Sunday, March 11, 2007

Berlebaran Di Tengah Nestapa


Oleh, Buya A.A. Aru Bone

Seperti tahun-tahun yang lalu, tahun ini kita kembali merayakan Idul Fitri. Hari-hari besar keagamaan seperti Idul Fitri, merupakan moment tepat untuk kembali merenungkan makna praksis etika agama dalam kehidupan kita bermasyarakat dan berbangsa.

Apalagi tampak selama ini, ritual keagamaan masyarakat cenderung bersifat formalistik. Kesholehan seseorang hanya diukur dengan ukuran formal sembari mengesampingkan kesholehan yang berorientasi kemanusiaan.

Padahal kita semua percaya, bahwa Islam bukanlah agama yang berorientasi ketuhanan an sich. Alih-alih mengajarkan, kesholehan pada Tuhan harus berimplikasi positif pada perbaikan dan peningkatan kehidupan bermasyarakat. Tuhan, misalkan, mengancam akan melempar ke nereka ahli sholat yang tidak memiliki kepedulian pada pengentasan kemiskinan, pemeliharan anak yatim, etc.

Islam adalah agama yang mengajarkan, kesholehan individual haruslah diberi orientasi sosial. Ketaatan kepada Tuhan harus berimplikasi pada perbaikan kehidupan antar sesama manusia. Karena itu teologi dan seperangkat ritus yang ada padanya, haruslah diberi orientasi kemanusiaan.

Lantaran pada hakikatnya, Tuhan menurunkan agama bukan untuk kepentingan-Nya. Agama hadir untuk memperkenalkan nilai-nilai ketuhanan dengan tujuan akhir, kesejahteraan umat manusia.

Dengan pemaknaan ritus keagamaan seperti itu, maka pembicaraan konseptual tentang agama, senantiasa berkaitan dengan persoalan ril kehidupan manusia. Ketaatan kepada Tuhan harus berimplikasi pada pemecahan masalah kemanusiaan. Atau setidaknya, memberi inspirasi terhadap pemecahan beragam problem kemanusiaan.

Perenungan makna praksis etika agama, merupakan bagian inheren dalam upaya untuk memfungsikan etika agama dalam realitas sosial. Hal ini semakin menemukan relevansinya di tengah beragam keprihatinan dan krisis dalam kehidupan kita bermasyarakat dan bernegara beberapa tahun terakhir.

Lantas, apa makna praksis Idul Fitri yang bisa diharapkan bersumbangsih positif pada pemecahan beragam krisis dalam kehidupan kita berbangsa?

Idul Fitri adalah juga hari kemenangan. Disebut demikian, karena pada hari itu kaum beriman yang berhasil mengendalikan hawa nafsu, tampil sebagai pemenang dalam pertarungan abadi antara kebaikan dan keburukan dalam dirinya. Itulah yang tercermin dalam ungkapan “wal faizin” yang artinya, semoga kita termasuk orang-orang yang memperoleh kebahagiaan dan kemenangan.

Kemenangan dalam hal ini adalah kemenangan dari sebuah perjuangan besar, yakni perjuangan menaklukan kecenderungan negatif hawa nafsu, yang sesungguhnya merupakan perjuangan paling sulit dilakukan manusia dibanding perjuangan-perjuangan lain, seperti perjuangan fisik.

Makna Idul Fitri sangat penting untuk kita patrikan dalam diri dan kemudian kita aktualisasikan dalam kehidupan nyata yang diliputi oleh berbagai krisis dewasa ini. Kehidupan kita dilanda krisis multidimensi, sejak krisis ekonomi, sosial politik hingga krisis lingkungan dan energi. Krisis-krisis ini sesungguhnya berpangkal pada krisis moral sehingga kemudian menjadi krisis kemanusiaan, yaitu krisis yang disebabkan manusia kehilangan jatidirinya sebagai manusia.

Manusia modern, akibat kesombongan dan keangkuhannya, banyak yang terjerembab ke dalam kenistaan dan kehinaan. Mereka jatuh ke dalam pendewaan diri (individualistic) pendewaan bendawi (materialistic) dan pendewaan birahi (hedonistic). Manusia seperti ini dalam Al-Qur’an disebut sebagai manusia-manusia yang jatuh ke titik nadir kemanusiaan (asfala safilin).

Maka Ramadhan yang baru lewat mengajarkan kita “Imsak,” yang secara harfiah berarti mengendalikan diri, adalah pesan Ramadhan yang paling penting agar kita mampu mengendalikan diri dari segala hal buruk, merusak dan merugikan diri maupun orang lain.

Imsak” secara filosofi mengandung arti, agar kita kaum beriman menjadi orang-orang yang mampu mengatasi masalah mendasar umat manusia, yakni problema ambivalensi diri –problem adanya dua kecenderungan dalam diri kita terhadap kebaikan dan keburukan.

Imsak” dalam hal ini mengajarkan kita agar mampu memenangkan kebaikan atas keburukan, lalu mengembangkan kebaikan itu menjadi keterbaikan untuk diri dan sesama. Inilah yang disebut amal shaleh, yakni suatu perbuatan yang berdimensi kebaikan dan berimplikasi kemaslahatan. Tidak sempurna iman seseorang tanpa melakukan amal, dan tidaklah sempurna amal itu tanpa membawa dampak kebaikan dan kemaslahatan bagi sesama.

Dalam konteks kehidupan kita berbangsa, sejak delapan tahun lalu, kita sebagai bangsa mengalami keterpurukan akibat krisis multidimensi berkepanjangan. Tentu krisis ini menggoyahkan sendi-sendi kehidupan kita berbangsa, bahkan secara relatif merusak citra bangsa di mata internasional.

Bangsa Indonesia yang dikenal religius dan memiliki penganut muslim terbesar di dunia, ternyata juga dikenal sebagai bangsa yang paling korup, produsen ekstasi terbesar di dunia, atau bangsa yang tidak ramah terhadap sesama. Bangsa Indonesia mengalami kegamangan akibat kehilangan pegangan nilai-nilai kebenaran seperti kejujuran, keadilan dan kebersamaan. Ini merupakan tantangan kebudayaan. Bila tidak kita antisipasi sejak dini, tidak mustahil bangsa ini akan semakin terpuruk.

Upaya-upaya menuju arah perbaikan, sekecil apapun itu, merupakan mutiara berharga yang harus terus didorong untuk memperbaiki harkat dan martabat bangsa ini. Umat Islam yang menjadi penduduk mayoritasnya, mengemban tugas ini.

Maka sebagai langkah awal, sudah sepantasnya kita melakukan evaluasi bersama. Untuk melakukan pemetaan terhadap kesalahan, kebodohan, kelalaian di masa lalu untuk hari esok. Langkah kedua, adalah niat untuk melakukan perubahan. Langkah ketiga, adalah melakukan aksi dengan agenda dan sasaran yang telah ditetapkan bagi kepentingan umat.

Pada tataran ini, perubahan mesti diawali dengan perubahan individual menuju perubahan sosial. Demikian juga perubahan struktural (yang terkait erat dengan kebijakan-kebijakan pengelolaan negara), harus lebih dahulu dikedepankan sebelum menggagas perubahan kultural. Langkah selanjutnya adalah, menjalin kebersamaan di antara semua komponen bangsa. Tentu semua ini membutuhkan ikhtiar nyata dan sungguh-sungguh. Dengan kerja keras dan gerak kebudayaan yang sistematis, strategis, konkrit dari semua anak bangsa, Insyallah Indonesia kita akan menjadi lebih baik. *** Wallahu a’lam bi ashowab

Selamat Idul Fitri, Mohon Maaf Lahir Batin.

Jakarta, Minggu malam 29 Oktober 2006


Tanggapan Terhadap Paus Benedictus

Oleh, Buya A. A. Aru Bone


Tuesday, September 19, 2006

Temans, saya hanya ingin mencurahkan keresahan saya dengan menuliskannya di sini. Tapi sebelumnya saya memohon maaf, tidak mempunyai cukup waktu untuk menuliskan hal ini lebih serius, lantaran padatnya kesibukan saya beberapa hari ini.

Jujur saja, saya merasa ngeri membaca reaksi muslim seantero bumi menanggapi kutipan pernyataan Paus Benedictus XIV dalam kuliah umumnya di Universitas Regensburg, Jerman, Selasa pekan lalu.


Dalam pidatonya, Paus mengutip dokumen dari Theodore Khoury tentang sebuah dialog di Angkara, Turki, tahun 1391, antara Kaisar Byzantium Manuel II Paleologus dan seorang intelektual Musilm asal Persia (sekarang Iran-Iraq).


Pernyataan Manuel II yang dikutip Paus itu kira-kira, “Tunjukkan kepadaku apa kabar baru yang dibawa Muhammad, dan kalian akan menjumpai hal-hal yang tidak manusiawi, sebagaimana perintahnya menyebarkan dengan pedang agama yang dipeluknya”. Kutipan inilah yang membangkitkan kemarahan para pemimpin agama dan politik negara-negara muslim.


Hingga akhirnya, Paus sendiri harus muncul dari balkon kamarnya di Kastil Gandolfo, Roma, Italia. Dalam kesempatan itu, beliau kembali menyatakan penyesalannya karena telah mengutip pernyataan tersebut. Selain menegaskan bahwa beliau tidak berniat menghina Islam, Paus juga membuka pintu dialog antar Katolik-Islam.

Reaksi emosional umat dan pemimpin Islam dalam kasus ini, mengingatkan saya pada kasus karikatur Nabi Muhammad di harian Denmark, Jylland Posten.
Seperti yang disampaikan rekan kami Nadhirsyah Hosein Ph.D di mailinglist alumni IAIN/UIN, “Bahwa Paus Benedictus –yang bernama asli Joseph Ratzinger- adalah orang pintar. Beliau adalah profesor Theology. Beliau tentu paham bahwa dalam tradisi akademik, kutipan tidak hanya sekedar kutipan. Tentu ada tujuannya kita mengutip opini orang lain…... Namun saya bisa merasakan nuansa ‘fundamentalis’ dalam pidato Paus dan kutipan tsb sama sekali tidak membantu ummat manusia untuk hidup dalam damai,” demikian kata Nadhir.


Dalam batas-batas tertentu saya sepakat dengan Nadhirsyah. Tapi temans, bagi saya pernyataan yang dikutip Paus, bahwa Islam disebarkan dengan pedang, tidak salah meski tidak dapat dibenarkan.


Semua orang yang mau jujur membaca sejarah perkembangan dan penyebaran Islam setelah wafatnya Baginda Nabi, pasti tidak menyalahkan kutipan Paus tersebut. Meski tidak pula membenarkannya.


Adalah tidak tepat jika pernyataan yang dikutip Paus itu merujuk pada sejumlah peperangan yang dilakukan Nabi Muhammad, lantaran berbagai peperangan itu harus dipahami dalam konteks membela diri dari serangan kaum kafir Mekkah.

