Saturday, October 18, 2008

Mengapa RUU Pornografi Harus Ditolak? (2)


(1) Para pendukung RUU Pornografi menolak argumen bahwa pelarangan pornografi bertentangan dengan hak asasi manusia. Menurut mereka, masalah pornografi bukan sekadar masalah moral tapi lebih merupakan masalah sosial yang berkorelasi atau menimbulkan sejumlah masalah sosial lainnya.

Menurut saya, jika mereka mengakui bahwa pornografi lebih merupakan masalah social yang melahirkan atau berkolerasi dengan sejumlah masalah social lainnya, lantas mengapa harus menggunakan aspirasi moral agama tertentu untuk menggunakan tangan negara melalui perangkat UU untuk melarang pornografi?


Dengan kata lain, jika masalah pornografi diakui sebagai masalah social yang berkorelasi dengan sejumlah masalah social lainnya, maka gunakan saja perangkat hukum yang telah ada guna mengeliminir atau memberantas segala dampak buruk yang lahir dari penyalahgunaan/penyelewenangan ekspresi seksual yang pada awalnya merupakan hak asasi manusia.


Dalam hal ini, saya rasa mereka tidak mampu membedakan antara; (a) ekspresi seksual yang merupakan hak asasi setiap warga negara dewasa dan (b) penyalahgunaan/penyimpangan ekspresi seksual oleh warga negara dewasa. Ekspresi seksual setiap warga negara dewasa adalah merupakan hak asasi setiap orang dewasa, sementara penyimpangan ekspresi seksual/penyalahgunaannya –apalagi sampai merugikan orang/sekelompok masyarakat- adalah merupakan masalah kriminal yang bisa dijerat dengan sejumlah produk hukum yang sudah ada, seperti, UU Perlindungan Anak, UU Pers, KUHP, UU Perfilman, UU Penyiaran dan lain-lain.


Semua perangkat hukum tersebut telah terbukti mampu melindungi setiap komponen anggota masyarakat (anak, remaja dan orang dewasa) dari berbagai masalah sosial yang timbul akibat penyimpangan/penyalahgunaan ekspresi seksual, seperti, pedofilia, pemerkosaan, pelecehan terhadap kaum perempuan dan lain-lain.


(2) Saya sulit mengerti bagaimana para pendukung RUU Pornografi menegasikan kenyataan bahwa RUU Pornografi, seperti halnya sejumlah Perda Syariat di sejumlah daerah, memiliki agenda penegakan syariah. Padahal jelas-jelas aspirasi pembentukan RUU tersebut berasal dari (baca: didukung kuat) sejumlah kelompok kaum Islam puritan yang selama ini getol mengkampanyekan penegakan Syariat Islam melalui perda-perda Syariat.


Kalau pun pada akhirnya legal draft RUU tersebut tidak melarang segala bentuk pornografi dan pornoaksi seperti ajaran Syariat Islam, tetap saja sama sekali tidak mampu menghapus fakta awal bahwa aspirasi RUU tersebut berasal dari (dan diperjuangkan) oleh kelompok Islam puritan, yang kemudian dalam proses pembahasannya di DPR terjadi proses “negosiasi.”


Negosiasi” dalam proses legislasi adalah fakta konfigurasi politik yang terpaksa diterima oleh kaum Islam puritan pencetus aspirasi RUU Pornografi kaitannya dengan aspirasi politik di DPR dan wacana masyarakat menyikapi RUU tersebut sebagai hal yang kontroversial. Maka pengecualian atas sejumlah bentuk pornografi dalam legal draft RUU tersebut lebih tepat dipahami sebagai strategi kelompok pendukung untuk memperluas dukungan atas pengesahan RUU yang hingga kini masih controversial tersebut. Jadi bukan mengikuti logika pengaturan distribusi pornografi seperti yg diklaim para pendukung RUU tersebut.


