Friday, June 29, 2007

Ibn Rusyd Pelopor Kajian Fiqh Perbandingan


Oleh: Buya Abd Aziz Aru Bone


Ibn Rusyd dikenal luas sebagai ahli Ilmu Kalam dan Filsafat. Tapi sedikit sekali yang menaruh perhatian bahwa Ibn Rusyd juga ahli fiqh (jurisprudensi hukum Islam). Karyanya yang berjudul Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid bukan hanya membahas perbedaan pendapat antarmazhab fiqh suni, tapi juga menjelaskan dan mendiskusikan secara sistematik-kritis berbagai argumentasi dan landasan ushuliyyah masing-masing pendapat hukum antarmazhab fiqh suni



Dunia intelektual Islam mempunyai penilaian tersendiri tentang Ibn Rusyd. Ilmuwan Islam kelahiran Cordova, Spanyol, 526 H/1126 M ini dikenal ahli berbagai bidang ilmu yang berkembang pada masanya. Ia mengusai Kedokteran, Ilmu Kalam, Filsafat, Ilmu Fiqh, Ushul Fiqh, Matematika, Astronomi dan Sastra Arab (Harun Nasution:1986).
Sebagai ahli kedokteran, ia adalah orang pertama yang mengatakan, jika seseorang pernah berjuang melawan penyakit cacar, maka sistem kekebalan tubuhnya akan melindungi dari serangan cacar seumur hidupnya. Ibn Rusyd juga merupakan ahli kedokteran pertama yang membuat gambar cara kerja dan kegunaan retina mata.

Sebagai ahli Ilmu Kalam dan Filsafat, ia seorang “fanatik” Aristotelian dan Platonian. Dia adalah pengagum berat Ilmu Mantiq Aristoteles dan menganggapnya sebagai sumber besar kebahagiaan. Sehingga ia menyesali, mengapa Aristoteles dan Plato tidak bertemu dengannya! Tetapi menurut alm. Prof. Nurcholis Madjid, segi lain yang lebih mengesankan dari Ibn Rusyd adalah, usahanya yang sungguh-sungguh untuk menggabungkan Agama dan Filsafat. Hal ini tercermin dalam salah satu karya terpentingnya yang berjudul, Fash al-Maqậl fi mậ baina al-Hikmah wa as-Syari’ah min al-Ittishậl. Nurcholish bahkan menyatakan, Ibn Rusyd lebih bersungguh-sungguh dibanding sejumlah filosof muslim sebelumnya, seperti, Al-Kindi, Al-Farabi, Ibn Sina dan lain-lain. Seperti yang ditegaskan Nurcholish, Ibn Rusyd mengajukan argumen bahwa, kebenaran agama dan kebenaran filsafat adalah satu, meski dinyatakan dalam simbol berbeda. Tapi Ibn Rusyd juga membela pandangan yang mengatakan bahwa, kebenaran tertinggi selalu bersifat filosofis, dan bagi yang mampu, harus diinterpretasikan demikian (Nurcholish Madjid: 1994)

Meski ahli dalam beragam disiplin ilmu yang berkembang pada masanya, ‘Abdul Mun’im Majid dalam Tarikh Al-Hadharoh Al-Islamiyyah fi Al-‘Ushur Al-Wustho menulis, sepanjang karir intelektualnya, Ibn Rusyd banyak mencurahkan pikirannya menulis Filsafat Aristotelian dan Platonian. Sehingga, filosof muslim yang di Eropa lebih dikenal dengan sebutan Averous ini dijuluki Sang Penafsir Terbesar Aristoteles dan Plato (‘Abdul Mun’im Majid: 1978).

Sementara Najati dalam Ad-Dirâsat An-Nafsiyyah ‘Inda Al-‘Ulama Al- Muslimin menulis, karya-karya Ibn Rusyd tentang Filsafat Aristotelian dan Platonian banyak yang diterjemahkan ke Bahasa Latin hingga mempengaruhi ahli-ahli pikir Eropa. Mengutip Muhammad Ali Abu Rayyan, Najati menyebutkan bahwa, pengaruh pemikiran Ibn Rusyd tampak jelas pada pemikir pelopor renaissance Eropa, seperti, Saint Thomas Aquinas dan Spinoza (Muhammad ‘Ustmani Najati: 1993)

Diantaranya dari karya-karya Ibn Rusyd, beberapa pioner pemikir awal renaissance Eropa mengenal Filsafat Helenisme yang pada akhirnya membebaskan Eropa dari The Dark Ages. Selain disebutkan oleh Najati, keterangan serupa juga disampaikan Nurcholis Madjid, Mun’im Majid dan Harun Nasution dalam buku mereka masing-masing sembari mengutip pengakuan beberapa sarjana Barat kontemporer.

