurisprudensi hukum Islam). Karyanya yang berjudul Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid bukan hanya membahas perbedaan pendapat antarmazhab fiqh suni, tapi juga menjelaskan dan mendiskusikan secara sistematik-kritis berbagai argumentasi dan landasan ushuliyyah masing-masing pendapat hukum antarmazhab fiqh suni



Dunia intelektual Islam mempunyai penilaian tersendiri tentang Ibn Rusyd. Ilmuwan Islam kelahiran Cordova, Spanyol, 526 H/1126 M ini dikenal ahli berbagai bidang ilmu yang berkembang pada masanya. Ia mengusai Kedokteran, Ilmu Kalam, Filsafat, Ilmu Fiqh, Ushul Fiqh, Matematika, Astronomi dan Sastra Arab (Harun Nasution:1986).
Sebagai ahli kedokteran, ia adalah orang pertama yang mengatakan, jika seseorang pernah berjuang melawan penyakit cacar, maka sistem kekebalan tubuhnya akan melindungi dari serangan cacar seumur hidupnya. Ibn Rusyd juga merupakan ahli kedokteran pertama yang membuat gambar cara kerja dan kegunaan retina mata.

Sebagai ahli Ilmu Kalam dan Filsafat, ia seorang “fanatik” Aristotelian dan Platonian. Dia adalah pengagum berat Ilmu Mantiq Aristoteles dan menganggapnya sebagai sumber besar kebahagiaan. Sehingga ia menyesali, mengapa Aristoteles dan Plato tidak bertemu dengannya! Tetapi menurut alm. Prof. Nurcholis Madjid, segi lain yang lebih mengesankan dari Ibn Rusyd adalah, usahanya yang sungguh-sungguh untuk menggabungkan Agama dan Filsafat. Hal ini tercermin dalam salah satu karya terpentingnya yang berjudul, Fash al-Maqậl fi mậ baina al-Hikmah wa as-Syari’ah min al-Ittishậl. Nurcholish bahkan menyatakan, Ibn Rusyd lebih bersungguh-sungguh dibanding sejumlah filosof muslim sebelumnya, seperti, Al-Kindi, Al-Farabi, Ibn Sina dan lain-lain. Seperti yang ditegaskan Nurcholish, Ibn Rusyd mengajukan argumen bahwa, kebenaran agama dan kebenaran filsafat adalah satu, meski dinyatakan dalam simbol berbeda. Tapi Ibn Rusyd juga membela pandangan yang mengatakan bahwa, kebenaran tertinggi selalu bersifat filosofis, dan bagi yang mampu, harus diinterpretasikan demikian (Nurcholish Madjid: 1994)

Meski ahli dalam beragam disiplin ilmu yang berkembang pada masanya, ‘Abdul Mun’im Majid dalam Tarikh Al-Hadharoh Al-Islamiyyah fi Al-‘Ushur Al-Wustho menulis, sepanjang karir intelektualnya, Ibn Rusyd banyak mencurahkan pikirannya menulis Filsafat Aristotelian dan Platonian. Sehingga, filosof muslim yang di Eropa lebih dikenal dengan sebutan Averous ini dijuluki Sang Penafsir Terbesar Aristoteles dan Plato (‘Abdul Mun’im Majid: 1978).

Sementara Najati dalam Ad-Dirâsat An-Nafsiyyah ‘Inda Al-‘Ulama Al- Muslimin menulis, karya-karya Ibn Rusyd tentang Filsafat Aristotelian dan Platonian banyak yang diterjemahkan ke Bahasa Latin hingga mempengaruhi ahli-ahli pikir Eropa. Mengutip Muhammad Ali Abu Rayyan, Najati menyebutkan bahwa, pengaruh pemikiran Ibn Rusyd tampak jelas pada pemikir pelopor renaissance Eropa, seperti, Saint Thomas Aquinas dan Spinoza (Muhammad ‘Ustmani Najati: 1993)

Diantaranya dari karya-karya Ibn Rusyd, beberapa pioner pemikir awal renaissance Eropa mengenal Filsafat Helenisme yang pada akhirnya membebaskan Eropa dari The Dark Ages. Selain disebutkan oleh Najati, keterangan serupa juga disampaikan Nurcholis Madjid, Mun’im Majid dan Harun Nasution dalam buku mereka masing-masing sembari mengutip pengakuan beberapa sarjana Barat kontemporer.

Mengutip Rainan dalam bukunya Averous and Averousme, Najati juga mengatakan, karya-karya Ibn Rusyd mencapai 78 buku dan catatan yang cakupannya meliputi bidang Filsafat, Sastra Arab, Kedokteran, Fiqh, dan Astronomi. Banyak diantaranya yang hilang, sedikit sekali yang dapat dicetak. Najati menyebutkan, seluruh daftar karya Ibn Rusyd dapat diketahui dalam buku Mu’allafat Ibn Rusyd, sebuah buku yang khusus diterbitkan pada Festival Ibn Rusyd untuk memperingati delapan abad wafatnya.


Pelopor Kajian Fiqh Perbandingan

Meski dikenal luas sebagai ahli Ilmu Kalam dan Filsafat Islam, tapi tidak banyak yang menaruh perhatian bahwa Ibn Rusyd juga merupakan ahli Hukum Islam (jurist) atau faqih (plural: fuqoha). Kondisi serupa juga terjadi pada dunia akademik. Yasin Dutton, misalkan, dalam artikelnya yang berjudul The Introduction to Ibn Rusyd’s Bidayah al-Mujtahid pada jurnal Islamic Law and Society menyebutkan, hanya beberapa sarjana yang menulis Ibn Rusyd dalam kapasitas sebagai ahli hukum, seperti, artikel yang ditulis Brunschvig (1962), Abdel Magid Turki (1978), Dominique Urvoy (1991) dan disertasi Asadullah Yate (1991). Selebihnya, menulis Ibn Rusyd dalam kapasitasnya sebagai ahli Ilmu Kalam dan Filsafat (Yasin Dutton: 1994).

Adapun dalam bahasa Indonesia, telah banyak yang menulis Ibn Rusyd dalam kapasitasnya sebagai ahli Ilmu Kalam dan Filsafat, tapi penulis belum menemukan sebuah tulisan tentang Ibn Rusyd dalam kapasitasnya sebagai ahli hukum. Padahal karya Ibn Rusyd berjudul Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid, adalah karya klasik paling komprehensif dan sistematik dalam kajian Perbandingan Mazhab Fiqh Suni.
Ibn Rusyd memulai menulis Bidayah saat ia berusia 40-an tahun. Tapi karena suatu hal yang tidak ia jelaskan, ia baru menyelesaikan penulisannya 20 tahun kemudian atau tepatnya tahun 584 H/1188 M. Keterangan ini disebutkan Ibn Rusyd pada bagian akhir Bab Haji dalam karyanya, Bidayah.

Karya klasik ini digunakan kalangan pesantren yang akrab dengan kajian kitab kuning dan menjadi salah satu bacaan wajib para mahasiswa Jususan Perbandingan Mazhab dan Hukum IAIN/UIN, lantaran seperti tergambar dari judulnya, Bidayah memang merupakan rujukan permulaan bagi seseorang yang mulai belajar berijtihad dan akhir bagi seseorang yang mencukupkan dirinya dengan pengetahuan dasar hukum Islam. Maka dengan mempelajari Bidayah, seseorang diharapkan mencoba untuk berijtihad atas masalah-masalah yang belum ditemukan ketetapan hukumnya, maupun masalah fiqh klasik yang harus disesuaikan ketetapan hukumnya karena tuntutan al-maslahah sebagai konsekuensi loncatan zaman kontemporer.

Karena dalam Bidayah, Ibn Rusyd tidak hanya menyebutkan berbagai perbedaan pendapat mazhab-mazhab fiqh suni atas suatu masalah, tapi juga menjelaskan secara mendetil argumentasi-argumentasi perbedaannya .

Ibn Rusyd juga secara sistematik mempertimbangkan argumen-argumen utama yang menyebabkan terjadinya perbedaan pendapat para fuqoha lintas mazhab atas suatu masalah fiqh, ia juga menguak qowa’id (principles) ushuliyyah di balik berbagai perbedaan argumentasi yang ada. Lalu ia mendiskusikannya secara panjang lebar sembari melakukan analisis kebahasaan atas teks Al-Qur’an dan Al-Hadist yang dijadikan pijakan otoritas oleh para fuqoha dalam membangun argumentasi.

Bahkan pada tahap berikut, tak jarang ia mengunggulkan pendapat suatu mazhab dari mazhab yang lain atau mengambil qoul ar-rậjih, setelah mendiskusikan argumentasi terbaik masing-masing mazhab. Kadang pula, Ibn Rusyd mengungkapkan pendapatnya tentang suatu masalah, setelah menunjukan kelemahan argumentasi masing-masing mazhab yang ia diskusikan.