Tapi, pernyataan yang dikutip Paus tersebut memiliki pijakan sejarah, terutama sejak Islam dipimpin para al-Khulafa al-Rasyidun, Bani Umayyah, Bani Abbasiyah, terutama pada abad pertama dan kedua hijriah, agama Islam yang pada masa itu menyatu dengan negara (konsep al-Islam hiya al-din wa al-daulah) memang disebarkan keluar Jazirah Arab dengan pedang (baca: kekuatan militer). Invasi besar-besar wilayah kekuasaan kekhilafaan Islam di masa-masa itu, tujuan utamanya adalah untuk menyebarkan ajaran agama Islam.


Saya tidak mempunyai cukup waktu untuk membuka-buka dan merujuk langsung ke sejumlah referensi yang pernah saya pelajari. Karena itu saya memohon maaf, lantaran alasan kesibukan yang sudah saya sebut di atas, saya tidak bisa menyebutkan tahapan invasi itu secara lebih detil.


Tapi saya berusaha memberi gambaran sekilas berdasarkan apa yang masih tersisa di kepala saya. Kita mulai dari kekhalifahan pertama Islam yang dipimpin Abu Bakr as-Shiddiq. Bahwa sejak Nabi meninggalkan, banyak juga kelompok-kelompok tertentu yang murtad atau keluar dari Islam. Diduga kuat, kelompok ini masuk Islam saat Nabi hidup, lantaran alasan keamanan.



Nah, sesaat setelah Nabi wafat, mereka pun meninggalkan Islam, ada juga yang menolak membayar zakat. Oleh Abu Bakar kelompok ini diperangi, dibunuh jika melawan atau diampuni jika kembali memeluk Islam. Lalu pada masa khalifah kedua, Umar Ibn al-Khattab, setelah berhasil menciptakan stabilitas sosial politik di jazirah Arab, Umar segera melakukan invasi besar-besaran ke luar jazirah Saudi Arabia. Umar merebut wilayah Persia (Iraq-Iran), Yaman, Palestina, Damaskus, Mesir, etc.

Pendek kata, dengan kekuatan militernya, pada masa Umar wilayah pemerintahan Islam telah membentang ke semua wilayah yang kini kita kenal dengan sebutan wilayah Timur Tengah. Semua wilayah tersebut, sebelumnya dikuasai oleh kekaisaran Katolik Roma, Bizantium. Dengan alasan politik internal, Umar terbunuh saat memimpin sholat shubuh berjamaah.

Tapi saya langsung melompat, tidak mau membicarakan masa kekhilafaan Usman Ibn Affan dan Ali Ibn Abi Tholib, lantaran pada masa ini tidak ada usaha memperluas wilayah kekuasaan Islam. Di kedua masa kekhalifaan ini, energi lebih banyak digunakan untuk meredam konflik internal dalam dunia Islam saat itu. Sejarah menyebut berbagai perselisihan dan peristiwa berdarah dalam dua masa kekhalifaan ini sebagai al-fitnah al-kubra (fitnah besar).


Kita melompat ke masa kekhalifaan Bani Umawiyah. Kekhalifaan ini terbentuk dengan naiknya sahabat Nabi, Muawiyah Ibn Abi Sofyan ke tumpuk pimpinan kekuasaan. Setelah berhasil menciptakan stabilitas politik, Muawiyah kembali meneruskan usaha memperluas wilayah kekuasaan Islam.


Usaha yang sama diteruskan oleh puteranya, Yazid Ibn Mu’awiyah. Di kepemimpinan Muawiyah dan Yazid, Islam berhasil menguasai Lembah Hindustan (Pakistan-India). Ekspansi Islam juga mulai dilakukan ke Eropa dengan pintu masuknya Spanyol. Kekuatan militer Islam menaklukkan Andalusia dengan perang yang sangat dahsyat. Pasukan luar biasa kuat itu dipimpin seorang panglima hebat bernama Thariq bin Ziyad. Untuk sampai ke daratan Andalusia, armada kapal perang militer muslim menyeberangi sebuah selat yang kini dinamakan Giblaltar. Dari sinilah kontak militer kaum muslimin dengan kekuasaan politik kaum Katholik mulai tercipta.


Pendek kata saya ingin mengatakan, bahwa adalah karena invasi militer seperti yang saya gambarkan sepintas di atas lah, dalam kurun waktu sekitar 85 tahun sejak wafatnya baginda Nabi Muhammad, Islam yang tadinya hanya mencakup Mekkah dan Yastrib (Madinah), berhasil dibentangkan ke seluruh Timur Tengah, Persia, sebagian Afrika, India-Pakistan, hingga pintu masuk Eropa (menguasai Spanyol). Hal ini hanya mungkin dilakukan karena bantuan invasi militer. Dalam konteks inilah saya mengatakan, pernyataan yang dikutip Paus tersebut tidak salah lantaran memiliki pijakan fakta sejarah.

Meski demikian, bagi saya pernyataan Paus tersebut tidak dapat dibenarkan.
Alasan-alasannya, pertama, bahwa memang benar invasi militer yang saya gambarkan di atas itu bertujuan menyebarkan agama Islam. Tapi harus juga segera dilanjutkan, bahwa pada semua wilayah yang baru dikuasainya, kaum muslimin tidak memaksa penduduk lokal (penduduk setempat) memeluk Islam.

Malah para pemimpin muslim mengingatkan dan memerintahkan pasukannya untuk tidak membunuh dan menyakiti fisik, kehormatan, harta-benda, dan kepercayaan penduduk sipil, anak-anak, menghormati wanita, jangan merebut dan membakar tempat tinggal penduduk, tempat-tempat ibadah, bahkan dilarang menebang atau merusak pohon dan tanaman. Semua ini dipatuhi sepenuhnya oleh pasukan muslimin, karena demikian Yang Mulia Baginda Nabi mengajarkan mereka. Semua dicatat dengan baik oleh sejarah, karena demikian ajaran Islam mengajarkannya.

Sekadar contoh, apakah Sri Paus lupa dengan yang dilakukan Khalifah Umar bin Khattab saat Umar dan belasan ribu balatentaranya menginvasi Palestina yang saat itu dikuasasi Bizantium. Umar dan balatentaranya memasuki Yerussalem dengan senjata tersarung, tanpa ada setetes darah penduduk setempat yang tumpah ke bumi, tanpa ada selembar nyawa lepas dari badan, tanpa ada satu pohon tumbang, tanpa kebencian dan bentakan.....

Saat tiba di anak tangga gereja tempat Yesus Kristus (Nabi Isa) lahir, Umar turun dari tunggangannya, ia disambut hangat Uskup Agung setempat.

Saat itu memasuki waktu Sholat Ashar. Kepada Sang Uskup Agung, Umar bertanya di mana tempat yang bisa ia jadikan lokasi sholat. Sang Uskup Agung mempersilahkan Umar Sholat di tangga atas gereja bersejarah yang disakralkan umat Kristiani itu. Mendapat tawaran itu, Umar tersenyum lalu berkata, “Kalau aku melakukan sholat di tempat ini, aku khawatir kaum muslimin sesudah ku akan menjadikan gereja ini sebagai mesjid. Aku tidak ingin itu terjadi...” Mendengar perkataan itu Sang Uskup Agung tertegun, rasa persahabatan dan penghormatannya kepada Sang Khalifah bertambah.

Sesaat kemudian, bersama sejumlah pasukannya Umar membersihkan sepetak tanah yang biasa dijadikan tempat pembuangan sampah yang letaknya tak jauh dari gereja. Setelah membersihkan lokasi itu, ia dan pasukannya melakukan sholat disana.

Pada masa selanjutnya, Khalifah Malik Ibn Marwar (penguasa ketiga Dinasti Umawiyah yang naik ke tumpuk kekuasaan setelah Yazid Ibn Muawiyah) mendirikan Mesjid Bait al-Maqdis atau Mesjid Al-Aqsa. Penyempurnaan pembangunan mesjid ini diteruskan puteranya, Khalifah Khalik Ibn Malik, diantaranya dengan memasang kubah emas di atap mesjid.

Bisakah saudara-saudara ku kaum Kristiani bayangkan, apa yang akan terjadi dengan gereja yang kita muliakan itu jika Klahifah Umar mengikuti saran Uskup Agung untuk sholat disana? Tentu saja gereja tempat lahir Yesus yang sama-sama kita hormati tersebut punah sejak saat itu jika Umar Ibn Khattab menuruti tawaran Sang Uskup Agung.

Poin saya, pernyataan Kaisar Byzantium Manuel II yang dikutip Sri Paus tersebut, saya rasa berangkat dari pemahaman yang tidak utuh terhadap sejarah penyebaran Islam.

Alasan kedua, dalam konteks geopolitik internasional saat ini yang meniscayakan dialog Timur-Barat, Islam-Kristen, pernyataan yang dikutip Paus tersebut sangat kontraproduktif. Kutipan tersebut sama sekali tidak mendorong kedamaian kehidupan antara umat beragama. Sebagai pemimpin tertinggi umat Katholik dunia, hendaknya beliau lebih berhati-hati dalam mengucapkan pernyataan, apalagi jika sangat perpotensi menyinggung umat beragama lain.


Saya memahami jika beliau melakukan kekhilafan yang mungkin juga disebabkan kurangnya informasi yang beliau serap tentang Islam. Kita harus memaafkan, karena demikian yang diajarkan Islam. Lalu hubungan baik yang berlandaskan rasa saling menghormati, harus terus kita tingkatkan antara umat beragama.

Lalu jujur saja, saya tidak sedih dengan pernyataan Paus, tapi saya sedih mencermati reaksi emosional kaum muslimin dan sejumlah pemimpin politik dan keagamaan Islam di berbagai penjuru dunia dalam kasus ini maupun kasus karikatur Nabi Muhammad di harian Denmark, Jylland Posten.


Mengapa setelah Paus akhirnya meminta maaf, sejumlah tokoh muslim masih juga melontarkan ancaman. Diantara yang membuat saya sedih, adalah pernyataan seorang pemimpin muslim Somalia. Sheikh Abubakar Hassan Malin, ulama terpandang di Mogadishu, Somalia.


Dia menyerukan memburu Paus. "Siapapun yang menghina Nabi Muhammad patut dihukum mati," katanya. Dia menambahkan, pernyataan Paus di Jerman itu "barbar." Sejumlah negara seperti Yaman dan Maroko menarik duta besarnya dari Vatikan. Di Nablus, Tepi Barat, Sabtu lalu, dua gereja terbakar akibat ledakan granat. Sekelompok orang yang mengaku "Singa Monoteisme" mengatakan serangan itu reaksi terhadap pernyataan Paus (tempointeraktif.com, Senin, 18 September 2006)

Mengapa bisa seberingas itu? Saya rasa, reaksi emosional kaum muslimin tersebut disebabkan oleh pemahaman keagamaan yang cenderung fundamentalistik, skripturalistik dan tidak utuh. Reaksi seperti ini merupakan pembenaran faktual terhadap pernyataan yang dikutip Paus tersebut.


