Saturday, May 12, 2007

Islam Puritan Parasit Demokrasi


Oleh: Buya Abd Aziz Aru Bone
Alumnus Perbandingan Mazhab & Hukum, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Alumnus Pesantren Manbaul ‘Ulum Ashiddiqiyah serta Pesantren Khusus Hadist & Ilmu-ilmu Hadist Darus Sunnah


Beberapa gerakan Islam puritan, seperti, Majelis Mujahidin Indonesia dan Hizbut Tahrir Indonesia kembali mengagendakan formalisasi Syariat Islam dengan menjadikan Islam sebagai ideologi negara. Kini agenda tersebut tidak hanya dalam lingkup wacana. Lahirnya sejumlah peraturan Pemerintahan Daerah tentang pelacuran, miras, persyaratan pegawai negari sipil harus mampu membaca Al-Qur’an, yang beberapa waktu lalu sempat menghiasi pemberitaan media massa, merupakan langkah awal keberhasilan gerakan Islam puritan ini. Tulisan ini ingin menelusuri secara singkat latarbelakang sosial politik kehadiran gerakan Islam puritan di wilayah asalnya, Timur Tengah modern, untuk kemudian menegaskan kehadirannya di Indonesia sebagai parasit yang akan memberangus demokrasi.

Kolonialisme Eropa

Revitalisasi Islam puritan sangat erat kaitannya dengan kehadiran kolonial Eropa di Timur Tengah. Khaled M Abou El Fadl menjelaskan, transformasi intelektual bangsa Arab di era kolonial melahirkan kesadaran bahwa, ancaman paling berbahaya dari kolonialisme bukanlah invasi militer Eropa. Melainkan, invasi kultural ideologi Barat yang meruntuhkan sendi-sendi kepercayaan bangsa Arab terhadap koherensi dan validitas Islam. Marxisme, komunisme, sekularisme, kapitalisme dan liberalisme pun ditempatkan sebagai ideologi Barat asing dan mengancam koherensi dan validitas ajaran Islam. Maka seruan untuk kembali kepada autentisitas Islam dipandang sebagai solusi untuk menghadapi invasi kultural ideologi Barat yang menyertai kolonialisme (El Fadl, And God Knows The Solders, The Authoritative and The Authoritarian in Islamic Discourses, 1997:2). Kesadaran serupa tidak hanya lahir pada negara-negara Arab penganut Islam Sunny, tapi juga penganut Islam Syiah, seperti di Irak, Iran, Suriah dan Lebanon (Chibli Mallat, The Renewall of Islamic Law, Muhammad Bager as-Sadr, Najaf and the Shi’i International, 2003:4)

Cita-cita yang ingin diwujudkan saat itu, bukan saja membebaskan bangsa Arab dari kolonialisme Eropa, lebih dari itu untuk kembali mewujudkan keagungan peradaban Islam dengan menjadikan tatanan masyarakat Madinah di masa Nabi Muhammad dan para khalifah yang empat pada abad pertama hijriah sebagai model dan sumber otoritas.

Tapi dalam perkembangannya, tidak sedikitpun cita-cita itu terwujud. Padahal dua pioner pemikir modern Islam, Muhammad Abduh dan Rasyid Ridho telah membuka jalan bagi terjadinya Islamic Renaissance dengan mengupayakan penyatuan modernitas Barat dengan tradisi Islam klasik pada fase kedua kebangkitan Islam Arab yang terjadi antara tahun 1870 hingga 1900. Abduh dan Ridho saat itu berupaya menafsirkan ulang Islam agar senantiasa sesuai dengan kehidupan modern. Selanjutnya, era kolonial Eropa berakhir bersamaan dengan pecahnya Perang Dunia Kedua. Pada saat yang bersamaan, kekuatan militer-ekonomi Uni Soviet dan Amerika Serikat menggantikan kolonial Eropa. Proyek pemikiran Islamic Renaissance yang telah digagas Abduh dan Ridho, juga diganti gerakan ‘ashabiyah nasionalisme Pan Arab dengan gagasan pokoknya, semua negara Timur Tengah yang berbahasa Arab adalah sebuah kesatuan politik, dan Islam Kafah yang diusung Ikhwanul Mislimin di Mesir dengan gagasan, Islam menjadi satu-satunya dasar yang shahih dalam pengaturan sosial dan politik. (Albert Hourani, Pemikiran Liberal di Dunia Arab, 2004: xxii, alih bahasa). Jauh sebelumnya, Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhab telah memproklamerkan ideologi politik serupa di Saudi Arabia dengan Wahabismenya (op.cit:xvii)