Dengan memperhatikan pendekatan Ibn Rusyd dalam penulisan Bidayah, tak berlebihan jika Ibn Rusyd ditempatkan sebagai salah seorang pelopor kajian Perbandingan Mazhab Fiqh (Muqoranah al-Mazhahib fi al-Fiqh).

Karena pada prinsipnya, pendekatan ini merupakan suatu pendekatan antarmazhab fiqh untuk menguji dan mendiskusikan pendapat maupun bangunan argumentasi masalah fiqh tertentu, guna mengetahui pendapat dan argumentasi mana yang paling unggul.

Selain memperlihatkan penguasaan Ibn Rusyd terhadap fiqh lintas mazhab, Bidayah juga memperihatkan penguasaan penulisnya terhadap disiplin ilmu Ushul Fiqh. Hal ini tampak pada bagian pengantar Bidayah. Dalam bagian pengantar yang hanya setebal tiga halaman ini (Bidayah edisi terbitan Dar al-Fikr, Cairo, tth.) Ibn Rusyd merangkumkan secara padat disiplin Ushul Fiqh yang ia jadikan sebagai landasan analisis-teori penulisan Bidayah.

Maka membaca Bidayah, kita tidak hanya disuguhkan beragam argumentasi dan perbedaan pendapat berbagai mazhab fiqh suni atas berbagai masalah fiqhiyah, tapi juga diajak untuk menyelami bagaimana suatu ketetapan hukum atas suatu masalah fiqh dibentuk dan bagaimana penggalian hukum (istinbanth) dilakukan.

Sebagai sosok yang juga ahli ilmu eksakta (kedokteran) dan filsafat, tentu saja paradigma rasional-empirik turut memempengaruhinya dalam penulisan Bidayah. Hal ini tampak pada beberapa pembahasan dalam Bidayah. Contoh, saat ia berbicara tentang cara menentukan ‘illa (operative cause of a ruling) dan maqsad (purpose of the ruling) dalam penggunaan metode Qiyas atau menarik kesimpulan dengan analogi. Tampak bahwa Ibn Rusyd menekankan pentingnya penalaran rasional dalam penerapan Qiyas, bukan saja agar mendapatkan pemahaman yang lengkap, tapi juga agar kesimpulam hukum atas masalah baru (furu’) yang dianologikan dengan masalah lama (ashl) karena ada kesamaan ‘illa ataupun maqsad (untuk Qiyas khafiyy) dapat diaplikasikan.

Contoh lain, bagaimana menentukan awal Ramadhan jika munculnya bulan sabit baru sebelum matahari terbenam. Dalam kasus ini, Ibn Rusyd terlebih dahulu menyebutkan pendapat para fuqoha dan menyertakan sejumlah hadist yang menjadi landasan argumentasi mereka. Ibn Rusyd lalu berargumen bahwa untuk kasus ini seseorang harus menggunakan nalar dan pengalaman objektif, bahwa jika bulan baru terlihat meski pada tengah hari atau sebelum matahari terbenam, maka ditentukan saat itu sebagai awal Ramadhan. Dengan kata lain, dalam kasus penentuan awal Ramadhan, Ibn Rusyd menggunakan metode rukyah, bukan hisab.

Diantara manfaat besar membaca Bidayah adalah, kita dapat mengetahui sebab terjadinya perbedaan pendapat berbagai mazhab fiqh suni atas berbagai masalah fiqh dan mengetahui bagaimana penggalian hukum dilakukan. Hal ini sangat penting agar membantu kita keluar dari taqlid buta. Hal lain, terbuka bagi kita memperdalam studi atas berbagai argumentasi dan ketetapan hukum yang diperselisihkan, sekaligus berbagai pendekatan penggalian hukum masing-masing mazhab atas masalah fiqh tertentu. Dengan demikian akan timbul kesadaran dan sikap saling menghargai, karena sadar bahwa semua pendapat mazhab yang berbeda tersebut dapat dipertanggungjawabkan. Wallahu a’lam bi as-showab.

Saturday, October 18, 2008

Mengapa RUU Pornografi Harus Ditolak? (2)


(1) Para pendukung RUU Pornografi menolak argumen bahwa pelarangan pornografi bertentangan dengan hak asasi manusia. Menurut mereka, masalah pornografi bukan sekadar masalah moral tapi lebih merupakan masalah sosial yang berkorelasi atau menimbulkan sejumlah masalah sosial lainnya.

Menurut saya, jika mereka mengakui bahwa pornografi lebih merupakan masalah social yang melahirkan atau berkolerasi dengan sejumlah masalah social lainnya, lantas mengapa harus menggunakan aspirasi moral agama tertentu untuk menggunakan tangan negara melalui perangkat UU untuk melarang pornografi?


Dengan kata lain, jika masalah pornografi diakui sebagai masalah social yang berkorelasi dengan sejumlah masalah social lainnya, maka gunakan saja perangkat hukum yang telah ada guna mengeliminir atau memberantas segala dampak buruk yang lahir dari penyalahgunaan/penyelewenangan ekspresi seksual yang pada awalnya merupakan hak asasi manusia.


Dalam hal ini, saya rasa mereka tidak mampu membedakan antara; (a) ekspresi seksual yang merupakan hak asasi setiap warga negara dewasa dan (b) penyalahgunaan/penyimpangan ekspresi seksual oleh warga negara dewasa. Ekspresi seksual setiap warga negara dewasa adalah merupakan hak asasi setiap orang dewasa, sementara penyimpangan ekspresi seksual/penyalahgunaannya –apalagi sampai merugikan orang/sekelompok masyarakat- adalah merupakan masalah kriminal yang bisa dijerat dengan sejumlah produk hukum yang sudah ada, seperti, UU Perlindungan Anak, UU Pers, KUHP, UU Perfilman, UU Penyiaran dan lain-lain.


Semua perangkat hukum tersebut telah terbukti mampu melindungi setiap komponen anggota masyarakat (anak, remaja dan orang dewasa) dari berbagai masalah sosial yang timbul akibat penyimpangan/penyalahgunaan ekspresi seksual, seperti, pedofilia, pemerkosaan, pelecehan terhadap kaum perempuan dan lain-lain.


(2) Saya sulit mengerti bagaimana para pendukung RUU Pornografi menegasikan kenyataan bahwa RUU Pornografi, seperti halnya sejumlah Perda Syariat di sejumlah daerah, memiliki agenda penegakan syariah. Padahal jelas-jelas aspirasi pembentukan RUU tersebut berasal dari (baca: didukung kuat) sejumlah kelompok kaum Islam puritan yang selama ini getol mengkampanyekan penegakan Syariat Islam melalui perda-perda Syariat.


Kalau pun pada akhirnya legal draft RUU tersebut tidak melarang segala bentuk pornografi dan pornoaksi seperti ajaran Syariat Islam, tetap saja sama sekali tidak mampu menghapus fakta awal bahwa aspirasi RUU tersebut berasal dari (dan diperjuangkan) oleh kelompok Islam puritan, yang kemudian dalam proses pembahasannya di DPR terjadi proses “negosiasi.”


Negosiasi” dalam proses legislasi adalah fakta konfigurasi politik yang terpaksa diterima oleh kaum Islam puritan pencetus aspirasi RUU Pornografi kaitannya dengan aspirasi politik di DPR dan wacana masyarakat menyikapi RUU tersebut sebagai hal yang kontroversial. Maka pengecualian atas sejumlah bentuk pornografi dalam legal draft RUU tersebut lebih tepat dipahami sebagai strategi kelompok pendukung untuk memperluas dukungan atas pengesahan RUU yang hingga kini masih controversial tersebut. Jadi bukan mengikuti logika pengaturan distribusi pornografi seperti yg diklaim para pendukung RUU tersebut.


Dengan kata lain, kaum muslim puritan pemilik aspirasi RUU Pornografi terpaksa/dipaksa berhadapan dengan realitas politik dan social cultural Indonesia yang majemuk sehingga aspirasi mereka agar RUU tersebut melarang semua bentuk pornografi seperti yang diajarkan Islam kini tidak sepenuhnya mampu mereka capai. Maka sekali lagi, dengan memperhatikan proses lahirnya aspirasi RUU pornografi serta basis dukungan publik atas RUU tersebut, tidak bisa tidak kecuali menilai RUU tersebut bermuatan penerapan Syariah meski akhirnya tak maksimal seperti yg diinginkan kelompok-kelompok pemilik aspirasi awal.


Dalam konteks ini, RUU Pornografi sangat berpotensi menimbulkan pengikisan keberagaman. RUU tersebut jelas merupakan bentuk pengikraran terhadap pluralitas warga Negara, karena telah menggiring pada upaya totalisasi perilaku dan sikap dalam wadah yang tunggal atas nama agama.


