Oleh: Buya Abd Aziz Aru Bone
diterbitkan oleh situs www.myrmnews.com pada rublik Gazebu, edisi 21/11/2007
Secara umum, agama-agama lahir dari rahim dunia yang penuh krisis dan hadir untuk menjawab berbagai krisis tersebut. Karena itu, para Nabi pembawa agama bukan saja menempatkan agama sebagai jalan pencarian spiritual bagi kaum beriman untuk berbagi kebenaran menuju Yang Maha Benar, tapi secara sosiologis juga menempatkan agama sebagai perangkat revolusioner bagi pembebasan umat dari berbagai persoalan dan krisis kemanusiaan.
Di tangan para Nabi, agama tidak saja merupakan jalan spiritual meniti kebenaran dan pensucian diri bagi kaum beriman buat melampaui dunia yang dilanda aneka kemelut menuju Yang Maha Benar, tetapi secara praksis dalam ranah sosial, agama mampu ditampilkan oleh para Nabi sebagai perangkat yang membebaskan umatnya dari derita kemiskinan, kebodohan, ancaman ketertindasan dan perilaku tidak adil.
Maka dengan menampilkan dua wajah agama di tengah krisis zamannya, Nabi Musa bukan saja menjadikan agama sebagai energi spiritual bagi umatnya, tapi juga menjadi perangkat pembebasan pengikutnya dari otoritarianisme Fir’aun, penguasa Mesir Kuno.
Pun bagi Nabi Isa (Yesus), agama tidak saja merupakan mata air cinta dan kasih sayang, tetapi juga sumber inspirasi yang membebaskan Bangsa Yahudi dari kekaisaran otoriter Romawi yang kala itu dipimpin Herodes.
Atau bagi Nabi Muhammad, ia tidak saja menjadikan Islam sebagai jalan menyerahkan diri kepada Yang Maha Mutlak, tapi juga sebagai perangkat revolusioner bagi pembebasan masyarakat Arab dan Dunia.
Pendek kata, para Nabi mampu memfungsikan agama secara seimbang sebagai jalan kesholehan individual yang sejalan dengan kesholehan sosial. Karena memang, secara umum tujuan pokok pewahyuan agama bukan untuk Tuhan, tetapi kepentingan manusia guna membebaskan manusia secara individual maupun secara sosial di kehidupan kini dan nanti dari berbagai krisis, derita dan malapetaka, guna merengkuh kebahagiaan hidup di kehidupan kini dan nanti.
Bagi kita yang hidup jauh dari masa para Nabi. Kita kerap mengklaim bahwa kita beragama sama seperti agama yang peluk para Nabi. Tapi kini apa yang tersisa dari agama kita kini?
Berbeda 180 derajat dengan agama di tangan para Nabi, di tangan kita agama bukan saja gagap memberikan jawaban atas berbagai krisis kemanusiaan modern. Bahkan, oleh novelis seperti AN Wilson penulis buku, Against Religion, Why We Should Live Without It, agama digambarkan sebagai sumber konflik dan pertikaian, bukan saja antar pemeluk agama, tapi juga antar pemeluk seagama.
Wilson menggambarkan, semakin taat seorang pemeluk agama kepada Tuhan, ia semakin merasa mendapatkan justifikasi teologis untuk menghancurkan yang lain yang berbeda dari ajaran yang ia yakini benar. Yang berbeda adalah sesat dan kafir. Yang sesat dan kafir harus dilawan, bila perlu dengan cara-cara kekerasan.
Maka semakin merasa dirinya taat pada Tuhan, orang seperti ini biasanya semakin merasa benar sendiri dan merasa memiliki justifikasi teologis untuk menghancurkan yang tidak sejalan dengannya, baik terhadap yang seagama, apalagi yang berbeda agama.
Gambaran Wilson yang menempatkan agama sebagai sumber kekerasan dan pertikaian ini sungguh tidak berlebihan, apabila kita melihat agama lebih ditempatkan sebagai legitimasi perebutan klaim kebenaran atau bila kita membajak agama, hingga mencerabut agama dari fungsinya sebagai jalan untuk saling berbagi kebaikan guna mengatasi krisis kehidupan yang terjadi dalam level individual tiap kita, maupun pada level sosial kita.
Karena itu sikap menempatkan agama-agama sebagai corpus terbuka, inklusif, jalan untuk mendialogkan dan saling berbagi kebenaran, adalah merupakan keniscayaan dan salah satu langkah fundamental guna mengembalikan fungsi agama-agama seperti halnya ketika ia berada di tangan para Nabi pembawanya.
Jika tidak, maka tesis AN. Wilson yang memandang agama sebagai sumber konflik akan selalu menemukan pembenarannya. Jika tidak, maka agama-agama formal akan semakin kehilangan legitimasinya di mata sebagian masyarakat.
Dalam konteks Indonesia kini, maraknya berbagai aliran yang divonis sesat, saya rasa juga merupakan cerminan hilangnya kepercayaan sebagian masyarakat terhadap agama-agama formal. Karena agama-agama formal bukan saja dinilai gagal memainkan perannya sebagai jalan keselamatan yang mampu memberikan solusi atas problematika individual dan sosial seperti yang dicontohkan para Nabi di atas, alih-alih turut menjadi sumber masalah. Wallahu lam
Tuesday, November 20, 2007
Subscribe to:
Posts (Atom)