Dengan kata lain, kaum muslim puritan pemilik aspirasi RUU Pornografi terpaksa/dipaksa berhadapan dengan realitas politik dan social cultural Indonesia yang majemuk sehingga aspirasi mereka agar RUU tersebut melarang semua bentuk pornografi seperti yang diajarkan Islam kini tidak sepenuhnya mampu mereka capai. Maka sekali lagi, dengan memperhatikan proses lahirnya aspirasi RUU pornografi serta basis dukungan publik atas RUU tersebut, tidak bisa tidak kecuali menilai RUU tersebut bermuatan penerapan Syariah meski akhirnya tak maksimal seperti yg diinginkan kelompok-kelompok pemilik aspirasi awal.


Dalam konteks ini, RUU Pornografi sangat berpotensi menimbulkan pengikisan keberagaman. RUU tersebut jelas merupakan bentuk pengikraran terhadap pluralitas warga Negara, karena telah menggiring pada upaya totalisasi perilaku dan sikap dalam wadah yang tunggal atas nama agama.


(3). Jika para pendukung RUU Pornografi membaca dan memahami RUU tersebut dengan kritis, akan tampak jelas bahwa materi muatan RUU tersebut dibangun di atas dasar pandangan yang diskriminatif terhadap perempuan oleh karena meletakkan perempuan sebagai obyek kriminalisasi. Rumusan semacam ini jelas bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar yang tercantum di dalam konstitusi semua orang sama di hadapan hukum. Juga bertentangan dengan prinsip hak asasi manusia, baik yang tercantum di dalam Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan, maupun Kovenan Sipil Politik yang semuanya telah menjadi bagian hukum Indonesia.


(4).Definisi pornografi dalam RUU memang sangat tidak jelas. Definisi pornografi di dalam RUU ini adalah: ""materi seksualitas melalui media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka
umum, yang dapat membangkitkan hasrat seksual dan/atau melanggar
nilai-nilai kesusilaan dalam masyarakat".

Dalam RUU tersebut menggunakan kalimat “….yang dapat membangkitkan hasrat seksual…”

Dengan redaksi kalimat tersebut, akan memberikan apparatus negara kekuasaan tiada tara untuk berlaku sewenang-wenang menangkap warga meski si warga tidak memiliki maksud membangkitkan hasrat seksual orang atau sekelompok orang di muka umum ketika menunjukan materi yang oleh apparatus negara dinilai memiilki aspek seksualitas. Jadi jelas, definisi "pornografi" dalam RUU tersebut kabur karena –seperti ditegaskan oleh Mannake Budiman- ada beda fundamental antara "bertujuan untuk membangkitkan hasrat seksual" dan "dapat membangikitkan hasrat seksual". Yang pertama, kata Mannake, ada unsur kesengajaan yang sistematis, yang kedua timbul dari tafsir yang mengonsumsinya.


(5). RUU ini tetap mengancan kebhinekaan meski sejumlah pasal dalam draft RUU yang dikeluarkan pada 2006 yang memerintahkan masyarakat untuk tidak mengenakan pakaian yang memperlihatkan bagian tubuh yang sensual seperti payudara, paha, pusar, baik secara keseluruhan ataupun sebagian sudah dicoret dalam draft RUU yang baru.


Karena jika RUU tersebut disahkan, berarti memberi kewenangan bagi negara memaksakan diri untuk mengatur nilai-nilai moral dan tata susila masyarakat. Maka tidak bisa tidak, negara akan terjebak menggunakan tata nilai dari suatu kalangan masyarakat yang bersumber dari agama tertentu.


Jadi RUU tersebut terkesan hendak “memaksakan” nilai-nilai kelompok agama tertentu yang tidak cocok dengan budaya bangsa Indonesia. Padahal negara, seharusnya mengakomodasi perbedaan nilai dalam masyarakat, seperti yang telah dirumuskan para pendiri bangsa yang telah dirumuskan secara sangat universal dalam Pancasila dan UUD 1945.


(6).Betul bahwa RUU tersebut memang tidak melarang perempuan memakai rok mini! Tapi RUU tersebut memberi ruang jika cewek yang memakai rok mini bisa dinilai porno tanpa standar yang jelas. Jadi kalau nanti RUU tersebut disyahkan, lalu saudari perempuan anda jalan-jalan ke Mall Blok M, besar kemungkinan saudari anda ditangkap karena dinilai berpakaian porno atau membangkitkan hasrat seksual dengan cara berpalaiannya.