(3). Jika para pendukung RUU Pornografi membaca dan memahami RUU tersebut dengan kritis, akan tampak jelas bahwa materi muatan RUU tersebut dibangun di atas dasar pandangan yang diskriminatif terhadap perempuan oleh karena meletakkan perempuan sebagai obyek kriminalisasi. Rumusan semacam ini jelas bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar yang tercantum di dalam konstitusi semua orang sama di hadapan hukum. Juga bertentangan dengan prinsip hak asasi manusia, baik yang tercantum di dalam Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan, maupun Kovenan Sipil Politik yang semuanya telah menjadi bagian hukum Indonesia.


(4).Definisi pornografi dalam RUU memang sangat tidak jelas. Definisi pornografi di dalam RUU ini adalah: ""materi seksualitas melalui media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka
umum, yang dapat membangkitkan hasrat seksual dan/atau melanggar
nilai-nilai kesusilaan dalam masyarakat".

Dalam RUU tersebut menggunakan kalimat “….yang dapat membangkitkan hasrat seksual…”

Dengan redaksi kalimat tersebut, akan memberikan apparatus negara kekuasaan tiada tara untuk berlaku sewenang-wenang menangkap warga meski si warga tidak memiliki maksud membangkitkan hasrat seksual orang atau sekelompok orang di muka umum ketika menunjukan materi yang oleh apparatus negara dinilai memiilki aspek seksualitas. Jadi jelas, definisi "pornografi" dalam RUU tersebut kabur karena –seperti ditegaskan oleh Mannake Budiman- ada beda fundamental antara "bertujuan untuk membangkitkan hasrat seksual" dan "dapat membangikitkan hasrat seksual". Yang pertama, kata Mannake, ada unsur kesengajaan yang sistematis, yang kedua timbul dari tafsir yang mengonsumsinya.


(5). RUU ini tetap mengancan kebhinekaan meski sejumlah pasal dalam draft RUU yang dikeluarkan pada 2006 yang memerintahkan masyarakat untuk tidak mengenakan pakaian yang memperlihatkan bagian tubuh yang sensual seperti payudara, paha, pusar, baik secara keseluruhan ataupun sebagian sudah dicoret dalam draft RUU yang baru.


Karena jika RUU tersebut disahkan, berarti memberi kewenangan bagi negara memaksakan diri untuk mengatur nilai-nilai moral dan tata susila masyarakat. Maka tidak bisa tidak, negara akan terjebak menggunakan tata nilai dari suatu kalangan masyarakat yang bersumber dari agama tertentu.


Jadi RUU tersebut terkesan hendak “memaksakan” nilai-nilai kelompok agama tertentu yang tidak cocok dengan budaya bangsa Indonesia. Padahal negara, seharusnya mengakomodasi perbedaan nilai dalam masyarakat, seperti yang telah dirumuskan para pendiri bangsa yang telah dirumuskan secara sangat universal dalam Pancasila dan UUD 1945.


(6).Betul bahwa RUU tersebut memang tidak melarang perempuan memakai rok mini! Tapi RUU tersebut memberi ruang jika cewek yang memakai rok mini bisa dinilai porno tanpa standar yang jelas. Jadi kalau nanti RUU tersebut disyahkan, lalu saudari perempuan anda jalan-jalan ke Mall Blok M, besar kemungkinan saudari anda ditangkap karena dinilai berpakaian porno atau membangkitkan hasrat seksual dengan cara berpalaiannya.


(7). RUU ini jelas sangat berpotensi mendorong lahirnya aksi-aksi anarkis masyarakat atas individu/kelompok masyarakat lain yang oleh kelompok pertama dinilai mengandung unsur pornografi. Pasal 21 dalam RUU tersebut:



Bagian Kedua
Peran Serta Masyarakat

Pasal 21
Masyarakat dapat berperan serta dalam melakukan pencegahan terhadap pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi.

Pasal 22
(1) Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dapat dilakukan dengan cara:

a.melaporkan pelanggaran Undang-Undang ini;

b.melakukan gugatan perwakilan ke pengadilan;

c.melakukan sosialisasi peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pornografi; dan

d.melakukan pembinaan kepada masyarakat terhadap bahaya dan dampak pornografi.


Pasal 21 pada RUU ini jelas memberi landasan hukum bagi aksi-aksi ala FPI yang mendatangi, menggrebek dan mengarak warga masyarakat lain yang oleh kelompok-kelompok seperti FPI dinilai melakukan tindakan mengandung unsur pornografi. Dengan kata lain, RUU ini bukan memberi batasan yang tegas terhadap kelompok-kelompok yang senang main hakim sendiri, malah memberi landasan hukum bagi aksi-aksi mereka yang selama ini dikecam luas.



(8). Prinsipnya RUU Pornografi tidak perlu karena sudah ada perangkat hukum yang lain. Karena itu yang perlu dilakukan oleh pemerintah –selain membatalkan pengesahan RUU Pornografi- adalah memperkuat fungsi dan peran komisi-komisi negara maupun badan-badan lainnya, seperti Komisi Penyiaran Indonesia, Dewan Pers, Lembaga Sensor Film, dan lain-lain untuk menjalankan regulasi distribusi materi-materi pornografi dibandingkan dengan membuat produk hukum baru yang pincang secara yuridis, filosofis, dan sosiologis. Kebutuhan publik akan regulasi dan badan yang menjalankan peranan pengaturan perihal pornografi itu sudah terjawab oleh dan dengan adanya lembaga-lembaga tersebut.


(9). Kalau disahkan RUU tersebut akan memasung kreativitas para seniman meski Pasal 14 pon a pada RUU tersebut menyatakan, Pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan materi seksualitas dapat dilakukan untuk kepentingan dan memiliki nilai: a.seni dan budaya;

Tapi persoalannya, siapa yang menentukan bahwa suatu karya merupakan karya seni yang mengandung unsure pornografi atau karya pornografi yang artistik? Jelas bukan hakim yang menentukan, bukan aparatur negara, bukan anda dan saya, melainkan si pencipta karya seni tersebut.






Mengapa RUU Pornografi Harus Ditolak? (I)


Setahu saya, tidak dibenarkan sebuah UU mengatur bagaimana seharusnya orang merasa dan berpikir. Demikian juga tidak dibenarkan sebuah UU mengatur bagaimana orang merasa, termasuk perasaan erotis dan hasrat seksual. Lantaran semua itu adalah masalah private yang tidak boleh/tidak bisa diatur oleh negara (RUU Pornografi jika diundangkan akan memberikan kewenangan bagi negara dan aparatusnya mengatur hal-hal private tersebut). UU, negara beserta aparatusnya hanya bisa mengatur jika hal-hal private tersebut diselewengkan dalam bentuk tindakan yang merugikan kepentingan orang lain.


Dengan demikian, saya memahami pasal 29 ayat 2 Universal Declaration of Human Rights yang anda kutip tersebut sebagai, dibolehkannya kehadiran UU dimaksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan yang layak terhadap hak-hak dan kebebasan-kebebasan orang lain, dan untuk memenuhi syarat-syarat yang adil dalam hal kesusilaan, ketertiban dan kesejahteraan umum dalam suatu masyarakat yang demokratis.


Dengan demikian, kehadiran UU dimaksud hanya bisa mengatur penyelewenangan pengunaan hak-hak dan kebebasan-kebebasan private tersebut dengan tujuan memberi jaminan keberadaan hak-hak dan kebebasan orang lain.


Jadi bukan mengatur hak-hak dan kebebasan private yang diakui dalam Universal Declaration of Human Rights, melainkan mengatur penyelewengan dalam pengunaannya yang dapat berdampak pada rusaknya hak-hak dan kebebasan orang lain.


Nah, jika kita kaitkan dalam konteks perdebatan kita tentang RUU Pornografi, maka legal draf RUU Pornografi seharusnya bukan mengatur bagaimana seharusnya orang merasa tentang hasrat seksual dan berpikir tentang sesuatu yang erotis. Melainkan seharusnya memberikan jaminan dengan mengatur penyelewenangan penggunaan hak-hak dan kebebasan tentang seksualitas, hasrat seksual, etc, agar tidak merugikan hak dan kebebasan orang lain.


Padahal, pasal 1 ayat 1 RUU Pornografi, yang mendefinisikan pornografi sebagai ”materi seksualitas yang dibuat manusia yang dapat membangkitkan hasrat seksual dan/atau melanggar nilai-nilai kesusilaan dalam masyarakat”.


Jelas sekali, rumusan definisi tersebut telah mengandaikan, secara publik dapat diketahui apa yang dapat membangkitkan hasrat seksual pada seseorang dan apa yang tidak, padahal hal tersebut sangat bersifat subyektif dan merupakan hak dan kebebasan private yang seharusnya dilindungi (kecuali jika penyimpangannya merugikan orang lain)


Contoh, bagi saya melihat pose wanita cantik berbikini dengan belahan dada menonjol di pampang pada salah satu papan iklan di salah satu sudut Mall Blok M tidak membangkitkan hasrat/perasaan seksual.