Kenapa dalam kasus ini, tampak jelas, para pemimpin agama Katolik dunia jauh lebih bijak daripada para pemimpin (keagamaan) muslim. Akan tampak lebih jelas lagi jika Anda membandingkannya dengan reaksi umat dan para pemimpin Katholik terhadap film dan novel The Davinci Code. Lihatlah, bagaimana dewasanya saudara-saudara kita Umat Kristiani menyikapi pandangan keliru tentang agama mereka yang digambarkan dalam novel dan film tersebut.


Bukankah dalam kehidupannya, Baginda Nabi Muhammad telah mencontohkan bagaimana reaksi yang baik menanggapi berbagai tudingan keliru tentang agama ini?
Yang kita hadapi ini tidak ada seujung tahi kukunya dengan yang dihadapi Nabi. Diludahin, dilontarin kotoran unta, mau dibunuh berulangkali, Nabi tersenyum, gampang memberi maaf bahkan sebelum yang bersalah meminta maaf, mendo'akan kebaikan, berbuat baik pada yang salah, menjelaskan dengan cara yang baik. Bukankah Kitab Suci Al-Qur’an yang kita baca tiap hari itu, menuntun kita dengan mengatakan, “Ajaklah ke jalan Tuhan mu dengan kebijaksanaan (hikmah) dan teladan yang baik, (jika mereka berdebat) maka debatlah mereka dengan cara-cara yang baik.”

Anehnya sebagian umat Islam, berteriak membela Tuhan, agama dan Nabi mereka, tapi dengan cara-cara yang dibenci Tuhan, agama dan Nabi mereka. Tampaknya benar, keimanan yang tidak disertai ilmu yang memadai, cenderung membawa kecelakaan dan fanatisme buta. Dalam kasus ini, selain disebabkan pemahaman keislaman yang skriptralistik-fundamentalistik, reaksi emosional tersebut juga disebabkan ketidakmenyeluruhan pemahaman sejarah Islam oleh pemeluknya sendiri.

Sekali lagi saya mohon maaf, jika saya tidak merinci data-data sejarah yang saya sebutkan dalam coretan ini, lantaran saya menuliskan mengalir aja dari kepala saya saat menuliskan ini. Tapi jika ada diantara pembaca yang ingin mengetahui rinciannya, insyallah saya bisa membantu jika ada cukup waktu. Semoga yang sedikit ini bermanfaat ya…. Wallahu a’lam bi ashowab



Salam,
Buya A.A. Aru Bone

Ciputat, Rabu, 19 September 2006, pukul 02.00 dinihari WIB

Belajar Berdemokrasi Dari Sepakbola


Oleh, Buya A. A. Aru Bone

Hingar-bingar pagelaran akbar Piala Dunia 2006 telah usai. Sudah sekitar sebulan kita dihibur para pemain berkelas dunia dari 32 negara peserta dengan aksi-aksi memukau memperebutkan si kulit bundar.

Sepanjang hajat akbar empat tahunan itu, kita mendukung, membanggakan, meneriakan, bahkan mengibarkan bendera negara yang kesebelasannya kita dukung.

Sadar atau tidak, kita telah larut dalam nasionalisme negara yang kesebelasannya kita favoritkan. Ini memang pengakuan pahit bagi sebuah negeri besar dengan penduduk tak kurang dari 230 juta jiwa, tapi tidak memiliki 11 pria yang piawai menggocek si kulit bundar.

Anda tidak perlu berkecil hati, toh kita tidak sendiri. Masih ada sekitar 70-an negara yang kesebelasan sepak bola negerinya bukan peserta Piala Dunia 2006, juga mengalami hal yang sama; tersihir sepak bola.

Selain membangkitkan nasionalisme kebangsaan bagi negeri-negeri peserta, popularitas piala dunia juga telah menembus sekat-sekat nasionalisme yang dirasakan di negeri-negeri yang bukan peserta. Makanya, tak peduli meski kita orang Indonesia, di depan layar televisi, kita berteriak, “Hidup Perancis, Hidup Inggris, Hidup Itali, etc…”

Kini piala dunia sudah usai, bersamaan dengan itu kebanggaan kita terhadap kesebelasan negara-negara lain yang merupakan aktualisasi dari lepasnya sekat-sekat nasionalisme antar bangsa, pun ikut usai.

Setelah ikut larut dalam hingar-bingar piala dunia, sebagai bangsa yang sampai kini hanya kuasa bermimpi kesebelasan sepak bolanya merumput di laga piala dunia, paling tidak kita semestinya bisa untuk mengambil satu-dua pelajaran berharga dari pesta sejagat empat tahunan itu.

Dalam konteks Indonesia sebagai negara multikultural yang menapaki transisi demokratisasi, selain mengajarkan tentang supremasi hukum yang tercermin dalam makna fair play di lapangan hijau, sepak bola juga mengajarkan penghargaan terhadap pluralisme. Dua faktor ini; supremasi hukum dan pluralisme merupakan prasyarat utama terbentuknya civil society yang merupakan rumah bagi demokrasi.

Tanpa membedakan warna kulit, suku-bangsa, stratifikasi sosial, sepak bola menuntut fair play yang meniscayakan setiap kesebelasan, setiap pemain, tunduk dan patuh pada satu peraturan yang sama tanpa ada diskriminasi. Sang wasit sebagai penegak peraturan, dituntut untuk tak segan-segan bertindak tegas meniupkan peluit lalu memberikan sanksi, jika ada pemain yang melanggar peraturan.

Tak peduli pemain bintang atau bukan, dari negara maju atau terbelakang, seberapa pun besar tekanan dan penolakan penonton, hukum harus tetap ditegakan jika ada pemain yang melakukan pelanggaran. Komitmen untuk sama-sama menegakan peraturan bukan hanya dituntut dari seorang wasit, tapi juga terhadap semua pemain dan pihak-pihak yang terlibat walau berada di luar lapangan hijau, seperti penonton, official, etc. Kesadaran semua pihak atas komitmen ini, diperlukan bagi terciptanya supremasi hukum demi terwujudnya fair play.

Sementara dalam lingkup peran pemain dalam masing-masing kesebelasan, sepak bola mengajarkan penghargaan terhadap pluralisme demi terwujudnya tujuan bersama. Penghargaan terhadap pluralisme memang meniscayakan anti-diskriminasi dan penghargaan terhadap tiap-tiap individu.

Tampaknya sulit dibantah, bahwa hanya dalam sepak bola-lah, integritas individu benar-benar dihargai sesuai fungsi, kontribusi dan perannya dalam tim. Karena itu dalam sepak bola, sebuah tim dibentuk dengan mempertimbangkan keahlian dan kemampuan individu.

Karena itulah, seorang keturunan Arab-Aljazair bernama Zinedine Zidane dipilih sebagai pengatur serangan yang merupakan tulang-punggung tim Perancis. Besarnya porsi yang diberikan bagi Zidan dalam tim, bukan jalan tanpa kerikil. Di tahun 1998, bangsa Perancis yang bule mengeluhkan banyaknya imigran asal negara-negara Islam di negerinya. Bahkan pada awal tahun ini kerusuhan massal imigran asing sempat marak di berbagai kota di Prancis.

Tapi karena memang tim sepak bola dibentuk dengan mempertimbangkan keahlian dan kemampuan individu, maka figur-figur sentral dalam Tim Ayam Jago itu pun diisi para imigran. Sosok seperti Zizou –sapaan Zidan-, Thierry Henry, Patrick Vieira, merupakan para imigran atau keturunan imigran yang membawa Les Bleus memenangi Piala Dunia 1998 dan finalis Piala Dunia 2006.

Para imigran yang merupakan kelompok sosial minoritas itu telah menghadiahkan kebanggaan bagi negerinya. Saat berada di lapangan hijau, mereka berusaha memberikan yang terbaik bagi negerinya, seakan tak peduli jika kaumnya masih saja dipandang sebagai masyarakat kelas kedua.

Bagi saya, Perancis nomer satu. Saya hidup untuk negeri saya, begitu juga semua orang di Perancis. Jadi saya harus melakukan yang terbaik untuk negeri saya. Kami ingin Perancis kembali juara,” begitu kata Zidan dalam konferensi pers menjelang partai final melawan Itali.
Kita juga pernah mendengar Shoe Hok Gie, Liem Swie King, Kwik Kian Gie, bicara seperti itu. “Saya harus melakukan yang terbaik untuk negeri saya…!”

Sebentar lagi, insya Allah, kita juga akan mendengar Jaffar Umar Thalib, Habib Rizieq, juga Abu Bakar Ba’asyir, bicara lantang: “Bagi saya, Indonesia nomer satu. Saya hidup untuk negeri saya, begitu juga semua orang di Indonesia. Jadi saya harus melakukan yang terbaik untuk negeri saya. Kami ingin Indonesia bebas dari korupsi, menjadi sebuah negeri tanpa rasa ngeri, karena tak ada lagi penindasan terhadap rakyat kecil….!”

Ya, kita semua harus berkomitmen mewujudkan Indonesia yang menegakan supremasi hukum tanpa kompromi, sebagaimana yang diajarkan sepakbola dengan fair play-nya. Secara simultan, juga mewujudkan penghargaan terhadap pluralisme dalam segala bentuknya. Karena dua hal ini, kita butuhkan sebagai prasyarat bagi kesuksesan Indonesia kita dalam menapaki tangga transisi demokrasi dan terwujudnya civil society.
Eh, ngomong-ngomong, kapan ya Indonesia bisa ikut piala dunia…..?

Salam, ditulis sehari setelah pertandingan final Piala Dunia 2006.

Ujian Nasional Itu....

Oleh, Buya A. A. Aru Bone


Rabu siang, sekitar 50 siswa berseragam putih abu-abu menggelar education expo bertajuk “We Are Not Stupid” di halaman Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Jakarta. Mereka adalah adik-adik kita yang divonis gagal oleh sistem pendidikan negara dalam Ujian Nasional (UN) lalu.

Selain berorasi menyampaikan pendapat, para siswa itu memamerkan piala dan berbagai piagam penghargaan tingkat wilayah dan nasional dalam beragam perlombaan keterampilan dan ilmu pengetahuan yang pernah mereka ikuti.

Tidak sampai disitu, sebagian ada yang memperlihatkan nilai-nilai rapor membanggakan yang diperoleh sejak SD, SMP, hingga jenjang SMU, kepada sejumlah pengunjung.