(7). RUU ini jelas sangat berpotensi mendorong lahirnya aksi-aksi anarkis masyarakat atas individu/kelompok masyarakat lain yang oleh kelompok pertama dinilai mengandung unsur pornografi. Pasal 21 dalam RUU tersebut:



Bagian Kedua
Peran Serta Masyarakat

Pasal 21
Masyarakat dapat berperan serta dalam melakukan pencegahan terhadap pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi.

Pasal 22
(1) Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dapat dilakukan dengan cara:

a.melaporkan pelanggaran Undang-Undang ini;

b.melakukan gugatan perwakilan ke pengadilan;

c.melakukan sosialisasi peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pornografi; dan

d.melakukan pembinaan kepada masyarakat terhadap bahaya dan dampak pornografi.


Pasal 21 pada RUU ini jelas memberi landasan hukum bagi aksi-aksi ala FPI yang mendatangi, menggrebek dan mengarak warga masyarakat lain yang oleh kelompok-kelompok seperti FPI dinilai melakukan tindakan mengandung unsur pornografi. Dengan kata lain, RUU ini bukan memberi batasan yang tegas terhadap kelompok-kelompok yang senang main hakim sendiri, malah memberi landasan hukum bagi aksi-aksi mereka yang selama ini dikecam luas.



(8). Prinsipnya RUU Pornografi tidak perlu karena sudah ada perangkat hukum yang lain. Karena itu yang perlu dilakukan oleh pemerintah –selain membatalkan pengesahan RUU Pornografi- adalah memperkuat fungsi dan peran komisi-komisi negara maupun badan-badan lainnya, seperti Komisi Penyiaran Indonesia, Dewan Pers, Lembaga Sensor Film, dan lain-lain untuk menjalankan regulasi distribusi materi-materi pornografi dibandingkan dengan membuat produk hukum baru yang pincang secara yuridis, filosofis, dan sosiologis. Kebutuhan publik akan regulasi dan badan yang menjalankan peranan pengaturan perihal pornografi itu sudah terjawab oleh dan dengan adanya lembaga-lembaga tersebut.


(9). Kalau disahkan RUU tersebut akan memasung kreativitas para seniman meski Pasal 14 pon a pada RUU tersebut menyatakan, Pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan materi seksualitas dapat dilakukan untuk kepentingan dan memiliki nilai: a.seni dan budaya;

Tapi persoalannya, siapa yang menentukan bahwa suatu karya merupakan karya seni yang mengandung unsure pornografi atau karya pornografi yang artistik? Jelas bukan hakim yang menentukan, bukan aparatur negara, bukan anda dan saya, melainkan si pencipta karya seni tersebut.






Mengapa RUU Pornografi Harus Ditolak? (I)


Setahu saya, tidak dibenarkan sebuah UU mengatur bagaimana seharusnya orang merasa dan berpikir. Demikian juga tidak dibenarkan sebuah UU mengatur bagaimana orang merasa, termasuk perasaan erotis dan hasrat seksual. Lantaran semua itu adalah masalah private yang tidak boleh/tidak bisa diatur oleh negara (RUU Pornografi jika diundangkan akan memberikan kewenangan bagi negara dan aparatusnya mengatur hal-hal private tersebut). UU, negara beserta aparatusnya hanya bisa mengatur jika hal-hal private tersebut diselewengkan dalam bentuk tindakan yang merugikan kepentingan orang lain.


Dengan demikian, saya memahami pasal 29 ayat 2 Universal Declaration of Human Rights yang anda kutip tersebut sebagai, dibolehkannya kehadiran UU dimaksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan yang layak terhadap hak-hak dan kebebasan-kebebasan orang lain, dan untuk memenuhi syarat-syarat yang adil dalam hal kesusilaan, ketertiban dan kesejahteraan umum dalam suatu masyarakat yang demokratis.


Dengan demikian, kehadiran UU dimaksud hanya bisa mengatur penyelewenangan pengunaan hak-hak dan kebebasan-kebebasan private tersebut dengan tujuan memberi jaminan keberadaan hak-hak dan kebebasan orang lain.