Tapi ‘kan belum tentu bagi orang lain. Bisa jadi bagi saya tidak membangkitkan hasrat, tapi bagi orang lain membangkitkan hasrat.


Menghadapi masalah yang teramat sangat subjektif seperti contoh sederhana ini, bagaimana seorang hakim memutuskannya? Bagaimana seorang jaksa penuntut umum mendakwakannya? Masak cewek tersebut harus dihukum penjara sekian tahun atau denda sekian miliar hanya karena hasrat seksual seseorang pria bangkit melihat posenya seperti itu di papan iklan Blok M Mall?


Tidak bisa tidak, dalam menghadapi kasus ini hakim dan jaksa akan menggunakan standar nilai tertentu (misalkan, konsep Islam tentagn batasan aurat; yang sebenarnya dalam kajian fiqh multiinterpretasi dan debatable)


Jadi, problem besar RUU Pornografi itu, legal drafnya mengatur (baca: melarang) suatu hal yang, selain diakui sebagai HAM oleh Universal Declaration of Human, juga mengatur sesuatu yang sangat subjektif, yakni, perasaan dan pikiran tentang membangkitkan hasrat atau tergolong porno atau tidak.


Poin lain, juga sangat berpotensi menimbulkan pengikisan nilai-nilai masyarakat dan budaya Indonesia yang beragam yang demikian juga berarti pengingkaran terhadap pluralitas warga negara, karena telah menggiring pada upaya totalisasi perilaku dan sikap dalam wadah yang tunggal atas standar nilai tertentu.


Padahal, penyelewenangan atas penggunaan hak-hak dan kebebasan private yang dalam merugikan orang/sekelompok orang lain adalah merupakan tindakan kriminal yang dapat diselesaikan melalui berbagai macam perangkat hokum yang kini ada, seperti, KUHP, UU Perlindungan Anak, UU Pers, UU Perfilman, UU Penyiaran dan lain-lain.


Tambahan, saya sepakat dengan banyak penentang RUU Pornografi yang mengatakan, segala sesuatu tidak harus diatur oleh undang-undang. Karena tidak sanggup mengatur banyak, termasuk hasrat seksual dan pikiran seseorang.


Karena itu dalam kajian sosiologi, kita tidak hanya mengenal hokum sebagai lembaga social, tapi juga mengenal hal-hal lain, seperti, kebudayaan, pendidikan, baik pendidikan umum maupun pendidikan khusus dalam agama serta bimbingan-bimbingan moral lainnya. Semua itu jauh lebih efektif mengontrol penggunaan kemerdekaan dan hak-hak private, ketimbang hokum. Karena hukum memang tak sanggup.


Wednesday, October 8, 2008

Bumi Kutai, Kalimantan Timur

Di Kamar Hotel di Samarinda
Latar Istana Kerajaan Kutai Kertanegara

Tuesday, August 19, 2008

Pesona Pulau Bunga

Buya Abd Aziz Aru Bone

Diterbitkan di web Indonesianmuslim, 25 Agustus 2008

Pulau Bunga. Itulah nama yang dipopulerkan Presiden Soekarno untuk menyebut Flores yang dalam bahasa Portugis berarti Bunga.

Flores, seperti, halnya Pulau Lembata, Adonara, Solor dan Komodo, dikenal kaya dengan obyek wisata unik dan eksotik. Empat obyek wisata di antaranya sudah dikenal hingga mancanegara, yakni, biawak raksasa komodo di Komodo, taman laut Riung, danau tiga warna Kelimutu, perburuan paus kotaklema di Lamalera dan kain tenun kaya motif Flores yang indah dan mengagumkan. Berbagai objek tersebut berada dalam satu lintas tujuan wisata nasional, yakni, Bali dan Senggigih di Lombok, Nusa Tenggara Barat.
Tapi tidak seperti Bali dan Lombok, obyek wisata di wilayah Nusa Tenggara Timur (NTT) belum dikelola secara maksimal. Belum bernilai ekonomis bagi daerah dan penduduknya, pun sepi kunjungan wisata karena miskin promosi.

Tapi andai kata suatu hari anda mengunjungi Pulau Bunga dan ingin menikmati objek wisata di kawasan Nusa Tenggara Timur, maka saya sarankan anda memulainya dengan mengunjungi Pulau Komodo di kawasan Taman Nasional Komodo (TNK), Manggarai Barat, ujung barat Pulau Flores.

Komodo adalah satu-satunya reptil zaman prasejarah yang masih hidup hingga kini. Komodo di dunia satu-satunya hanya ada di kepulauan Komodo! Kadal raksasa itu hidup menyebar di kepulauan Komodo; Pulau Komodo, Pulau Rinca dan Pulau Gilimotang.
Selain objek wisata kadal raksasa komodo, kawasan laut Taman Nasional Komodo juga menjadi objek wisata tersohor karena kaya berbagai jenis biota laut. Kawasan laut yang seluas 132.572 hektar, menjadi salah satu perairan yang kaya biota laut di dunia.

Data di kantor Kawasan Nasional Komoso menyebutkan, kawasan itu memiliki biota laut terindah di dunia karena bentuk dan warnanya beraneka. Terumbu karang di kawasan itu tercatat 260 jenis. Selain itu, terdapat sedikitnya 1.000 jenis ikan bernilai ekonomi tinggi, seperti, kerapu dan ikan napoleon yang di meja makan para bule Eropa menjadi ikan hidangan super mahal.

Perairan Taman Nasional Komodo juga merupakan tempat berlindung dan bertelur berbagai jenis ikan karang, penyu hijau dan penyu sisik. Perairan yang sama merupakan jalur lintasan sekitar 10 jenis paus, enam jenis lumba-lumba dan ikan duyung.

Setelah puas menikmati keindahan Taman Nasional Komodo, lanjutkan perjalanan anda ke daratan Flores. Dari dermaga Labuan Bajo, naiklah bus yang mengantar anda ke Riung di Kabupaten Ngada yang juga memiliki hamparan laut jernih, pulau kelelawar Ontoloe, serta pulau-pula berpasir putih. Riung juga menyimpan potensi taman laut yang indah dengan aneka kekayaan biota laut yang mampu membaut anda terkesima.

Usai menikmati keindahan alam laut Riung, lanjutkan perjalanan anda ke Ende. Karena wisata anda ke Pulau Bunga belum lengkap jika belum bertandang ke Danau Kelimutu di Kabupaten Ende yang terletak di tengah Pulau Bunga.
Dalam bahasa Ende, Kelimutu merupakan gabungan dari kata “keli” yang berarti gunung dan “mutu” yang berarti mendidih. Ya, Danau Kelimutu merupakan danau vulkanik alias danau yang tercipta akibat aktivitas gunung berapi. Danau Kelimutu merupakan salah satu daerah tujuan wisata yang sangat terkenal di Pulau Flores, selain Komodo, kampung tradisional Bena, dan taman laut Riung yang indah.

Danau Kelimutu terletak di puncak Gunung Kelimutu di kawasan Taman Nasional Kelimutu. Kelimutu disebut-sebut sebagai salah satu dari sembilan keajaiban dunia. Daerah ini pertama kali ditemukan oleh Van Such Telen, warga negara Belanda pada tahun 1915. Kawasan wisata Danau Kelimutu terletak sekitar 51 kilometer dari Kota Ende.

Danau vulkanik itu dianggap ajaib atau misterius karena warna air di tiga danau tersebut berubah-ubah seiring perjalanan waktu. Awalnya Danau Kelimutu dikenal memiliki tiga warna, yakni, merah, putih dan biru. Tapi terakhir kali saya mengunjunginya (kunjungan ketiga pada akhir Mei 2008) saya menyaksikan warna air danau telah berubah menjadi merah muda, coklat dan hijau.

Untuk melihat Danau Tiga Warna itu, pengunjung harus naik hingga ke tugu puncak. Dari puncak gunung itulah, mata anda akan dimanjakan oleh pemandangan tiga danau berwarna yang menakjubkan!

Taman Nasional Kelimutu bukan hanya terkenal karena keajaiban danaunya. Tapi alam yang sejuk dengan pemandangan yang mempesona, dijamin membuat anda ingin berlama-lama.

Kawasan Kelimuti telah ditetapkan sebagai taman nasional sejak 26 Februari 1992. Kawasan ini memiliki luas 5.356,5 hektare yang meliputi tiga kecamatan yakni Detusoko, Wolowaru dan Ndona, Kabupaten Ende.

Jamaknya mengunjungi sebuah daerah, kita pasti ingin membawa pulang cenderamata khas daerah tersebut sebagai buah tangan bagi yang di rumah.