Tampak ekspresi bangga di wajah mereka mempertontonkan semua itu. Salah seorang siswa bertanya kepada saya dengan mata berkaca-kaca setelah memperlihatkan nilai-nilai rapornya, “Dengan semua nilai-nilai ini Kak, apa iya saya bodoh?”

Saya tidak kuasa menahan haru saat itu, tapi saya juga tak ingin menangis mendengar pertanyaan yang bagi saya, merupakan gugatan terhadap sebuah sistem yang tidak adil.

Sebisa mungkin saya membesarkan hatinya. Bukan untuk menghibur, bukan. Tapi memang saya mengakui, dia adalah siswa berprestasi. Mereka yang kemarin siang berkumpul untuk mempertontonkan prestasinya, adalah para siswa berprestasi yang dikorbankan oleh sistem yang tidak adil. Mereka bergabung dalam Gerakan Siswa Bersatu. Bersatu memperjuangkan hak mereka yang direnggut oleh sistem negara.

Dalam salah satu orasi, seorang siswa bernama Reza Indrianto (dia bukan yg gagal UN. Dia lulus tapi ikut aksi karena solidaritas dengan teman2nya) berteriak lantang menggunakan pengeras suara, “Kami sengaja memamerkan semua prestasi ini, untuk memberitahukan kepada Pak Wapres, bahwa kami bukan siswa pemalas! Kami bukan siswa bodoh! Kami bukan siswa malas belajar!”

Melihat mereka, saya teringat adik saya, Fachruddin Razi Aru Bone, alumnus STM Negeri Ende, Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT). Dia juga pernah menjadi korban ketidakadilan sistem pendidikan kita. Divonis tidak lulus hanya karena meninggalkan bangku sekolah selama tiga minggu DENGAN KETERANGAN harus menemani Ibu yang dirawat di rumah sakit seusai operasi.

Padahal pada tiga mata pelajaran; fisika, matematika dan kimia, nilainya adalah yang tertinggi se-Provinsi Nusa Tenggara Timur. Sistem presentasi kehadiran di kelas atau absensi yang diterapkan membabi-buta, telah mengagalkan kelulusannya.

Dia hampir putus asa saat itu, tidak mau kembali ke bangku sekolah karena tak kuasa menanggung malu.

Saya harus pulang kampung hanya untuk memotivasi dia. Alhamdulillah hasilnya seperti yang kami harapkan. Pada tahun berikutnya, dia lulus dengan predikat lulusan terbaik dan tetap mendapat nilai tertinggi se-provinsi untuk mata pelajaran fisika, matematika dan kimia. Dia diterima sebagai mahasiswa Jurusan Fisika di UGM Jogya melalui jalur UMPTN.

Anda tahu? Diantara ke-50 siswa berprestasi yang hadir di halaman YLBHI kemarin siang, diantaranya ada yang telah diterima pada sejumlah universitas bergensi, seperti UI, UGM, Unbraw Malang, etc, melalui jalur PMDK. Bahkan, seorang adik manis bernama Melati, siswi SMA 6 Blok M Jakarta, sudah mendapatkan scholarship dan diterima pada salah satu universitas di dua negara secara bersamaan: Australia dan Jerman.

Lantas, apakah adil jika Pak Wapres Muhammad Jusuf Kalla ngotot agar Ujian Nasional ulangan tidak perlu dilaksanakan yang berarti mengorbankan masa depan mereka. Bahkan, dia menekan Mendiknas dan para anggota DPR asal fraksi-fraksi pendukung Koalisi Kerakyatan yang mendesak pemerintah melaksanakan UN ulangan (demikian pengakuan Kalla saat bertemu para pimpinan media massa di Istana Wapres, seperti yang dilaporkan Liputan6 SCTV beberapa waktu lalu)

Kalau ada anggota DPR yang ngomong keras agar UN ulangan dilakukan, saya langsung telpon ketua fraksinya supaya diurus anak buahnya itu. Ini memang pil pahit. Tapi hasilnya kita akan lihat beberapa generasi mendatang,” itu kata Kalla -saya ingat persis pernyataan itu-

Lha, lantas bagaimana dengan nasib adik-adik kita yang gagal itu!? Apakah mereka menjadi kelinci percobaan dari sebuah sistem negara!? Kasarnya, apakah mereka dikorbankan untuk cita-cita masa depan yang diangankan Kalla itu!?

Padahal, seperti yang dikatakan kuasa hukum para siswa, Gatot, pemerintah telah melakukan beberapa kesalahan dalam pelaksanaan UN. “Kita punya UU Sisdiknas dan PP 19/2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Dalam standar pendidikan tersebut, pasal 72 ayat (1) menyebutkan ada empat kriteria bagi siswa untuk dinyatakan lulus,” kata Gatot.

Kriteria yang dimaksud Gatot antara lain: siswa mengikuti program belajar, memperoleh nilai di beberapa mata pelajaran (ketrampilan, kewarganegaraan, dan lain sebagainya), lulus ujian sekolah, dan lulus UN. Nah, keempat ini menjadi akumulasi penilaian. Bukan hanya satu atau tiga mata pelajaran dalam UN. Pada pelaksanaanya, pemerintah telah melakukan kesalahan dengan menetapkan kelulusan tanpa akumulasi penilaian dari guru.

Saya juga mau tambahkan, bahwa UU Sisdiknas menyebutkan, UN ulangan adalah hak para siswa. Pada Pasal 66 ayat 3 mengatakan, ujian nasional diadakan sekurang-kurangnya satu kali dan sebanyak-banyaknya dua kali dalam satu tahun, dalam satu tahun pelajaran. Sedangkan pasal 69 ayat 1 menyatakan setiap peserta didik jalur pendidikan dasar dan menengah dan pendidikan jalur non formal kesetaraan berhak mengikuti UN dan berhak mengulanginya sepanjang sebelum dinyatakan lulus. Kalla dan Menteri Pendidikan Bambang Sudibyo telah berulangkali mengatakan, para siswa setingkat SLTA/SMU/Aliyah/STM atau SLTP/Tsanawiyah yang gagal UN itu bisa mengikuti ujian paket C.

Lha, bagi saya paket C itu merupakan penghinaan terhadap kemampuan akademik adik-adik kita yang gagal UN, karena mengkuti ujian paket C lantaran gagal UN, adalah dekadensi pendidikan formal bagi para siswa itu.

Lantas kenapa Pemerintah tidak melakukan UN ulangan? Padahal itu amanat UU Sisdiknas dan PP nomor 19/2005. Padahal dana Rp25 miliar untuk pelaksanaan UN ulangan telah disepakati antara Depdiknas dan Komisi X DPR.

Para siswa yang gagal UN itu paham, jika mereka merupakan pihak yang dikorbankan untuk mewujudkan mimpi penguasa.

Makanya mereka menyanyikan lagu Ratu yang dipelesetkan menjadi, “UN, buaya darat. Busyet…aku tertipu lagi. Mulutnya, manis sekali. Tapi, hati bagai srigala. Oh..oh..uye..ye…”

Mahasiswa Mending Pake Konde

Diterbitkan Harian Rakyat merdeka, Kamis 6 November 2003/ 11 Ramadhan 1424H

Oleh: Buya A. A. Aru Bone

Mahasiswa sering disebut agen perubahan (agent of social Change) karena potensi intelektual yang dimiliki untuk melakukan perubahan. Namun, kekecewaan yang terus menerus diberikan oleh kondisi politik sekarang, seperti telah membangun kokoh rasa antipati mahasiswa terhadap kehidupan politik yang ada.

Mahasiswa adalah ujung tombak perubahan. Kalimat itu selalu menjadi kebenaran atas kesaksian rakyat dalam melihat evolusi maupun revolusi zaman. Di berbagai belahan dunia, komposisi mahasiswa selalu menjadi penting dalam setiap pergerakan politik.

Di Indonesia, mahasiswa terus menunjukkan giginya sebagai wakil tulus suara arus bawah. Menuju tahun 2004 nanti, posisi mahasiswa menjadi krusial sebagai “pengeras suara” seluruh anak negeri. Dimanakah gerakan mahasiswa dalam konstalasi politik sekarang?

Dari dulu, mahasiswa sudah berperan dalam sejarah sosial Eropa sejak universitas di Bologna, Paris, dan Oxford pada abad 12 dan abad 13 didirikan. Sejak saat itulah lahir apa yang kemudian dikenal sebagai International Stunents Day. Dari sanalah rekognisi dan apresiasi terhadap perjuangan mahasiswa terus mendapatkan anggukan setuju dari rakyat yang tak berdaya.

Di Indonesia, mahasiswa sering disebut sebagai agen perubahan alias agent of social change karena potensi intelektual yang dimiliki untuk melakukan perubahan. Namun, kekecewaan yang terus menerus diberikan oleh kondisi politik sekarang, sepertinya telah membangun kokoh rasa antipati mahasiswa terhadap kehidupan dan pelaku politik (di pemerintahan).

Sedangkan, tanpa peran serta mereka di pemilu 2004 yang notabene agenda politik negara terpenting tahun depan, sebenarnya akan membuat Ibu Pertiwi dalam bahaya. Karena itu berarti, mahasiswa tidak lagi menjadi pandu bagi Ibunya. Sehingga kata “tersesat” akan menjadi bahaya yang menunggu. Jangan sampai trauma politik praktis politisi kotor justru menghambat pergerakan sesungguhnya. Pengawasan dan pemilihan parpol yang teruji keberpihakannya pada rakyat harus ditemukan dan dijaga!

Kita tinjau kembali ketika mahasiswa dan kaum intelektual di Portugal ketika melancarkan perjuangan menentang diktator Antonio Salazar. Rezim Salazar adalah musuh utama mahasiswa. Begitu pula pergolakan mahasiswa yang pernah terjadi di Amerika Latin, Eropa, Paris, Jerman dan seterusnya, yakni di bawah kekuasaan yang tak bernurani.

Dulu, bagi para mahasiswa yang hidup pada zaman revolusioner, di saat rakyat yang tertindas dan terkukung oleh kolonialisme, feodalisme, imperialisme dan kediktatoran, mereka berontak, bergolak dan terus melawan.

Oleh karena itu, sebagai mahasiswa yang terus melanjutkan tugas idiologis dari generasi sebelumnya, harus terus berjuang demi kepentingan rakyat! Era teknologi informasi yang merubuhkan dinding rahasia kekuasaan harus digunakan sebagai landasan perjuangan dan dilaksanakan dalam kerangka yang konstitusional.

Perang informasi, perebutan pengaruh, dan pembangunan citra, dalam menyambut Pemilu langsung 2004 nanti haruslah dimenangkan oleh mereka yang sejatinya berjuang demi kemajuan bangsa Indonesia. Mengapa? Karena, pada pemilu besok, status-quois akan berusaha mempertahankan komposisi 80:20, miskin:kaya yang selama ini ada. Sehingga tidak bisa tidak, mahasiswa harus ikut langsung terjun dan memastikan bahwa parpol yang tidak memihak rakyat harus dikalahkan.