Mengutip Rainan dalam bukunya Averous and Averousme, Najati juga mengatakan, karya-karya Ibn Rusyd mencapai 78 buku dan catatan yang cakupannya meliputi bidang Filsafat, Sastra Arab, Kedokteran, Fiqh, dan Astronomi. Banyak diantaranya yang hilang, sedikit sekali yang dapat dicetak. Najati menyebutkan, seluruh daftar karya Ibn Rusyd dapat diketahui dalam buku Mu’allafat Ibn Rusyd, sebuah buku yang khusus diterbitkan pada Festival Ibn Rusyd untuk memperingati delapan abad wafatnya.


Pelopor Kajian Fiqh Perbandingan

Meski dikenal luas sebagai ahli Ilmu Kalam dan Filsafat Islam, tapi tidak banyak yang menaruh perhatian bahwa Ibn Rusyd juga merupakan ahli Hukum Islam (jurist) atau faqih (plural: fuqoha). Kondisi serupa juga terjadi pada dunia akademik. Yasin Dutton, misalkan, dalam artikelnya yang berjudul The Introduction to Ibn Rusyd’s Bidayah al-Mujtahid pada jurnal Islamic Law and Society menyebutkan, hanya beberapa sarjana yang menulis Ibn Rusyd dalam kapasitas sebagai ahli hukum, seperti, artikel yang ditulis Brunschvig (1962), Abdel Magid Turki (1978), Dominique Urvoy (1991) dan disertasi Asadullah Yate (1991). Selebihnya, menulis Ibn Rusyd dalam kapasitasnya sebagai ahli Ilmu Kalam dan Filsafat (Yasin Dutton: 1994).

Adapun dalam bahasa Indonesia, telah banyak yang menulis Ibn Rusyd dalam kapasitasnya sebagai ahli Ilmu Kalam dan Filsafat, tapi penulis belum menemukan sebuah tulisan tentang Ibn Rusyd dalam kapasitasnya sebagai ahli hukum. Padahal karya Ibn Rusyd berjudul Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid, adalah karya klasik paling komprehensif dan sistematik dalam kajian Perbandingan Mazhab Fiqh Suni.
Ibn Rusyd memulai menulis Bidayah saat ia berusia 40-an tahun. Tapi karena suatu hal yang tidak ia jelaskan, ia baru menyelesaikan penulisannya 20 tahun kemudian atau tepatnya tahun 584 H/1188 M. Keterangan ini disebutkan Ibn Rusyd pada bagian akhir Bab Haji dalam karyanya, Bidayah.

Karya klasik ini digunakan kalangan pesantren yang akrab dengan kajian kitab kuning dan menjadi salah satu bacaan wajib para mahasiswa Jususan Perbandingan Mazhab dan Hukum IAIN/UIN, lantaran seperti tergambar dari judulnya, Bidayah memang merupakan rujukan permulaan bagi seseorang yang mulai belajar berijtihad dan akhir bagi seseorang yang mencukupkan dirinya dengan pengetahuan dasar hukum Islam. Maka dengan mempelajari Bidayah, seseorang diharapkan mencoba untuk berijtihad atas masalah-masalah yang belum ditemukan ketetapan hukumnya, maupun masalah fiqh klasik yang harus disesuaikan ketetapan hukumnya karena tuntutan al-maslahah sebagai konsekuensi loncatan zaman kontemporer.

Karena dalam Bidayah, Ibn Rusyd tidak hanya menyebutkan berbagai perbedaan pendapat mazhab-mazhab fiqh suni atas suatu masalah, tapi juga menjelaskan secara mendetil argumentasi-argumentasi perbedaannya .

Ibn Rusyd juga secara sistematik mempertimbangkan argumen-argumen utama yang menyebabkan terjadinya perbedaan pendapat para fuqoha lintas mazhab atas suatu masalah fiqh, ia juga menguak qowa’id (principles) ushuliyyah di balik berbagai perbedaan argumentasi yang ada. Lalu ia mendiskusikannya secara panjang lebar sembari melakukan analisis kebahasaan atas teks Al-Qur’an dan Al-Hadist yang dijadikan pijakan otoritas oleh para fuqoha dalam membangun argumentasi.