Anda tak perlu khawatir, karena semua daerah di Flores memiliki kerajinan tangan khas. Diantaranya yang paling terkenal adalah tenun ikat dengan pesona motif dan ragam hias beraneka pada setiap kawasan. Saya jamin, anda akan terpikat saat pertama kali menatap secara langsung keeksotikan motif dan bahan kain tenun ikat Flores.

Kain tenun ikat Flores merupakan cenderamata khas bagi para wisatawan asing dan domestik. Pada umumnya tenun ikat Flores dibuat oleh kaum wanita yang memiliki daya cipta dan kreasi seni tinggi.

Setiap daerah Flores menampilkan corak dan ragam hias serta warna yang berbeda-beda. Keragaman motif kain tenun ikat Flores bukan hanya sebatas kreasi seni, tapi pembuatannya juga mempertimbangkan simbol status sosial, keagamaan, budaya dan ekonomi.
Bahkan, ada beberapa motif tertentu yang pembuatannya melalui perenungan dan konsentrasi tinggi, motif dan ragam hiasnya mengandung nilai filosofis, penggunaannya diperuntukkan bagi hal-hal yang berkaitan dengan adat dan budaya, serta menjadikannya sebagai tradisi yang terwaris sampai hari ini.

Berbeda dengan kain tenun dari berbagai kawasan lain di Indonesia yang racikannya dari bahan kimia. Dalam pembuatan kain tenun Flores, pewarnaan kain diracik dari dedaunan dan tumbuhan khas Flores.

Pewarnaan adalah merupakan tahapan yang paling rumit dan lama. Proses pewarnaan untuk sehelai kain harus dilakukan berbulan-bulan oleh orang yang benar-benar ahli agar sari warna yang berasal dari racikan tumbuh-tumbuhan benar–benar meresap pada urat benang.

Beberapa jenis tumbuhan yang biasa digunakan sebagai bahan pewarnaan, yaitu, mengkudu, tarum, zopha, kemiri , ndongu, buah usuk dan lain–lain, sehingga nuansa warna kain tenun ikat NTT terdiri dari: merah, yang dihasilkan dari akar mengkudu dan hitam nila yang dihasilkan dari daun tarum.

Kain tenun Flores harus ditenun dengan alat tenun yang sangat tradisonal, dililit dipinggang wanita penenun, melekat tak terpisahkan.

Kaum wanita biasanya diajarkan cara menenun. Oleh banyak kaum wanita, mempelajari tenunan daerah dipahami sebagai tanggung jawab untuk terus mempertahankan warisan leluhur. Memakai kain tenun ikat daerah dalam aktivitas sehari-hari pun dipandang lebih fashionable dan bergengsi. Bukan hanya karena lebih keren, juga lebih berkarakter.

Dengan proses pembuatan yang lebih rumit dari kain tenun di sejumlah daerah lain, harap anda maklum jika sehelai kain tenun Flores bisa lebih mahal dari kain songket Palembang asli atau batik Jawa asli.

Bagaimana jika kantong anda pas-pasan?
Tak perlu khawatir. Para penenun kain ikat Flores paham jika tidak semua orang mampu membeli kain tenun ikat Flores yang asli, meski semua pasti menginginkannya. Untuk itu, warga berkreasi membuat kain tenun Flores yang pewarnaannya menggunakan bahan kimia guna menekan biaya produksi agar para pelancong dari luar Flores gembira hati membawa pulang oleh-oleh khas dari Pulau Bunga.
Hmm.. jika suatu waktu anda berencana melancong, daftarkan Pulau Bunga sebagai salah satu daerah yang akan anda kunjungi. Daripada di milis mempromosikan Eropa, Meksiko, Malaysia, Hawai, kenapa bukan negeri sendiri? Bukankah negeri kita jauh lebih mempesona dari negeri orang?

Saturday, July 19, 2008

CHATT WITH GOD



(John Morrison)


God : Hello. Did you call me?

Me : Called you? No.. Who is this ?

God : This is GOD. I heard your prayers. So I thought I will chat.

Me : I do pray. Just makes me feel good. I am actually busy now. I am
in the midst of something.

God : What are you busy at? Ants are busy too.

Me : Don't know. But I can't find free time. Life has become hectic.
It's rush hour all the time.

God : Sure. Activity gets you busy. But productivity gets you results.
Activity consumes time. Productivity frees it.

Me : I understand. But I still can't figure out. By the way, I was not
expecting YOU to buzz me on instant messaging chat.

God : Well I wanted to resolve your problem! Fight for time, by giving
you some clarity. In this net era, I wanted to reach you through the
medium you are comfortable with.

Me : Tell me, why has life become complicated now?
God : Stop analyzing life. Just live it. Analysis is what makes it
complicated.

Me : why are we then constantly unhappy?

God : Your today is the tomorrow that you worried about yesterday. You
are worrying because you are analyzing. Worrying has become your
habit. That's why you are not happy.

Me : But how can we not worry when there is so much uncertainty?

God : Uncertainty is inevitable, but worrying is optional.

Me : But then, there is so much pain due to uncertainty.

God : Pain is inevitable, but suffering is optional.

Me : If suffering is optional, why do good people always suffer?

God : Diamond cannot be polished without friction. Gold cannot be
purified without fire. Good people go through trials, but don't
suffer. With that experience their life become better not bitter.

Me : You mean to say such experience is useful?

God : Yes. In every terms, Experience is a hard teacher . She gives
the test first and the lessons afterwards.

Me : But still, why should we go through such tests? Why can't we be
free from problems?

God : Problems are Purposeful Roadblocks

Me : Frankly in the midst of so many problems, we don't know where we
are heading..

God : If you look outside you will not know where you are heading.
Look inside. Looking outside, you dream. Looking inside, you awaken.
Eyes provide sight. Heart provides insight.

Me : Sometimes not succeeding fast seems to hurt more than moving in
the right direction. What should I do?

God : Success is a measure as decided by others. Satisfaction is a
measure as decided by you. Knowing the road ahead is more satisfying
than knowing you rode ahead.You work with the compass.Let others
work with the clock.

Me : In tough times, how do you stay motivated?

God : Always look at how far you have come rather than how far you
have to go. Always count your blessing, not what you are missing.

Me : What surprises you about people?

God : when they suffer they ask, "why me?" When they prosper, they
never ask "Why me" Everyone wishes to have truth on their side, but
few want to be on the side of the truth.

Me : Sometimes I ask, who am I, why am I here. I can't get the answer.

God : Seek not to find who you are, but to determine who you want to
be. Stop looking for a purpose as to why you are here.Create it.Life
is not a process of discovery but a process of creation.

Me : How can I get the best out of life?

God : Face your past without regret. Handle your present with
confidence. Prepare for the future without fear.

Me : Thank you for this wonderful chat.

God : Well. Keep the faith and drop the fear. Don't believe your
doubts and doubt your beliefs. Life is a mystery to solve not a
problem to resolve. Trust me. Life is wonderful if you know how to live.

Tuesday, April 8, 2008

Penistaan Islam: Kritik Dua Arah


Buya Abdul Aziz Aru Bone*

Diterbitkan Harian INDOPOS (Jawa Pos Group) 9 April 2008. Artikel juga diterbitkan situs www.myrmnews.com

Setahun lalu, koran sayap kanan Denmark, Jyllands-Posten menerbitkan karikatur penistaan Nabi Muhammad. Pemerintah Perancis melarang pemakaian jilbab di sekolah-sekolah Perancis. Akhir tahun lalu, politisi sayap kanan Belanda dari Freedom Party (PVV) Ayaan Hirsi Ali berkampanye menyamakan Islam dengan barbarianism. Kini muncul kasus terbaru, pemimpin PVV yang juga anggota senat Belanda, Geert Wilders meluncurkan Film Fitna yang menyamakan Islam dengan kekerasan.

Berbagai kecaman mengalir dari kelompok muslim dan non muslim di berbagai penjuru dunia terhadap kasus-kasus penistaan Islam di Eropa tersebut. Kecaman bukan hanya datang dari para pemimpin negara mayoritas berpenduduk muslim, bahkan dari para pemimpin Eropa melalui NATO yang mendukung sikap PM Belanda, Jan Peter Balkenende yang mengecam Geert.

Kita mengamini bahwa berbagai ekspresi anti-Islam oleh sejumlah kelompok sayap kanan di sejumlah negara Eropa, bukan merupakan gejala umum masyarakat Eropa tentang Islam. Dengan kata lain, kita mengamini bahwa, berbagai penistaan atas Islam dalam kasus-kasus di atas adalah merupakan penyimpangan dari gejala umum masyarakat Eropa tentang Islam.

Karena gejala umum tentang Islam bisa kita temukan pada kultur akademis universitas- universitas Eropa yang mengkaji Islam melalui berbagai program Islamic Studies secara objektif, jujur dan tidak bias saat berbicara tentang Islam. Kultur akademis seperti ini jelas berbeda dengan era kajian Islamic Studies masa dedengkot orientalis, seperti, Ignaz Golziher dan Joseph Schatch.