Bahwa politik adalah masalah yang terlalu penting untuk diserahkan kepada politisi semata. Ungkapan ini sama artinya, pemilu dan partisipasi mahasiswa mempunyai hubungan yang tinggi dan vital, mereka harus saling menjaga.

Jangan sampai pemilu dimanipulasi oleh segelintir orang. Perlawanan ekstra parlementer maupun sesuai konstitusi (ikut pemilu) sebaiknya dijalankan secara pararel. Akhirnya, Shakespears pun berujar: ”Sekali lagi lawan, kita maju bersama!”. Kalau tidak, pake konde saja!*** Wallahu a’lam bi ashowab

Pengetahuan: Antara Indera, Akal dan Wahyu


Oleh, Buya A. A. Aru Bone*


Ini artikel pertama ku yang diterbitkan media cetak, saat itu aku mahasiswa S1 duduk di Semester III.

Diterbitkan Harian Pelita, Jum’at, 1 oktober 1999 & Sabtu, 2 Oktober 1999


Pengetahuan merupakan satu nilai yang digunakan oleh Allah SWT (baca: manusia) untuk menempatkan seseorang (baca:bangsa) dalam suatu kedudukan atau derajat yang lebih tinggi dari orang (bangsa) yang lain. Di dalam Al-Qur’an, Allah SWT memberikan penjelasan tentang hal ini di sebuah ayat yang artinya, “Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui? Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran” (Qs.39 ayat 9).

Pengetahuan pada hakekatnya bersumber pada Allah SWT, seperti yang diisyaratkan Allah ta’ala di dalam Al-Qur’an yang artinya, “Dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit” (Al-Isra.85). Namun, bila dijabarkan lebih lanjut, pengetahuan itu diberikan kepada manusia lewat proses dengan melalui tiga sarana atau sumber perantara. Seperti yang dijelaskan oleh DR.Yusuf Qardlowi di dalam bukunya Al-Sunnah: masdaran li al-ma’rifah wa Al-Hadharah, bahwa dalam pandangan kaum penganut filsafat materialisme, sumber ilmu pengetahuan adalah hal-hal materi yang hanya bias ditangkap oleh pancaindra dan masalah-masalah rasional yang eksistensinya bisa dilogikakan oleh akal. Mereka tidak mempercayai sumber lain selain kedua sumber di atas.

Bagi umat Islam, kita mempercayai kedua sumber di atas, percaya bahwa pancaindra merupakan anugrah Allah ta’ala, keduanya merupakan wahana penting untuk memperoleh pengetahuan, kita pun mampu memahami fenomena, rahasia-rahasia alam. Dan dengan keduanya, kita jadi sempurna dalam menjalankan tugas kita sebagai khalifah. Bahkan hukum dan fenomena alam, oleh Islam dianggap sebagai bukti yang paling kokoh untuk menjelaskan kekuasaan Allah ta’ala.

Banyak ayat Al-Qur’an yang menerangkan tentang itu, diantaranya ayat yang artinya sebagai berikut: “Mengapa kamu kafir kepada Allah, padahal kamu tadinya mati, lalu Allah menghidupkan kamu, kemudian kamu dimatikan, lalu dihidupkan kembali, dan kepada-Nya-lah kamu dikembalikan (28). Dialah Allah yang menjadikan segala yang ada di bumi ini untuk kamu, dan ia berkehendak menuju langit, lalu dijadikanya tujuh langit dan dia mengetahui segala sesuatu (29)” (Qs Al-Baqarah)

Akal dan pancaindra merupakan wahana terpenting. Dengan keduanyalah, manusia dapat menjelaskan tugas kekhalifahan di muka bumi ini, untuk membentuk peradaban dan melaksanakan tugas-tugas kekhalifahan lainnya, sebagaimana yang diharapkan oleh Allah SWT. Dan keunggulan Nabi Adam, bapak umat manusia atas para malaikat dan makhluk Allah yang lain, tampak pada kelebihan Nabi Adam dalam ilmu pengetahuan, sehingga beliau menduduki derajat sebagai khalifah Allah di bumi ini. Oleh Allah SWT, Adam diajarkan berbagai nama materi, yang tidak Allah ajarkan kepada para malaikat dan iblis, dengan kelebihannya itu, Allah perintahkan kepada malaikat dan iblis untuk bersujud kepada Adam, sebagai bentuk penghormatan terhadap Nabi Adam (Qs. 2, ayat 30-34).

Bagaimanapun, sebagai umat beriman umat Islam percaya terhadap kedua sumber tersebut, yaitu pancaindera dan akal. Namun kitapun percaya, bahwa selain kedua sumber tersebut, ada hal yang ketiga, yaitu wahyu ilahi. Dengan kata lain, pengetahuan bagi kita umat Islam tidak hanya terbatas pada permasalahan-permasalahan yang dapat dirasionalisasikan dengan akal dan sesuatu yang dapat ditangkap oleh indra manusia, atau sesuatu yang bersifat materi, tetapi segala sesuatu yang metafisik atau immaterial, bagi umat Islam itu juga merupakan ilmu.

Permasalahannya sekarang, sampai sejauh mana masing-masing sumber tersebut dapat atau mampu memberikan informasi kepada kita, dan dalam batas-bats yang bagaimana indera, akal, dan wahyu memainkan perannya dalam menelaah atau menelusuri suatu hal.

DR. Yusuf al Qardlawi menerangkan, bahwa kemampuani indera sangat terbatas. Seperti indera yang terkuat sekalipun, yaitu penglihatan, terkadang kita melihat benda yang bergerak tapi seakan diam, melihat fatamorgana di kejauhan dikira air, melihat benda yang besar karena terlalu jauh sehingga terlihat kecil, kita tidak mampu melihat sesuatu yang dibatasi oleh tembok, begitu pula dengan indera-indera yang lainnya, kita sering salah dengar atau kurang jelas pendengaran kita, semua itu menunjukkan sangat terbatasnya kemampuan panca indera kita. karena keterbatasannya itulah, pancaindera kita hanya mampu memberikan informasi atau pengetahuan dalam jumlah yang sangat terbatas, jika dibandingkan dengan banyak dan luasnya ilmu pengetahuan, itupun hanya terbatas pada hal-hal yang bersifat materi, yang berada tidak jauh dari kita, selebihnya panca indera tidak bias berbuat apa-apa.


Apalagi menyangkut informasi dan pengetahuan tentang hal-hal yang ghaib atau metafisika, panca indera hanya seperti bayi kecil di gelapnya malam yang tidak sadar dan tidak tahu berada di mana dan harus bagaiman. Karena itu, lalu Allah menganugrahkan akal pada manusia.

Akal manusia merupakan anugrah yang istimewa dari Allah. Karena dengan akal, manusia mampu berpikir dan berbuat, untuk hidup dan kehidupannya sebagai khalifah Allah di muka bumi ini, seperti telah kami jelaskan sebelumnya. Namun timbul perbedaan pendapat, khususnya yang terjadi pada para ahli Kalam (Teologi Filosofis), tentang sampai dimana kemampuan akal manusia dalam menelusuri, menelaah suatu pengetahuan.

Para ahli Kalam tidak berbeda pendapat, bahwa akal mampu memahami semua permasalahan dan pengetahun yang bersifat materi dan yang dapat diidentifikasi oleh panca indera. Tetapi perbedaan pendapat terjadi, ketika membahas apakah akal manusia mampu memahami hakikat dari sesuatu, dan mampu mengetahui tentang pengetahuan yang ghaib atau metafisika?


Kelompok pertama berpendapat, akal manusia mampu mengetahui sesuatu yang bersifat metafisik. Pendapat ini dipakai oleh kaum Mu’tazillah yang dipelopori oleh Wasil Ibn Ata’ dan Amr ibn Ubaid ibn Bab, golongan ini sering disebut sebagai golongan rasional dalam Islam, atau kaum rasionalis, bagi golongan Mu’tazillah segala pengetahun dapat diperoleh dengan perantaraan akal, termasuk mengetahui Tuhan, hal-hal ghaib, begitupun mengetahui kewajiban terhadap Tuhan, dapat diketahui oleh akal dengan perenungan dan pemikiran mendalam. Dengan demikian, kata Mu’tazilah, berterimakasihlah atau bersyukur kepada Tuhan sebelum turunnya wahyu, adalah wajib hukumnya.

Lebih jelasnya, almarhum Prof DR Harun Nasution di dalam bukunya Teologi Islam, Aliran-aliran Sejarah dan Analisa Perbandingan menjelaskan, konsepsi yang dapat dipakai untuk menerangkan tentang pendapat yang mengatakan bahwa akal manusia dapat mengetahui Tuhan dan permasalahan-permasalahan metafisik adalah, Tuhan berdiri di puncak alam wujud dan manusia di bawahnya berusaha semaksimal mungkin dengan akalnya untuk sampai kepada Tuhan. Lalu Tuhan sendiri dengan belas kasihannya kepada manusia, menolong manusia dengan wahyu melalui rasul-rasulnya. Dengan kata lain, wahyu lahir sebagai justifikasi dari usaha akal manusia memahami Tuhan. Yang menjadi persoalan selanjutnya adalah, sampai mana akal manusia dapat mencapai Tuhan dan mengetahui kewajiban-kewajiban terhadap Tuhan?


Persoalan ini dijelaskan oleh Al Syahrastani bahwa kewajiban mengetahui Tuhan dan kewajiban terhadap Tuhan dapat diketahui oleh akal, sudah barang tentu sebelum mengetahui sesuatu adalah wajib, orang harus mengetahui hakekat sesuatu itu sendiri. Tegasnya, sebelum mengetahui perintah Tuhan, berterimakasih pada-Nya, baik dan buruk, orang harus terlebih dahulu mengetahui hakekat Tuhan dan mengetahui hakikat baik dan buruk.


Kelompok kedua mengatakan, bahwa akal manusia hanya mampu memahami sesuatu yang dapat diidentifikasi oleh pancaindra dan sesuatu yang dapat dirasionalisasikan oleh akal, sedangkan pengetahuan-pengetahuan ghaib, tidak dapat diketahui, kecuali melalui informasi yang diberikan oleh Allah ta’ala melalui wahyu-wahyu yang diberikan kepada para rasul. Pendapat ini dimotori kelompok Al-Asy’ariyah, yang dipelopori oleh ‘Ali ibn Muhammad Al-Asy’ari, beliau lahir di Basrah 873 M dan wafat di Bagdad 935 M.