Jadi bukan mengatur hak-hak dan kebebasan private yang diakui dalam Universal Declaration of Human Rights, melainkan mengatur penyelewengan dalam pengunaannya yang dapat berdampak pada rusaknya hak-hak dan kebebasan orang lain.


Nah, jika kita kaitkan dalam konteks perdebatan kita tentang RUU Pornografi, maka legal draf RUU Pornografi seharusnya bukan mengatur bagaimana seharusnya orang merasa tentang hasrat seksual dan berpikir tentang sesuatu yang erotis. Melainkan seharusnya memberikan jaminan dengan mengatur penyelewenangan penggunaan hak-hak dan kebebasan tentang seksualitas, hasrat seksual, etc, agar tidak merugikan hak dan kebebasan orang lain.


Padahal, pasal 1 ayat 1 RUU Pornografi, yang mendefinisikan pornografi sebagai ”materi seksualitas yang dibuat manusia yang dapat membangkitkan hasrat seksual dan/atau melanggar nilai-nilai kesusilaan dalam masyarakat”.


Jelas sekali, rumusan definisi tersebut telah mengandaikan, secara publik dapat diketahui apa yang dapat membangkitkan hasrat seksual pada seseorang dan apa yang tidak, padahal hal tersebut sangat bersifat subyektif dan merupakan hak dan kebebasan private yang seharusnya dilindungi (kecuali jika penyimpangannya merugikan orang lain)


Contoh, bagi saya melihat pose wanita cantik berbikini dengan belahan dada menonjol di pampang pada salah satu papan iklan di salah satu sudut Mall Blok M tidak membangkitkan hasrat/perasaan seksual.


Tapi ‘kan belum tentu bagi orang lain. Bisa jadi bagi saya tidak membangkitkan hasrat, tapi bagi orang lain membangkitkan hasrat.


Menghadapi masalah yang teramat sangat subjektif seperti contoh sederhana ini, bagaimana seorang hakim memutuskannya? Bagaimana seorang jaksa penuntut umum mendakwakannya? Masak cewek tersebut harus dihukum penjara sekian tahun atau denda sekian miliar hanya karena hasrat seksual seseorang pria bangkit melihat posenya seperti itu di papan iklan Blok M Mall?


Tidak bisa tidak, dalam menghadapi kasus ini hakim dan jaksa akan menggunakan standar nilai tertentu (misalkan, konsep Islam tentagn batasan aurat; yang sebenarnya dalam kajian fiqh multiinterpretasi dan debatable)


Jadi, problem besar RUU Pornografi itu, legal drafnya mengatur (baca: melarang) suatu hal yang, selain diakui sebagai HAM oleh Universal Declaration of Human, juga mengatur sesuatu yang sangat subjektif, yakni, perasaan dan pikiran tentang membangkitkan hasrat atau tergolong porno atau tidak.


Poin lain, juga sangat berpotensi menimbulkan pengikisan nilai-nilai masyarakat dan budaya Indonesia yang beragam yang demikian juga berarti pengingkaran terhadap pluralitas warga negara, karena telah menggiring pada upaya totalisasi perilaku dan sikap dalam wadah yang tunggal atas standar nilai tertentu.


Padahal, penyelewenangan atas penggunaan hak-hak dan kebebasan private yang dalam merugikan orang/sekelompok orang lain adalah merupakan tindakan kriminal yang dapat diselesaikan melalui berbagai macam perangkat hokum yang kini ada, seperti, KUHP, UU Perlindungan Anak, UU Pers, UU Perfilman, UU Penyiaran dan lain-lain.


Tambahan, saya sepakat dengan banyak penentang RUU Pornografi yang mengatakan, segala sesuatu tidak harus diatur oleh undang-undang. Karena tidak sanggup mengatur banyak, termasuk hasrat seksual dan pikiran seseorang.


Karena itu dalam kajian sosiologi, kita tidak hanya mengenal hokum sebagai lembaga social, tapi juga mengenal hal-hal lain, seperti, kebudayaan, pendidikan, baik pendidikan umum maupun pendidikan khusus dalam agama serta bimbingan-bimbingan moral lainnya. Semua itu jauh lebih efektif mengontrol penggunaan kemerdekaan dan hak-hak private, ketimbang hokum. Karena hukum memang tak sanggup.