Gejala umum tentang Islam juga kita temukan pada sikap politik-ekonomi para pemimpin negara-negara Eropa yang menjalin kerjasama dan bersahabat erat dengan Dunia Islam. Bahkan membuka pintu lebar-lebar bagi jutaan imigran muslim dari Turki, Timur Tengah, Afrika dan Asia untuk menjadi warga negara di salah satu negara di Eropa. Juga pada sikap politik para pemimpin Eropa yang menghujat karya-karya anti Islam, seperti, Film Fitna dan karikatur Nabi Muhammad di koran Jylland-Posten.

Kritik Dua Arah

Pertanyaan pokoknya justeru, mengapa gejala anti-Islam kerap muncul dan disuarakan kelompok-kelompok sayap kanan di sejumlah negara Eropa di saat pemerintah negara-negara Eropa menjalin kerjasama dan bersahabat erat dengan Dunia Islam, atau di saat kultur akademis di berbagai universitas Eropa cukup objektif dan apresiatif mengkaji Islam?

Saya rasa, rentetan kasus penistaan Islam oleh kaum konservatif kanan di Eropa memiliki kaitan langsung dengan arus besar imigran muslim di negara-negara Eropa. Dalam batas tertentu, arus besar kaum imigran muslim puritan di Eropa melahirkan problematika sosial-kultural baru, yakni, kecenderungan penegasan identitas masing-masing.

Kecenderungan ini tumbuh subur karena absennya dialog yang dinamis. Bahwa, jika orang-orang yang berbeda standar nilai bertemu dan berinteraksi dalam suatu lingkungan, lahirlah kecenderungan memperkuat identitas masing-masing, apalagi jika tidak tercipta dialog dinamis dan terjadi pembekuan nilai.

Oleh kaum imigran muslim yang pada umumnya berislam secara puritanistik, penegasan identitas diaktualisasikan dengan sikap eksklusif dan tidak apresiatif terhadap nilai sosial masyarakat Eropa, sembari melakukan konservasi atas nilai keberislaman yang puritanistik. Jadi, ada suasana emosional berupa ketidaksiapan kaum imigran muslim untuk membuka diri terhadap nilai-nilai baru yang hidup di tengah-tengah masyarakat Eropa.

Dalam hal ini, pemahaman Islam yang puritanistik menjadi faktor determinan bagi kaum imigran untuk bersikap selektif, ekslusif dan konservatif atas nilai-nilai baru yang hidup dan berkembang di Eropa.

Di sisi lain, kaum konservatif kanan Eropa juga tidak siap dengan kondisi baru yang lahir akibat migrasi jutaan orang dari luar Eropa. Kelompok ini memendam kekhawatiran demografis akan perubahan kultur Eropa. Kondisi ini mendorong munculnya gejala suasana tidak toleran terhadap imigran di kalangan kaum kanan Eropa.

Karena itu, kelompok kanan konservatif mendefinisikan penegasan identitas Eropa dengan memaksimalkan nilai-nilai Eropa, seperti, kebebasan berpendapat yang diarahkan pada promosi sikap anti nilai-nilai kaum migran yang menurut mereka mengancam keberlanjutan kultur Eropa. Dalam konteks ini, Islam sebagai agama yang juga sumber nilai kaum migran pun menjadi sasaran tembak.

Dua kondisi diatas, saya rasa berperan signifikan mencipta jurang
sosial-kultural antara kaum migran dan penduduk setempat yang tinggal
lingkungan yang sama. Jurang ini pada batas tertentu menciptakan
miskonsepsi kaum kanan konservatif Eropa terhadap Islam sebagai unsur utama sumber nilai kaum imigran muslim.

Pada poin inilah kerap terlahir stereotype tentang Islam sebagai agama kaum imigran dalam benak kaum kanan konservatif Eropa. Misalkan, stereotype tentang Islam sebagai agama tidak toleran, suka kekerasan dan ekskusif.

Stereotype demikian lahir bukan hanya dibentuk oleh pola interaksi sosial-kultural kaum kanan Eropa dengan kaum migran muslim Eropa yang pada umumnya berislam secara puritanistik, tapi juga seakan mendapatkan justifikasi oleh berbagai aksi terorisme internasional yang mengatasnamakan Islam.

Karena itu, terkait penistaan terhadap Islam, berbagai kecaman politik komunitas muslim, non-muslim dan para pemimpin dunia, meski dibutuhkan tetapi tidak menyentuh akar masalah jika keberislaman yang moderat dan terbuka tidak menjadi mainstream di kalangan kaum imigran muslim di berbagai negara Eropa.

Di sisi lain, para pemimpin Eropa juga mesti menciptakan iklim yang mendukung perubahan paradigma kaum kanan Eropa untuk tidak terjebak stereotype dalam melihat Islam dan kaum muslimin. Wallahu a’lam bi as-showab.

Wednesday, February 13, 2008

Valentine’s Day dan Islam


Oleh: Buya Abdul Aziz Aru Bone

Diterbitkan oleh www.myrmnews.com, edisi 14 Februari 2008

Perayaan Valentine’s Day yang jatuh pada setiap 14 Februari menjadi tradisi banyak orang di berbagai belahan dunia untuk merayakan perwujudan cinta erotis (meminjam istilah Eric Fromm dalam the Art of Loving) bersama orang-orang yang dicintai. Tradisi ini pun jamak ditemukan di berbagai wilayah Indonesia

Sebagai momentum merayakan cinta erotis, maka Valentine’s Day bukan hanya dirayakan oleh sepasang muda-mudi yang sedang jatuh cinta. Namun juga perayaan cinta kasih terhadap sesama, pasangan suami istri, orangtua anak, kakak terhadap adik dan seterusnya.

Meski Valentine’s Day telah menjadi tradisi mendunia, tetapi beberapa kelompok keislaman di sejumlah negara berpenduduk mayoritas muslim melarang perayaan Valentine’s Day.

Reuters memberitakan, polisi syariah Arab Saudi melarang peredaran mawar merah di Valentine’s Day (Kompas.com, Selasa, 12 Februari 2008). Bahkan siang ini (Rabu, 13 Februari 2008, sekitar pukul 11.00 WIB), program infotainment SILET di stasiun televisi RCTI juga menayangkan pernyataan Ketua MUI Umar Shihab yang mengharamkan perayaan Valentine’s Day.

Dalam pelarangan tersebut, Umar Shihab menggunakan argumen yang kerap diulang-ulang. Pertama, Islam melarang jalinan cinta erotis antara dua insan berlainan jenis kelamin di luar ikatan pernikahan (Umar Shihab menyebutnya pacaran). Kedua, perayaan Valentine’s Day bukahlah tradisi Islam, melainkan Katolik Roma (baca: Kristen). Karena itu, adalah sebuah kesesatan jika kaum muslimin merayakan tradisi Valentine’s Day, karena merayakannya berarti membenarkan ajaran Kristen.

***

Menurut saya, adalah sama sekali tidak berdasar jika dikatakan, Islam melarang umatnya berpacaran, jika term pacaran didefinisikan sebagai, sebuah komitmen cinta erotis dua anak manusia berlainan jenis kelamin sebagai fase saling mengenal dengan niat melembagakan hubungan cinta dalam mahligai pernikahan.

Karena jika yang dilarang oleh agama adalah perbuatan asusila (baca: kemaksiatan), maka sama sekali tidak berdasar jika dijadikan pertimbangan untuk melarang berpacaran, lantaran berpacaran tidak identik dengan berbuat maksiat.

Lebih dari itu, pengharaman terhadap jalinan cinta erotis justeru bertentangan dengan kemanusiaan dan tujuan Allah menciptakan cinta erotis pada perasaan tiap kita seperti yang Allah memproklamerkan dalam Al Qur’an –saya terjemahkan-:

“Dan dari tanda-tanda kebesaran-Nya, Dia menciptakan kamu berpasangan dari jenis mu sendiri. Agar kamu merasa tenteram dengan pasangan mu. Dan Dia menjadikan antara kalian rasa kasih dan sayang (cinta). Sesungguhnya pada yang demikian itu, terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berpikir.” (Ar Rum ayat 21).

Tidak itu saja, Islam juga secara aktif mengabadikan kisah cinta erotis para tokohnya dalam tradisi maupun kitab suci. Dalam tradisi Islam, kita dikenalkan dengan kisah tragedi cinta erotis putera-puteri Nabi Adam dan Siti Hawa, yakni, kisah konflik asmara antara Habil dan Qobil yang bersaing memperebutkan cinta saudari perempuan mereka.