Aliran Al-Asy’ariyah menentang pendapat yang disampaikan oleh aliran Mu’tazillah. Diantaranya untuk mengetahui Tuhan, tidak bisa hanya mengandalkan akal, karena akal manusia tidak luput dari sifat salah dan keliru, dan tidak mungkin bagi manusia yang berbentuk materi, untuk memahami hakikat Tuhan yang bersifat immateri, hanya mengandalkan potensi yang ada pada dirinya, demikian juga mengetahui kewajiban-kewajiban manusia kepada Tuhan, dan informasi-informasi tentang hal-hal ghaib lainnya. Aliran Al-Asy’ariyah mengatakan, kalau untuk memahami hal-hal yang dapat dirasakn oleh panca indera dan dapat dirasionalisasikan oleh akal saja, manusia sudah sering salah dan keliru, apalagi untuk memahami hal-hal yang metafisik atau ghaib, tentu potensi untuk salah dan keliru akan lebih besar lagi.

Konsepsi yang digunakan oleh DR Yusuf Al Qardlawi setidaknya dapat menerangkan pendapat aliran Al Asy’ariyah ini. Beliau menulis bahwa Allah menciptakan bagi manusia, satu potensi lebih tinggi dari potensi yang lain. Allah menciptakan panca indera, namun kemampuan panca indera hanya terbatas pada hal-hal yang materi, itupun hanya terbatas pada hal-hal yang berada di sekitarnya. Selebih dari itu panca indera tidak mampu berbuat banyak. Karenanya Allah ta’ala menciptakan akal bagi manusia, agar apa yang telah diterima dari panca indera dapat dikaji, ditelaah dan diuji kebenarannya oleh akal. Dengan akal manusia juga memperoleh pengetahuan-pengetahuan lain, yang tidak dapat digapai oleh panca indera, sehingga dengan hadirnya akal ini pengetahuannya bertambah.


Akan tetapi akalpun tak lepas dari ketidaksempurnaan. Seringkali apa yang dipikirkan oleh akal dan diyakini kebenarannya saat ini, pada masa yang lain hal itu terbukti salah. Yang menarik sekali, yang membuktikan kesalahan dan kekeliruan akal itu, adalah akal itu sendiri.


Kemampuan indera dan akal sangat terbatas pada pengetahuan-pengetahuan yang rasional dan dapat dirasakan oleh indera, lebih dari itu akal dan indera tidak mampu. Demikianpun dengan pengetahuan-pengetahuan yang ghaib, memasuki wilayah ini, akal ibarat tamu yang memasuki sebuah rumah, tamu yang tahu awal sebuah perjalanan tanpa tahu kemana perjalanan itu akan berakhir. Karena itu seperti yang dikatakan oleh Syeikh Muhammad Abdul (Khazanah Intelektual Muslim, Nurcholish Madjid. Tulisan Abduh, Risalah Tentang Tauhid), akal membutuhkan pembimbing yang mengarahkannya ke arah yang benar. Kehadiran wahyu memberikan perannya dalam hal ini.


Demikian yang dikemukakan oleh aliran Al-Asy’ariyah, tidak sependapat dengan aliran Mu’tazillah. Karena itu aliran Al-Asy’riyah mengatakan bahwa pengetahuan tentang hal-hal ghaib hanya dapat diketahui melalui wahyu ilahi.


Karena definisi wahyu secara terminologis dan etimologis beraneka ragam, maka yang dimaksud disini adalah pengertian terminologi, yang berarti wahyu Al-Qur’an yang diturunkan kepada Rasulullah SAW. Secara singkat dan global, wahyu Al-Qur’an memberikan informasi-informasi tentang perkara ghaib, seperti tentang Allah ta’ala, surga dan neraka, kewajiban beribadah kepada Allah ta’ala dalam segala hal, baik ibadah yang bersifat ritual keagamaan atau ibadah dalm semua bentuk aktifitas manusia yang bermanfaat buat dirinya dan lingkunganya, tuntutan untuk memperoleh kebahagiaan dalam kehidupan dunia dan kehidupan akhirat, kisah umat-umat masa lau agar dijadikan pelajaran bagi umat-umat sesudahnya, Al-Qur’an juga menerangkan tentang fenomena-fenomena alam secara global dan singkat pada manusia, dan beberapa fenomena yang disebutkan oleh Al-Qur’an dibuktikan kebenarannya kemudian oleh akal manusia.

Ini hanyalah sekedar penjelasan yang ingin disampaikan, bahwa bagi kita umat Islam, akal, indera dan wahyu merupakan sumber perantara atau wahana bagi kita untuk memperoleh pengetahuan. Ketiganya tidak mungkin saling bertentangan, karena pada hakikatnya ketiganya berasal dari Allah ta’ala. Kalaupun sementara seakan tidak saling sesuai, kita kembali kepada sebuah prinsip awal, bahwa kebenaran tertinggi adalah wahyu Allah, sedangkan indera dan akal hanya dapat memberikan kebenaran yang bersifat relatif dan temporal. Untuk ini kita hanya memakai logika sederhana, bahwa indera sering memperlihatkan kepada kita keterbatasannya. Demikian pula akal, telah banyak terbukti apa yang saat ini oleh akal dianggap benar, pada saat yang sama atau saat yang berlainan, akal pula yang membuktikan kesalahannya. Sedangkan wahyu Al-Qur’an sampai saat ini dan selamanya, kebenarannya tidak akan terbantahkan. Wallahu a’lam bi ashowab

* Mahasiswa IAIN (sekarang UIN) Syarif Hidayatulah (Identitas disesuaikan saat artikel ini pertama kali terbit)

Agar Islam Politik Tak Terpinggirkan

Wacanapublika

Diterbitkan Harian Republika, Minggu, 6 juni 1999

Rasanya merupakan hal yang wajar bila umat Islam menguasai Senayan, lantaran mayoritas pemilih adalah umat Islam. Dalam tataran etika dan insting politik, karena mayoritas pemilih dan penduduk adalah umat Islam, maka apa pun partainya, rasanya ada kewajiban untuk menentukan calegnya mayoritas adalah umat Islam, agar aspirasi masyarakat yang mayoritas itu benar-benar diperjuangkan dengan sungguh-sungguh.

Hal lain yang sangat esensial dan harus juga disadari oleh umat Islam bahwa karena suaranya adalah mayoritas, maka sangat menentukan arah bangsa; dan dengan memilih partainya yang calegnya didominasi oleh non-muslim, sama halnya dengan mengembalikan keadaan umat Islam seperti pada era Soekarno dan di era Soeharto tahun delapan puluhan, di mana umat Islam dipinggirkan, padahal waktu itu senayan didominasi oleh umat Islam, lalu apa jadinya nasib umat Islam bila Senayan didominasi oleh non-Muslim?

Bahaya yang tak kalah serunya adalah bila Senayan didominasi oleh non-Muslim atau tokoh-tokoh yang loyalitasnya kepada isu-isu Islam masih diragukan, adalah lahirnya sekularisme. Indonesia dikhawatirkan seperti Turki: penduduk mayoritasnya umat Islam, tapi Islam tidak diberi tempat dalam pemerintahan, karena agama dipisahkan dari masalah keduniawian.

Lahirlah pandangan seperti yang dianut Barat, bahwa Negara hanya akan maju bila dipisahkan dari agama. Dengan kata lain, agama dianggap sebagai penghambat untuk maju. Sejarah mencatat bahwa Barat maju pesat dengan berpendirian seperti itu. Namun ‘kan terjadi hal yang sebaliknya, bila umat Islam berpandangan sama seperti itu. Hal ini disebabkan faktor intern, bahwa doktrin Islam tidak sama dengan doktrin Barat (Kristen). Seperti yang dikatakan Muhammad Abduh (1859-1905)- seorang pembaharu pemikiran Islam modern-, bahwa Barat dapat maju karena meninggalkan agamanya, tetapi kita (umat Islam) akan maju kalau kita berpegang teguh pada ajaran agama kita.

Karena itu, agar kita tidak terjebak pada sekulerisme dan umat Islam tidak terpinggirkan untuk kesekian kalinya, ada baiknya umat Islam mencermati daftar caleg, dan sebesar apa loyalitas mereka terhadap perjuangan Islam, juga seberapa banyak kuantitasnya, apakah sudah proporsional sesuai dengan jumlah umat Islam yang mayoritas itu atau belum.

Hal ini penting, agar suara yang diberikan umat Islam itu tidak menjadi boomerang bagi dirinya sendiri. Hingga nanti kita tidak menyesal di belakang hari dengan menjadi “simpatisan buta” hanya karena ketua partainya kharismatik dan beragama Islam, tapi loyalitasnya pada Islam masih diragukan. Ditambah lagi pengurus partainya didominasi oleh non-Muslim. Dengan memilih partai politik yang seperti itu, tidak tertutup kemungkinan suara kita akan menjadi boomerang bagi kita. Wallahu a’lam bi ashowab

Buya Abdul Aziz Aru Bone, Mahasiswa Fakultas Syariah IAIN (sekarang UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta (Identitas disesuaikan saat pertamakali diterbitkan)

Beragama: Dari Ritus ke Aksi


Diterbitkan 3 edisi oleh Harian Rakyat Merdeka, pada minggu terakhir Ramadhan
SEPERTI Ramadhan kemarin, kaum muslimin Indonesia akan kembali menjalaninya, kali ini pun dengan keprihatinan mendalam karena banyak masalah menimpa bangsa ini yang tak kunjung beranjak pergi.

Belum hilang kenangan pahit tragedi Tsunami yang meluluhlantakan Aceh dan Nias, akhir Desember lalu. Kita kembali dihantui oleh berbagai ancaman konflik
dan gagalnya implementasi perundingan Helshinki. Belum beranjak bangsa ini dari keterpurukan ekonomi yang terus menghimpit, masyarakat pun kembali dibebankan
oleh pencabutan subsidi BBM yang berimplikasi melesatnya harga jual BBM eceran dalam negeri sebagai konsekuensi dari ketidakmampuan Pemerintah menanggung beban subsidi atas selisih pembelian harga minyak di pasar internasional yang bertengger di atas angka $65 per barel.

Ironisnya, di tengah mahal dan langkanyaBBM, masyarakat dikejutkan oleh berita keterlibatan sejumlah pejabat Pertamina yang melakukan pencurian minyak melalui pipa bawah laut senilai Rp8,8 triliun per tahun di Lawe-Lawe, Kalimantan Timur.

Wajah muram Indonesia tahun ini pun dipertebal olehmaraknya aksi kekerasan saat Pilkada di berbagaidaerah yang merupakan cerminan gagalnya konsolidasi
demokrasi di tingkat lokal. Kabar sedih juga datangdari 13.662.594 jiwa rakyat yang berada di bawah gariskemiskinan (data versi BPS, 2005) yang dipaksa semakin
mengencangkan ikat pinggang menjelang puasa dan lebaran nanti, karena tak kuasa membeli bahan makanan yang terus meroket sebagai implikasi naiknya harga
minyak dunia dan menurunnya nilai tukar rupiah.