Bahkan pada tahap berikut, tak jarang ia mengunggulkan pendapat suatu mazhab dari mazhab yang lain atau mengambil qoul ar-rậjih, setelah mendiskusikan argumentasi terbaik masing-masing mazhab. Kadang pula, Ibn Rusyd mengungkapkan pendapatnya tentang suatu masalah, setelah menunjukan kelemahan argumentasi masing-masing mazhab yang ia diskusikan.

Dengan memperhatikan pendekatan Ibn Rusyd dalam penulisan Bidayah, tak berlebihan jika Ibn Rusyd ditempatkan sebagai salah seorang pelopor kajian Perbandingan Mazhab Fiqh (Muqoranah al-Mazhahib fi al-Fiqh).

Karena pada prinsipnya, pendekatan ini merupakan suatu pendekatan antarmazhab fiqh untuk menguji dan mendiskusikan pendapat maupun bangunan argumentasi masalah fiqh tertentu, guna mengetahui pendapat dan argumentasi mana yang paling unggul.

Selain memperlihatkan penguasaan Ibn Rusyd terhadap fiqh lintas mazhab, Bidayah juga memperihatkan penguasaan penulisnya terhadap disiplin ilmu Ushul Fiqh. Hal ini tampak pada bagian pengantar Bidayah. Dalam bagian pengantar yang hanya setebal tiga halaman ini (Bidayah edisi terbitan Dar al-Fikr, Cairo, tth.) Ibn Rusyd merangkumkan secara padat disiplin Ushul Fiqh yang ia jadikan sebagai landasan analisis-teori penulisan Bidayah.

Maka membaca Bidayah, kita tidak hanya disuguhkan beragam argumentasi dan perbedaan pendapat berbagai mazhab fiqh suni atas berbagai masalah fiqhiyah, tapi juga diajak untuk menyelami bagaimana suatu ketetapan hukum atas suatu masalah fiqh dibentuk dan bagaimana penggalian hukum (istinbanth) dilakukan.

Sebagai sosok yang juga ahli ilmu eksakta (kedokteran) dan filsafat, tentu saja paradigma rasional-empirik turut memempengaruhinya dalam penulisan Bidayah. Hal ini tampak pada beberapa pembahasan dalam Bidayah. Contoh, saat ia berbicara tentang cara menentukan ‘illa (operative cause of a ruling) dan maqsad (purpose of the ruling) dalam penggunaan metode Qiyas atau menarik kesimpulan dengan analogi. Tampak bahwa Ibn Rusyd menekankan pentingnya penalaran rasional dalam penerapan Qiyas, bukan saja agar mendapatkan pemahaman yang lengkap, tapi juga agar kesimpulam hukum atas masalah baru (furu’) yang dianologikan dengan masalah lama (ashl) karena ada kesamaan ‘illa ataupun maqsad (untuk Qiyas khafiyy) dapat diaplikasikan.

Contoh lain, bagaimana menentukan awal Ramadhan jika munculnya bulan sabit baru sebelum matahari terbenam. Dalam kasus ini, Ibn Rusyd terlebih dahulu menyebutkan pendapat para fuqoha dan menyertakan sejumlah hadist yang menjadi landasan argumentasi mereka. Ibn Rusyd lalu berargumen bahwa untuk kasus ini seseorang harus menggunakan nalar dan pengalaman objektif, bahwa jika bulan baru terlihat meski pada tengah hari atau sebelum matahari terbenam, maka ditentukan saat itu sebagai awal Ramadhan. Dengan kata lain, dalam kasus penentuan awal Ramadhan, Ibn Rusyd menggunakan metode rukyah, bukan hisab.

Diantara manfaat besar membaca Bidayah adalah, kita dapat mengetahui sebab terjadinya perbedaan pendapat berbagai mazhab fiqh suni atas berbagai masalah fiqh dan mengetahui bagaimana penggalian hukum dilakukan. Hal ini sangat penting agar membantu kita keluar dari taqlid buta. Hal lain, terbuka bagi kita memperdalam studi atas berbagai argumentasi dan ketetapan hukum yang diperselisihkan, sekaligus berbagai pendekatan penggalian hukum masing-masing mazhab atas masalah fiqh tertentu. Dengan demikian akan timbul kesadaran dan sikap saling menghargai, karena sadar bahwa semua pendapat mazhab yang berbeda tersebut dapat dipertanggungjawabkan. Wallahu a’lam bi as-showab.