Al-Qur’an juga mengabadikan kisah cinta erotis Zulekha terhadap Nabi Yusuf. Dalam untaian kehidupan Rasulullah Muhammad pun, para ulama dalam rentang sejarah Islam tak pernah alpa menyebutkan besarnya rasa cinta erotis Siti Khadijah Al-Kubra terhadap Nabi Muhammad. Bahkan kepergian Khadijah yang mulia ke haribaan Ilahi mendapat sebutan khusus dalam sejarah Islam sebagai ’Aamul Khuzni, tahun duka cita.

Para sejarawan muslim juga mengabadikan kisah cinta erotis para putri Nabi. Diantara yang paling banyak dirujuk adalah kisah cinta erotis Siti Fatimah dengan Sayyidina Ali Ibn Abi Tholib.

Saya kira, peran aktif Islam (demikian juga agama-agama besar lain) dalam mengabadikan kisah cinta erotis para tokohnya, selain untuk menegaskan agama tersebut sebagai agama cinta dan kasih saying dan tidak melarang umatnya menjalin cinta, juga karena kisah cinta erotis para tokoh agama tersebut memberikan daya dorong dan kontribusi besar dalam pengembangan agama.

Karenanya, sekali lagi, adalah sama sekali tidak berdasar jika MUI mengharamkan jalinan cinta erotis (pacaran), asalkan sepanjang tidak melakukan tindakan-tindakan kemaksiatan. Bahkan, jikapun terjadi tindakan kemaksiatan, maka yang diharamkan adalah kemaksiatannya, bukan komitmen cinta erotis yang dijalin dua insan.

***
Selanjutnya, apakah merayakan Valentine’s Day berarti membenarkan ajaran Kristen? Pun apakah umat Islam boleh mengadopsi dan mengadaptasi tradisi Valentine’s Day untuk merayakan cinta erotisnya?

Tentu saja perayaan Valentine’s Day bukan berarti membenarkan ajaran Kristen karena Valentine’s Day tidak ada sangkut pautnya dengan Kristen sebagai agama. Valentine’s Day yang konon ditetapkan oleh Paus Gelasius pada 14 Febuari tahun 496 M, awalnya adalah sebagai perayaan untuk memperingati perjuangan Santo Valentine dan para muda mudi yang hidup pada masanya.

Ada banyak versi awal mula kisah ini. Diantaranya, seperti yang saya telusuri melalui mesin pencari google.com, 200 tahun sebelum masa Paus Gelasius, Santo Valentine bersama rekannya Santo Marius secara diam-diam menentang Pemerintahan Kaisar Claudius II yang melarang pemuda menikah untuk menjaga performa perang pasukannya.

Karena tidak setuju, diam-diam Valentine tetap menikahkan setiap pasangan muda yang berniat untuk mengikat janji dalam sebuah perkawinan. Hal ini dilakukannya secara rahasia. Lambat laun, aksi Valentine tercium oleh Claudius II. Valentine harus menanggung perbuatannya. Ia dijatuhi hukuman mati.

Selama mendekam di balik jeruji besi menunggu hadirnya hari eksekusi, Valentine jatuh hati pada anak gadis seorang sipir penjara. Gadis yang dikasihinya itu senantiasa setia menjenguk Valentine di penjara. Tragisnya, sebelum ajal tiba, Valentine menorehkan sebuah surat untuk sang gadis. Ada tiga buah kata yang tertulis sebagai tanda tangannya di akhir surat dan menjadi populer hingga saat ini, yang dalam Bahasa Inggris kerap ditulis menjadi ‘From Your Valentine.’

Dengan demikian, maka perayaan Valentine’s Day pada awalnya adalah perayaan perjuangan hak-hak kemanusiaan, seperti, hak mencintai, hak dicintai, hak menikah atau hak berkeluarga, hak memiliki keturunan, serta tidak ada kaitannya dengan aqidah Kristen sebagai agama. Karena itu, sama sekali tidak berdasar jika umat Islam diharamkan merayakannya.

Apalagi, dalam perjalanan waktu berabad-abad hingga kini dan melalui proses adopsi dan adaptasi tradisi, tradisi Valentine’s Day bukan lagi hanya milik masyarakat Romawi kuno atau Kristen semata, tetapi telah menjadi milik masyarakat dunia.

Saya rasa, adalah merupakan hal baik jika umat Islam juga turut mengadopsi dan mengadaptasi tradisi Valentine’s Day untuk merayakan cinta kasihnya terhadap kekasih, suami istri, orangtua, anak, kakak terhadap adik dan seterusnya.

Selain untuk meneguhkan Islam sebagai agama cinta dan kasih sayang, langkah adopsi dan adaptasi tradisi Valentine’s Day, semakin menemukan relevansinya di tengah hubungan antar umat beragama yang kerap tegang dan bertikai di Indonesia maupun di dunia internasional. Langkah ini guna menghadirkan Islam sebagai agama dan tradisi terbuka yang siap disandingkan serta didialogkan dengan tradisi-tradisi besar lain sebagai artikulasi Islam agama rahmatan lil alamin.

Bukankah adopsi dan adaptasi tradisi dari luar Islam oleh generasi Islam klasik dahulu telah terbukti mampu mengantarkan peradaban Islam klasik sedemikian maju dan gemilang, hingga pernah menjadi adi kuasa dunia sebelum masa Eropa modern.

Berbagai perkembangan displin keilmuan Islam klasik, seperti, Ushul Fiqh, Tawasuf, Ilm Kalam, cabang ilmu-ilmu Hadist, ‘Ilm Tibb, ‘Ilm Falak, Fiqh, Fiqh Siyasah, ‘Ilm Mantiq dan lain-lain, hanya dapat terjadi setelah generasi Islam klasik yang memiliki percaya diri dan kreatifitas tinggi menyerap, mengadopsi dan mendaptasi tradisi Filsafat Helenisme.

Jika generasi muslim pendahulu kita memiliki kepercayaan diri tinggi yang disertai keativitas untuk menempatkan Islam sebagai tradisi terbuka yang siap didialogkan dan disandingkan dengan tradisi di luar Islam, mengapa generasi muslim pasca kolonial bersikap sebaliknya?

Saya rasa, sikap menempatkan Islam sebagai tradisi tertutup, seperti, yang ditunjukan MUI dan Pemerintah Kerajaan Arab Saudi, hanyalah lahir pasca era kolonial Eropa (Kristen). Era panjang kolonial Eropa (Kristen) di negara-negara mayoritas muslim telah melahirkan sindrom pasca kolonial yang menempatkan Barat (Kristen) sebagai musuh dan ancaman bagi tradisi Islam.

Dalam konteks Valentine’s Day, sindrom tersebut menempatkan perayaan itu sebagai bentuk dominasi dan invasi kultural Barat (Kristen) yang mengikis kepercayaan umat terhadap validitas ajaran Islam. Selain terhadap tradisi Valentine’s Day, sikap serupa juga dialamatkan terhadap tradisi-tradisi Barat yang lain, seperti, demokrasi, nation-state, komunisme, sekularisme, liberalisme. Sikap inferioritas seperti ini selayaknya dibuang ke tong sampah sejarah, selain karena tidak relevan dengan kebutuhan pergaulan dunia kini, juga akan semakin menjerembabkan umat Islam dalam lumpur sejarah. Wallahu a’lam bi as-showab


Catatan:
penulis tidak merayakan Valentine’s Day karena tidak terbiasa. Kekasih dan keluarga penulis juga tidak merayakannya, pun karena tidak terbiasa.

Saturday, January 26, 2008

Wali Songo: Penebar Benih Toleransi?

Oleh: Buya Abdul Aziz Aru Bone
Diterbitkan oleh
http://indonesianmuslim.com/
link
http://indonesianmuslim.com/wali-songo-penebar-benih-toleransi-atau-penyesatan.html


Beberapa hari lalu, The Wahid Institute mengirimkan sebuah email undangan diskusi bertema, “Kontribusi Para Sufi dalam Membangun Toleransi Beragama di Indonesia." Undangan tersebut di-posting-kan ke sejumlah milis. Selain merinci waktu dan tempat, disebutkan juga narasumber diskusi itu adalah KH A. Mustofa Bisri dan DR. Abdul Moqsith Ghazali.
Pada undangan itu dipaparkan pengantar diskusi sebagai berikut:

“Kerukunan antar-umat beragama di Indonesia tak terlepas dari peran para sufi. Wali Songo adalah deretan sufi yang berhasil meletakkan fondasi kerukunan beragama di Indonesia. Mereka berdakwah dengan pendekatan sufistik. Berbeda dengan para ahli fikih yang cenderung legal-formalistik, maka para sufi mendekati Islam dari sudut hati nurani. Dengan cara itu, para sufi tak mengalami hambatan formal keagamaan untuk berjumpa dan bertukar pikir dengan umat agama lain. Bagi sufi, semua manusia adalah makhluk Tuhan yang perlu dihargai. Sufi tak mempeributkan bentuk-bentuk formal. Lihatlah, banyak bangunan mesjid yang dibangun para sufi dengan menyontoh arsitektur pura dan gereja. Yang inti bagi sufi bukan sebuah bangunan ibadah, seperti yang kini ramai diperdebatkan, melainkan merenovasi moral orang-orang yang sembahyang (shalat) dalam bangunan itu.”