Pun sederet tumpukan persoalan klasik lain yang masih menjerat leher negeri ini, seperti korupsi yang terus-menerus dilakukan secara sistematik karena
lemahnya supremasi hukum, padahal keduanya dipercaya memberi sumbangsih besar terhadap rapuhnya ekonomi dan bobroknya birokrasi negara.

Reformasi yang sudah berlangsung kurang lebih tujuh tahun, sampai saat ini belum memberikan jawaban atas tuntutan yang diharapkan masyarakat. Bangsa ini masih mengalami keterpurukan multidimensi. Tuntutan dan harapan masyarakat adalah bagaimana perubahan sosial politik yang terjadi berimbas pada perubahan sosial
ekonomi rakyat, yakni tingkat kesejahteraan menjadi lebih baik.

Tak pelak, hingga detik ini, setiap ada perubahan politik nasional, belum menampakan upaya politik untuk menyelesaikan masalah-masalah besar bangsa yang
meliputi ancaman separatisme, keterpurukan ekonomi, hiruk-pikuk politik yang berpotensi gagalnya konsolidasi demokrasi, kekerasaan sosial keagamaan,
pluralisme, terorisme dan korupsi.

Masih terjerembabnya bangsa ini dalam multiketerpurukan, saya kira lebih disebabkan oleh semakin kaburnya standar dan fungsi nilai dalam
kehidupan berbangsa. Bagi para pejabat dan pemegang kendali kebijakan publik, pudarnya standar nilai ini mendorong tumbuh suburnya praktik korupsi dan
runtuhnya supremasi hukum yang diyakini sebagai penyebab utama keterpurukan.

Sementara bagi masyarakat yang berada di luar lingkaran politik dan birokrasi, mendorong mereka bertindak serupa dengan bentuk dan caranya sendiri. Letupan kekerasan dan gesekan antar kelompok massa di tingkat akar rumput yang dalam batas-batas tertentu merupakan aktualisasi dari pudarnya kesadaran untuk menyelesaikan permasalahan melalui mekanismne hukum, adalah bentuk lain dari pudarnya supremasi hukum dan etika moral dalam kehidupan bersama. Maka lengkaplah sudah wajah suram Tanah Air ini.

Di sisi lain, fungsi etika agama dan moralitas sebagai sumber nilai yang kerap dibayangkan para filsuf dan didengungkan para agamawan, hanya ada dalam dunia
metafisik dan tak pernah melangkah ke dunia empirik, saat semua sistem budaya dan keagamaan hanya menjadi penganjur paling getol kesolehan di mimbar-mimbar
khutbah, tumpukan buku dan memenuhi langit berbagai chanel televisi dan radio.

Kala terdapat disparitas mencolok antara normativitas etika dan moral agama dengan praksisnya, maka cara kerja model Machiaveli, Nietsezhe dan Karl Marx tetap merupakan sebuah aksi bagi sebuah moralitas melalui caranya sendiri. Dan bertahap, akan merupakan lonceng kematian agama ketika agama tidak lagi sanggup memberikan jawaban bagi beragam problematika kehidupan dan hanya menyibukkan diri dengan janji-janji syorga.

Maka dalam konteks Ramadhan yang sebentar lagi bertandang, dapatkah bulan mulia ini dijadikan momentum untuk meningkatkan solidaritas kemanusiaan
dan mengembalikan fungsi praksis etika agama dan moralitas sebagaimana semestinya?

Islam, sebagaimana halnya agama-agama besar yang lain, mengajarkan keimanan seseorang diukur dari kesediaannya memberi bagi orang lain yang lebih
memerlukan. Dan Tuhan, akan menolong seseorang yang mau menolong sesamanya tanpa memandang perbedaan yang ada. Ajaran ini hanya penting, baik dan benar, jika
diaktualisasikan dalam tindakan nyata, bukan hanya dikhotbahkan di atas mimbar oleh para agamawan yang jauh dari hidup keseharian.

Dan usaha untuk memfungsikan ajaran agama ini, secara pragmatis menemukan relevansinya di tengah berbagai permasalahan yang mencekik leher bangsa dan kehidupan kita berbangsa.

Bulan-bulan suci keagamaan; seperti Ramadhan, Idul fitri, Idul Adha dan lainnya, merupakan moment tepat untuk merenungkan kembali peran agama dalam turut
menyelesaikan berbagai persoalan kemanusiaan. Apalagi tampak selama ini, ritual keagamaan masyarakat cenderung bersifat formalistik. Kesholehan seseorag
hanya diukur dengan ukuran formal sembari mengesampingkan kesholehan yang berorientasi
kemanusiaan.

Dalam konteks puasa yang diwajibkan itu, tentu tidak semata merupakan ibadah yang berorientasi ketuhanan an sich yang merupakan konsekuensi teologis ketundukan
hamba kepada Tuhannya. Lebih dari itu, puasa harus juga diberi makna kemanusiaan. Karena pada hakikatnya Tuhan menurunkan agama bukan untuk kepentingan-Nya.
Agama hadir untuk memperkenalkan nilai-nilai ketuhanandengan tujuan akhir, kesejahteraan umat manusia.

Demikian pula teologi –beserta seperangkat ibadah yang ada di dalamnya- harus diberi makna kemanusiaan. Dengan pemaknaan teologis seperti itu, maka
pembicaraan konseptual tentang agama, senantiasa berkaitan dengan persoalan ril kehidupan manusia.Ketaatan kepada Tuhan harus berimplikasi pada
pemecahan masalah kemanusiaan.

Agama harus dijadikan praksis sosial untuk mengatasi masalah kemanusiaan. Teologi yang selama ini hanya membicarakan Tuhan dan ketaatan manusia kepadan-Nya, harus diberi orientasi kemanusiaan. Itu artinya, harus
mengembalikan ritus agama menjadi aksi, sebuah fungsi revolusioner agama yang pernah dicontohkan para nabi, namun selama ini tampak terpendam.

Di tangan para nabi, agama hadir sebagai perangkat revolusioner bagi pembebasan umat dari berbagai persoalan hidup kemusiaan. Peran praksis agama ini
pernah dicontohkan oleh Nabi Musa saat membebaskan pengikutnya dari otoritarianisme Fir’aun, penguasa Mesir Kuno. Juga pernah dicontohkan Nabi Isa (Yesus ) saat membebaskan bangsa Yahudi dari kekaisaran otoriter Romawi yang kala itu dipimpin Herodes. Pun pernah dicontohkan Nabi Muhammad saat membebaskan
masyarakat Arab dari tradisi nenek moyang yang irasional dan dungu.

Maka di tangan para nabi, agama hadir sebagai perangkat pembebasan masyarakat yang tertindas. Karena memang secara normatif, pembebasan seseorang atau
komunitas sosial dari derita kemiskinan, kebodohan, ancaman ketertindasan, perilaku tidak adil, adalah tujuan pokok pewahyuan agama. Disini pula lah
sebenarnya terletak inti utama ajaran Islam, inti ritual puasa, zakat, shodoqah, idul fitri dan lainnya.

Tentu saja, sebagai sebuah aktivitas keagamaan yang bersifat kultural individual, puasa tidak bisa diharapkan memperbaiki keterpurukan bangsa secara
drastis, karena persoalan keterpurukan bersifat politis-struktural. Sehingga penyelesaiannya pun dimulai dan digerakkan dari tubuh pemerintah sendiri. Sungguh
tidak fair, lembaga agama dituntut untuk memberantas serta menangkap para koruptor, karena yang paling bertanggungjawab adalah pemerintah. Itu tugas lembaga
dan pejabat negara, meski agama melalui seperangkat ritusnya memberi inspirasi, motivasi, dan memainkan fungsi sosiokultural untuk turut terlibat dalam pengentasan berbagai persoalan kehidupan manusia.

Tapi tampak jelas, jawaban yang diberikan agama selama ini jauh dari memuskan (untuk tidak mengatakan mengecewakan). Jawaban fundamentalistik diajukan sebagai upaya untuk menegaskan Islam memang agama yang sempurna dan telah memberi jawaban yang lengkap atas semua masalah. Sementara itu jawaban sekularisme seakan-akan ingin melarikan diri dari kenyataan, seolah-olah agama hanyalah uruan ritus belaka yang berorientasi ketuhanan. Sedangkan masalah kemanusiaan harus dicarikan solusinya di luar agama.

Harus ada jawaban lain di luar fundamentalisme dan sekularisme. Karena itu, diperlukan sebuah dasar-dasar intelektual untuk intrepretasi yang radikal terhadap hakekat dan arti dalam pelaksanaan ritus-ritus agama guna menyingkap “harga kemanusiaan” yang tertimbun dalam ritus-ritus formal keagamaan. Dalam orientasinya yang lebih pragmatis, dekonstruksi seperti ini diperlukan untuk mengantarkan kreatifitas yang melampaui obsulitisme (fundamentalisme) dan sekularisme umat dalam menjawab tantangan diskursus kontemporer: keadilan, pembelaan terhadap kemanusiaan, demokrasi, kebebasan manusia sebagai individu dan kewajibannya terhadap lingkungan.

Sebab, ketika anjuran kesholehan hanya berhenti pada himbauan normatif semata, maka bukan hanya bagi Nietsezhe tuhan telah mati tiga abad yang lalu. Namun malaikat pun telah pingsan bersama para filsuf dan agamawan dengan membawa anjuran moralnya.

Bahwa, “Berbuat baik kepada orang lain dan tidak mementingkan diri sendiri,” semua orang sepakat. Tetapi orang yang sama bisa berbuat kejam dan menidas melalui sistem ekonomi, politik, tanpa merasa berdosa karena dilindungi seperangkat undang-undang yang disusun para tiran. (***)

Tokoh Sufi Al-Qusyairi An-Naisabury


Oleh: Buya Abd Aziz Aru Bone

Diterbitkan Harian Umum REPUBLIKA, Jum’at, 18 Februari 2000

Dialah Imam Al-Qusyary an-Naisabury, tokoh sufi yang hidup pada abad kelima hijriah. Tepatnya pada masa pemerintahan Bani Saljuk. Nama lengkapnya adalah Abdul Karim al-Qusyairy, nasabnya Abdul Karim ibn Hawazin ibn Abdul Malik ibn Thalhah ibn Muhammad. Ia lahir di Astawa pada Bulan Rabiul Awal tahun 376 H atau 986 M.

