Tuesday, April 8, 2008

Penistaan Islam: Kritik Dua Arah


Buya Abdul Aziz Aru Bone*

Diterbitkan Harian INDOPOS (Jawa Pos Group) 9 April 2008. Artikel juga diterbitkan situs www.myrmnews.com

Setahun lalu, koran sayap kanan Denmark, Jyllands-Posten menerbitkan karikatur penistaan Nabi Muhammad. Pemerintah Perancis melarang pemakaian jilbab di sekolah-sekolah Perancis. Akhir tahun lalu, politisi sayap kanan Belanda dari Freedom Party (PVV) Ayaan Hirsi Ali berkampanye menyamakan Islam dengan barbarianism. Kini muncul kasus terbaru, pemimpin PVV yang juga anggota senat Belanda, Geert Wilders meluncurkan Film Fitna yang menyamakan Islam dengan kekerasan.

Berbagai kecaman mengalir dari kelompok muslim dan non muslim di berbagai penjuru dunia terhadap kasus-kasus penistaan Islam di Eropa tersebut. Kecaman bukan hanya datang dari para pemimpin negara mayoritas berpenduduk muslim, bahkan dari para pemimpin Eropa melalui NATO yang mendukung sikap PM Belanda, Jan Peter Balkenende yang mengecam Geert.

Kita mengamini bahwa berbagai ekspresi anti-Islam oleh sejumlah kelompok sayap kanan di sejumlah negara Eropa, bukan merupakan gejala umum masyarakat Eropa tentang Islam. Dengan kata lain, kita mengamini bahwa, berbagai penistaan atas Islam dalam kasus-kasus di atas adalah merupakan penyimpangan dari gejala umum masyarakat Eropa tentang Islam.

Karena gejala umum tentang Islam bisa kita temukan pada kultur akademis universitas- universitas Eropa yang mengkaji Islam melalui berbagai program Islamic Studies secara objektif, jujur dan tidak bias saat berbicara tentang Islam. Kultur akademis seperti ini jelas berbeda dengan era kajian Islamic Studies masa dedengkot orientalis, seperti, Ignaz Golziher dan Joseph Schatch.

Gejala umum tentang Islam juga kita temukan pada sikap politik-ekonomi para pemimpin negara-negara Eropa yang menjalin kerjasama dan bersahabat erat dengan Dunia Islam. Bahkan membuka pintu lebar-lebar bagi jutaan imigran muslim dari Turki, Timur Tengah, Afrika dan Asia untuk menjadi warga negara di salah satu negara di Eropa. Juga pada sikap politik para pemimpin Eropa yang menghujat karya-karya anti Islam, seperti, Film Fitna dan karikatur Nabi Muhammad di koran Jylland-Posten.

Kritik Dua Arah

Pertanyaan pokoknya justeru, mengapa gejala anti-Islam kerap muncul dan disuarakan kelompok-kelompok sayap kanan di sejumlah negara Eropa di saat pemerintah negara-negara Eropa menjalin kerjasama dan bersahabat erat dengan Dunia Islam, atau di saat kultur akademis di berbagai universitas Eropa cukup objektif dan apresiatif mengkaji Islam?

Saya rasa, rentetan kasus penistaan Islam oleh kaum konservatif kanan di Eropa memiliki kaitan langsung dengan arus besar imigran muslim di negara-negara Eropa. Dalam batas tertentu, arus besar kaum imigran muslim puritan di Eropa melahirkan problematika sosial-kultural baru, yakni, kecenderungan penegasan identitas masing-masing.

Kecenderungan ini tumbuh subur karena absennya dialog yang dinamis. Bahwa, jika orang-orang yang berbeda standar nilai bertemu dan berinteraksi dalam suatu lingkungan, lahirlah kecenderungan memperkuat identitas masing-masing, apalagi jika tidak tercipta dialog dinamis dan terjadi pembekuan nilai.

Oleh kaum imigran muslim yang pada umumnya berislam secara puritanistik, penegasan identitas diaktualisasikan dengan sikap eksklusif dan tidak apresiatif terhadap nilai sosial masyarakat Eropa, sembari melakukan konservasi atas nilai keberislaman yang puritanistik. Jadi, ada suasana emosional berupa ketidaksiapan kaum imigran muslim untuk membuka diri terhadap nilai-nilai baru yang hidup di tengah-tengah masyarakat Eropa.

Dalam hal ini, pemahaman Islam yang puritanistik menjadi faktor determinan bagi kaum imigran untuk bersikap selektif, ekslusif dan konservatif atas nilai-nilai baru yang hidup dan berkembang di Eropa.

Di sisi lain, kaum konservatif kanan Eropa juga tidak siap dengan kondisi baru yang lahir akibat migrasi jutaan orang dari luar Eropa. Kelompok ini memendam kekhawatiran demografis akan perubahan kultur Eropa. Kondisi ini mendorong munculnya gejala suasana tidak toleran terhadap imigran di kalangan kaum kanan Eropa.

Karena itu, kelompok kanan konservatif mendefinisikan penegasan identitas Eropa dengan memaksimalkan nilai-nilai Eropa, seperti, kebebasan berpendapat yang diarahkan pada promosi sikap anti nilai-nilai kaum migran yang menurut mereka mengancam keberlanjutan kultur Eropa. Dalam konteks ini, Islam sebagai agama yang juga sumber nilai kaum migran pun menjadi sasaran tembak.

Dua kondisi diatas, saya rasa berperan signifikan mencipta jurang
sosial-kultural antara kaum migran dan penduduk setempat yang tinggal
lingkungan yang sama. Jurang ini pada batas tertentu menciptakan
miskonsepsi kaum kanan konservatif Eropa terhadap Islam sebagai unsur utama sumber nilai kaum imigran muslim.

Pada poin inilah kerap terlahir stereotype tentang Islam sebagai agama kaum imigran dalam benak kaum kanan konservatif Eropa. Misalkan, stereotype tentang Islam sebagai agama tidak toleran, suka kekerasan dan ekskusif.

Stereotype demikian lahir bukan hanya dibentuk oleh pola interaksi sosial-kultural kaum kanan Eropa dengan kaum migran muslim Eropa yang pada umumnya berislam secara puritanistik, tapi juga seakan mendapatkan justifikasi oleh berbagai aksi terorisme internasional yang mengatasnamakan Islam.

Karena itu, terkait penistaan terhadap Islam, berbagai kecaman politik komunitas muslim, non-muslim dan para pemimpin dunia, meski dibutuhkan tetapi tidak menyentuh akar masalah jika keberislaman yang moderat dan terbuka tidak menjadi mainstream di kalangan kaum imigran muslim di berbagai negara Eropa.

Di sisi lain, para pemimpin Eropa juga mesti menciptakan iklim yang mendukung perubahan paradigma kaum kanan Eropa untuk tidak terjebak stereotype dalam melihat Islam dan kaum muslimin. Wallahu a’lam bi as-showab.