Membaca pengantar di atas, secara sederhana dapat disimpulkan bahwa abstraksi diskusi itu mengklaim beberapa poin; pertama, para Wali Songo adalah sosok toleran-inklusif karena mereka sufi yang hanya mementingkan aspek esoteris agama dan tidak meributkan hambatan formal keagamaan. Kedua, paradigma sufistik adalah pandangan keislaman yang paling toleran-inklusif dibanding pandangan fiqh yang cenderung legal-formalistik. Karena itu para sufi diklaim lebih toleran-inklusif dibanding ahli fiqh (faqih/jusrist). Ketiga, tingginya sikap toleran-inklusif masyarakat Indonesia, diklaim erat kaitannya dengan pola dakwah sufistik para Wali Songo.

Menurut saya, tiga hipotesis tersebut terlampau simplistis (untuk menghindari penggunaan kata mengada-ada). Untuk itu, saya ajukan tiga argumentasi untuk membantah tiga poin yang diklaim dalam abstraksi diskusi tersebut:

Pertama: Tasawuf yang berkembang dan diterima luas oleh kaum muslimin Indonesia bahkan muslim dunia, adalah tasawuf bercorak sunni yang diantara tokoh pentingnya adalah Al Ghozali. Corak tasawuf sunni yang dipengaruhi Al Ghozali lah yang dianut dan disebarluaskan para Wali Songo di Nusantara.
Maka seperti halnya Al Ghozali yang mengkafirkan sejumlah pandangan para filosof dan dengan demikian juga menolak (baca: mengkafirkan/mensesatkan) sejumlah pandangan corak tasawuf yang dipengaruhi filsafat helenisme, yakni, tasawuf falsasi, maka para Wali Songo juga demikian. Mereka memvonis sesat, bahkan mengeksekusi mati Syekh Siti Jenar yang merupakan tokoh tasawuf falsafi di masa Sunan Kalijaga, salah satu Wali Songo.

Sebelum menimpa Syekh Siti Jenar, vonis kafir dan sesat yang dilakukan para tokoh tasawuf sunni juga menimpa beberapa tokoh tasawuf falsasi lain, seperti, Ibn 'Arabi, Al Jilly, Sukhrawardi Al Maqtul, Siti Jenar dan Hamzah Fansuri di Aceh. Bahkan selain divonis sesaat dan kafir, Sukhrawardi pun menemui ajal di tiang gantungan karena keyakinan sufistiknya yang berbeda dengan tasawuf sunni.

Secara umum dapat dikatakan, para penganut tasawuf sunni mengkafirkan para penganut tasawuf falsafi (terminologi tasawuf sunni dan tasawuf falsafi juga digunakan oleh Ketua Perhimpunan Sufi Mesir, Dr. Abu al-Wafa’ al-Ghanimi al-Taftazani dalam bukunya yang berjudul, Madkhal ilaa al-Tasawwuf al-Islam) disebabkan beberapa konsep atau doktrin tasawuf falsafi yang dinilai kafir dan sesat, seperti, konsep wahdah al-wujud, tajalli, insan kaamil dan wahdah al-adyan.

Dalam konteks problematika kehidupan antar-umat beragama saat ini yang meletuskan api konflik antar agama, maka konsep-konsep tasawuf falsafi tersebut memberikan pijakan tradisi untuk mengembangkan sikap dan penafsiran keislaman yang inklusif dan pluralis yang menembus batas sekat-sekat agama formal untuk sama-sama memupuk dan berbagi kebaikan bagi sesama manusia sebagai perwujudan ibadah pada Allah sebagai sumber segala wujud, sumber segala agama dan seterusnya.

Karena itu, menurut saya adalah tidak berdasar jika deretan Wali Songo dinilai sebagai para sufi yang toleran-inklusif yang tidak menjadikan agama formal sebagai sekat penghalang.

Pasalnya, selain karena doktrin tasawuf sunni menolak konsep-konsep penting inklusifisme keagamaan di atas, Wali Songo juga melakukan preseden buruk menvonis sesat dan mengeksekusi mati Syekh Siti Jenar karena perbedaan keyakinan sufistik.

Kalau pun deretan Wali Songo bersikap akomodatif dan adaptif terhadap produk budaya Hindu-Kejawen seperti yang tampak pada arsitektur masjid, wayang dan seterusnya, hal itu bukanlah berangkat dari kesadaran ajaran sufisme-sunni yang mereka anut. Melainkan, hanya sekadar langkah taktis-strategis berdakwa guna merangkul kalangan rakyat bawah yang saat itu belum mampu melepaskan diri dari pengaruh Hindu-Kejawen. Tak bedanya dengan langkah taktis-strategis yang ditempuh para Wali Songo merangkul para petinggi kerajaan melalui taktik diplomatik-kultural dan pernikahan untuk masuk dalam pusaran kekuatan politik, lalu mendirikan Kerajaan Mataram.

Kedua:
Terkait klaim poin kedua dalam abstraksi tersebut. Kalau pun terpaksa harus membandingkan sikap toleran-inklusif antara para sufi dengan para fuqoha, maka saya hanya sepakat bahwa sikap toleran-inklusif hanya bagi para penganut tasawuf falsafi, bukan tasawuf sunni yang dalam sejarah sufi berulangkali melakukan vonis sesat dan mengeksekusi mati yang tidak sekeyakinan dengannya.

Hal lain, adalah lagi-lagi terlampau simplistis kalau berbasiskan akomodasi produk budaya Hindu-Kejawen, seperti, yang tergambar dalam arsitektur bangunan dan wayang, untuk kemudian dijadikan basis argumentasi bahwa para sufi lebih toleran-inklusif dibanding para ahli fiqh. Pasalnya, dalam kajian ushul fiqh klasik terdapat sejumlah konsep yang mengakomodasi aspek kultural-tradisi masyarakat dalam penetapan hukum. Seperti konsep masholih al-mursalah, ‘urf, dan lain-lain.
Selain itu, dikotomis-konfrontatif sufi versus faqih juga sama sekali tidak menemukan signifikansi karena para tokoh sufi adalah juga seorang faqih, ahli tafsir, ahli hadist, ahli kalam dan seterusnya.

Sekadar contoh, beberapa nama-nama besar seperti As Syafii arsitek ushul fiqh, bukan saja Faqih tapi juga Ahl Hadist. Al Ghozali pembela utama tasawuf sunni, bukan saja seorang sufi-filasof, tapi juga seorang faqih. Ibn Rusdy, beliau bukan saja sufi-filsof, tapi juga seorang faqih. Imam Malik, juga bukan saja seorang faqih, tapi juga ahli hadist dan saya yakin juga sufi. Abu Hanifah, bukan saja faqih tapi juga seorang ahli kalam dan sufi. Al Qusyairy An Naisabury, bukan saja seorang Sufi, tapi juga ahli Sastra, ahl hadist dan faqih. Demikian juga dengan As-Suyuthi dan para penulis kitab-kitab hadist yang enam (kutub as-sittah) seperti, Bukhori, Muslim, Nasa’i, Ibn Majah, Abu Daud, At-Tirmidzi, mereka bukan saja ahli hadist tapi juga sufi dan ahli fiqh. Hal ini tampak jelas pada penyusunan bab-bab dalam karya-karya kitab hadist mereka disusun berdasarkan penyusunan masalah fiqhiyah dan syarat dengan hadist-hadist sufistik. Saya juga pun yakin, para Wali Songo selain sufi, juga ahli fiqh, ahli hadist dan sejumlah disiplin studi keislaman klasik lainnya.

Ketiga:
Dengan penjelasan di atas, maka saya mempertanyakan, apakah benar mengklaim bahwa pola dakwah sufistik Wali Songo yang beratus-ratus tahun lalu berperan signifikan membangun toleransi keberagamaan antar umat beragama Indonesia kini? Atau jangan-jangan, toleransi yang tercipta selama Orde Baru hanyalah merupakan produk dari rekayasa sosial Orde Baru yang mengorientasikan stabilitas untuk tujuan-tujuan pembangunan sesuai ideology pembangunanismeyang tercermin dalam GBHN hasil enam kali pemilu Orde Baru. Karenanya, semenjak Orde Baru berakhir dan kontrol negara terhadap kehidupan sosial-keagamaan berkurang jauh, seiring dengan itu radikalisasi keagamaan pun tumbuh marak bak jerawat di wajah perawan. Dalam batas tertentu, boleh jadi vonis sesat sesama kaum muslimin juga terispirasi preseden penyesatan Wali Songo kepada Syekh Siti Jenar. Wallahu a’lam bi as-showab