Sedikit sekali informasi yang menerangkan masa kecilnya. Namun yang jelas, dia lahir sebagai yatim. Bapaknya meninggal dunia saat usianya masih kecil. Sepeninggal bapaknya, tanggungjawab pendidikan diserahkan pada Abu al-Qosim al-Yamany. Ketika beranjak dewasa, Al-Qusyairy melangkahkan kaki meninggalkan tanah kelahiran menuju Naisabur, yang saat itu menjadi Ibukota Khurasan. Pada awalnya, kepergiannya ke Naisabur untuk mempelajari matematika. Hal ini dilakukan karena Al-Qusyairy merasa terpanggil menyaksikan penderitaan masyarakatnya, yang dibebani biaya pajak tinggi oleh penguasa saat itu. Dengan mempelajari matematika, ia berharap, dapat menjadi petugas penarik pajak dan meringankan kesulitan masyarakat saat itu.

Naisabur merupakan kota yang menyimpan peluang besar untuk perkembangan berbagai macam disiplin ilmu, karena banyak kaum intelektual yang hidup disana. Di kota inilah, untuk pertama kalinya Al-Qusyairy bertemu bertemu Sheikh Abu ‘Ali Hasan ibn ‘Ali an-Naisabury, yang lebih dikenal dengan panggilan Ad-Daqqaq. Pertemuan itu menyisakan kekaguman Al-Qusyairy pada peryataan-pernyataan Ad-Daqqaq. Perlahan, keinginannya mempelajari matermatika pun hilang. Ia pun memilih jalan tarekat dengan belajar dari Ad-Daqqaq. Berawal dari sinilah, Al-Qusyairy mengenal Tasawuf. Al-Daqqaq merupakan guru pertama Al-Qusyairy dalam bidang Tasawuf. Dari ia pula Al-Qusyairy mempelajari banyak hal, tidak hanya terbatas Tasawuf, tetapi juga ilmu-ilmu keislaman yang lain. Al-Qusyairy mampu memahami dengan baik semua pengetahuan yang diajarkan gurunya. Dari sinilah Ad-Daqqaq menyadari kemampuan intelektual Al-Qusyairy. Mungkin, hal ini menjadi salah satu faktor yang mendorong inisiatif Ad-Daqqaq untuk menikahkan putrinya, Fatimah dengan Al-Qusyairy.

Pernikahan ini berlangsung pada antara tahun 405 – 412 H/1014 – 1021 M. Fatimah merupakan wanita ahli sastra dan tekun beribadah. Dari pernikahan ini, lahirlah enam putera dan satu puteri, yaitu; Abu Said Abdullah, Abu Said Abdul Wahid, Abu Mansyur Abdurrahman, Abu Nashr Abdurrahim, Abu Fath Ubaidillah, Abu Muzaffar Abdul Mun’im dan putri Amatul Karim.

Disamping berguru pada mertuanya, Imam Al-Qusyairy juga berguru pada para ulama lain. Diantaranya, Abu Abdurrahman Muhammad ibn al-Husain (325-412 H/936-1021 M), seorang sufi, penulis dan sejarawan. Al-Qusyairy juga belajar fiqh pada Abu Bakr Muhammad ibn Abu Bakr at-Thusy (385-460 H/995-1067 M, belajar Ilmu Kalam dari Abu Bakr Muhammad ibn al-Husain, seorang ulama ahli Ushul Fiqh. Ia juga belajar Ushuluddin pada Abu Ishaq Ibrahim ibn Muhammad, ulama ahli Fiqh dan Ushul Fiqh. Al-Qusyairy pun belajar Fiqh pada Abu Abbas ibn Syuraih, serta mempelajari Fiqh Mazhab Syafi’i pada Abu Mansyur Abdul Qohir ibn Muhammad al-Ashfarayain.

Al-Qusyairy banyak menelaah karya-karya al-Baqillani, dari sini ia menguasai doktrin Ahlusunnah wal Jama’ah yang dikembangkan Abu Hasan al-Asy’ary (w.935 M) dan para pengikutnya. Karena itu tidak mengherankan, kalau Kitab Risalatul Qusyairiyah yang merupakan karya monumentalnya dalam bidang Tasawuf -dan sering disebut sebagai salah satu referensi utama Tasawuf yang bercorak Sunni-, Al-Qusyairy cenderung mengembalikan Tasawuf ke dalam landasan Ahlusunnah Wal Jama’ah. Dia juga penentang keras doktrin-doktri aliran Mu’tazilah, Karamiyah, Mujassamah dan Syi’ah. Karena tindakannya itu, Al-Qusyairy pernah mendekam dalam penjara selama sebulan lebih, atas perintah Taghrul Bek, karena hasutan seorang menteri yang beraliran Mu’tazilah yaitu Abu Nasr Muhammad ibn Mansyur al-Kunduri.

Perburuan terhadap para pemuka aliran Asy’ariyah itu berhenti dengan wafatnya Taghrul Bek pada tahun 1063 M. Penggantinya, Alp Arsalen (1063-1092 M), kemudian mengangkat Nizam al-Mulk sebagai pengganti al-Khunduri. Kritik Terhadap Para Sufi Dr. Abu al-Wafa’ al-Ghanimi al-Taftazani, Guru Besar Filsafat Islam dan Tasawuf pada Universitas Kairo, yang juga tokoh dan Ketua Perhimpunan Sufi Mesir (Robithah al-Shufihiyah al-Mishriyah) menulis, Imam Al-Qusyairy mengkritik para sufi aliran Syathahi yang mengungkapkan ungkapan-ungkapan penuh kesan tentang terjadinya Hulul (penyatuan) antara sifat-sifat kemanusiaan, khususnya sifat-sifat barunya, dengan Tuhan. Al-Qusyairy juga mengkritik kebiasaan para sufi pada masanya yang selalu mengenakan pakaian layaknya orang miskin. Ia menekankan kesehatan batin dengan perpegang pada Al-Qur’an dan Sunnah Rasul. Hal ini lebih disukainya daripada penampilan lahiriah yang memberi kesan zuhud, tapi hatinya tidak demikian. (lihat, Dr. Abu al-Wafa’ al-Ghanimi al-Taftazani, Madkhal ilaa al-Tasawwuf al-Islam, cetakan ke-IV. Terbitan Dar al-Tsaqofah li an-Nasyr wa al-Tauzi, Kairo, 1983)

Dari sini dapat dipahami, Al-Qusyairy tidak mengharamkan kesenangan dunia, selama hal itu tidak memalingkan manusia dari mengingat Allah. Beliau tidak sependapat dengan para sufi yang mengharamkan sesuatu yang sebenarnya tidak diharamkan agama. Karena itu Al-Qusyairy menyatakan, penulisan karya monumentalnya Risalatul Qusyairiyah, termotinasi karena dirinya merasa sedih melihat persoalan yang menimpah dunia Tasawwuf. Namun dia tidak bermaksud menjelek-jelekkan seorang pun para sufi ketika itu. Penulisan Risalah hanya sekadar pengobat keluhan atas persoalan yang menimpa dunia Tasawuf kala itu.

Imam Al-Qusyairy merupakan ulama yang ahli dalam banyak disiplin ilmu yang berkembang pada masanya, hal ini terlihat dari karya-karya beliau, seperti yang tercantum pada pembukaan Kitabnya Risalatul Qusyairiyah.

Karya-karya itu adalah; Ahkaamu as-Syariah, kitab yang membahas masalah-masalah Fiqh, Adaabu as-Shufiyyah, tentang Tasawuf, al-Arbauuna fil Hadis, kitab ini berisi 40 buah hadis yang sanadnya tersambung dari gurunya Abi Ali Ad-Daqqaq ke Rasulullah. Karya lainnya adalah; Kitab Istifaadatul Muraadaats, Kitab Bulghatul Maqaashid fii al-Tasawwuf, Kitab at-Tahbir fii Tadzkir, Kitab Tartiibu as-Suluuki fii Tariqillahi Ta’ala yang merupakan kumpulan makalah beliau tentang Tasawwuf, Kitab At-Tauhidu an-Nabawi, Kitab At-Taisir fi ‘Ulumi at-Tafsir atau lebih dikenal dengan al-Tafsir al-Kabir. Ini merupakan buku pertama yang ia tulis, yang penyusunannya selesai pada tahun 410 H/1019 M. Menurut Tajuddin as-Syubkhi dan Jalaluddin as-Suyuthi, tafsir tersebut merupakan kitab tafsir terbaik dan terjelas (?)

Karya-karyanya yang lain, Kitab al-Jawaahir, Kitab Hayatul Arwah, Wa Dalil Ilaa Thoriqil Ishlah, Kitab Diwanu as-Syi’ir, dari karya inilah beliau menunjukan keahliannya dalam Sastra. Sementara Kitab yang menunjukan ketokohannya dalam Tasawwuf adalah Ar-Risalah al-Qusyairiyah, ditulis pada tahun 438 H/1046 M. Kitab ini menjadi salah satu referensi utama bagi Tasawuf bercorak Sunni. Sebenarnya, kitab ini merupakan kumpulan makalah-makalah beliau untuk bahan presentasi bagi murid-muridnya dalam kajian Tasawuf. Kitab-kitab yang lainnya adalah Shiratul Masyayikh, merupakan kitab biografi para tokoh Islam sebelum beliau, Kitab Syarhu Asmaa ul-Husna, Kitab Uyunul Ajwibah fii Ushulil Ash’ilah, Kitab al-Fushul fii al-Ushul, Kitab Alluma’ fii I’tiqad, Majelis Abu Hasan Ad-Daqqaq, al-Mi’raj, al-Munaajat. Selanjutnya Kitab Manshurul Khitab fii Shuhudil al-Baab, Kitab Naasikh al-Hadist wa Mansukh, dalam kitab ini tampak jelas keluasan wawasan beliau tentang hadist dan ilmu-ilmu hadist. Tidak kurang dari 29 judul kitab karya tulis Imam al-Qusyairy an-Naisabury yang mencakup banyak disiplin keilmuan yang berkembang pada masanya, karya-karya itu tidak hanya terbatas pada ilmu-ilmu keislaman semata, tapi juga sastra, hukum, sejarah dan filsafat. Semua itu merupakan warisan khazanah intelektual dari masa-masa puncak kemajuan peradaban Islam masa lalu. Karya-karya tersebut hingga kini masih bisa kita jumpai di koleksi-koleksi perpustakaan.

Menurut Syuja’al-Hazaly, Imam Al-Qusyairy menutup usia di Naisabur pada pagi Hari Ahad, tanggal 16 Rabiul Awal 465 H/ 1073 M, dalam usia 87 tahun. Dikisahkan bahwa beliau mempunyai seekor kuda yang telah mengabdi padanya selama selama 20 tahun. Pada saat Al-Qusyairy wafat, kuda itu sangat sedih dan tidak mau makan selama dua minggu, hingga akhirnya ikut mati. Setelah Al-Qusyairy wafat, tak ada seorang pun yang berani memasuki perpustakaan pribadinya selama beberapa tahun. Hal ini dilakukan sebagai bentuk penghormatan bagi al-Imam Radiyallah Ta’ala ‘Anhu. Wallahu a’lam bi al-Showab.