Terinspirasi Ikhwanul Muslimin dan Wahabisme, Islam pun kembali hadir sebagai ideologi sosial dan politik di era Arab modern. Islam kembali diletakan dalam kerangka politik sebagai ad-din wa ad-dawlah. Pembajakan besar-besaran atas Islam sebagai basis otoritas dan legitimasi politik pun kembali mulai dibangun. Bedanya, jika Abduh dan Ridho berupaya melakukan penyatuan Islam dan modernitas Barat. Maka Ikhwanul Muslimin dan Wahabisme sebaliknya, yakni, memerangi modernisme serta memberangus tradisi aliran intelektual Islam, seperti, Mu’tazilah, Maturidiyah, Asy-Ariyah, dan tradisi fiqh berbagai mazhab sebagai bid’ah dan khurafat, sembari menyerukan kembali kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Terjadilah kemandekan intelektual, karena di satu sisi menutup diri dari nilai-nilai Barat, di sisi lain melakukan pemberangusan warisan tradisi intelektual.

Bernard Lewis, seperti dikutip Sukidi Mulyadi mensinyalir, kombinasi Islam sebagai agama (ad-din) dan negara (ad-dawlah); kombinasi yang suci dan yang profan, ikut menjadi hambatan serius dalam proses demokratisasi di Dunia Islam, khususnya Timur Tengah. Dengan semangat kembali kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah, di tangan rezim-rezim despotik-otoriter Timur Tengah, Nabi Muhammad senantiasa dipandang sebagai sosok pemimpin agama dan negara sekaligus. Dengan merujuk tradisi Nabi di Madinah, mereka mengklaim bahwa Nabi telah memberikan blue print konsep negara. Karena itu, hubungan Islam dan negara dicirikan legal-formalistik atau negara berideologi Islam (Sukidi, paper berjudul, Defisit Demokrasi di Dunia Islam, dalam Islam, Negara dan Civil Society, 2005: 229).

Padahal banyak ahli studi Islam berpandangan, Islam hanya memberikan prinsip-prinsip dasar kehidupan berpolitik yang menjadi tuntutan bagi kaum muslimin. Adapun pilihan bentuk ideologi negara, adalah masalah ijtihadiyah yang terkait erat dengan situasi dan kondisi sosial-politik dan problematika kaum muslimin di suatu wilayah.

Lebih dari itu, pengalaman Nabi di Madinah yang dijadikan sumber otoritas cita-cita kebangkitan puritanisme Islam seperti yang disebutkan di awal tulisan ini, justeru menunjukan bahwa, Nabi bukanlah pemimpin politik, melainkan pemimpin keagamaan.

Tegasnya, Nabi tidak pernah mendirikan negara Islam di Madinah, melainkan mempraktekan nilai-nilai dasar bermasyarakat yang baik yang ditandai dengan egaliterianisme (al-musaawah), partisipasi kontrol publik (amr bi al-ma’ruf wa nahy ‘an al-munkar) musyawarah (al-syuro), berkeadilan (al-‘adalah), menghargai kemajemukan dan pluralisme (at-ta’adduddiyah). Secara bersamaan, juga melarang masyarakat berbuat yang sebaliknya, seperti, aniaya (zholim), tidak loyal (al-khiyanah) dan lain-lain.

Tapi naifnya, tradisi Nabi di Madinah tidak dipraktekan oleh rezim-rezim dispotik-otoriter Timur Tengah yang mengklaim dirinya sebagai negara Islam. Malah melakukan penolakan besar-besaran terhadap konsep demokrasi yang sesuai nilai-nilai Nabawiyah di atas yang kebetulan pertama kali lahir di Eropa, sembari mengungkapkan alasan sikap penentangan terhadap ideologi sosial-politik Barat, termasuk demokrasi, sebagai penolakan terhadap invasi kultural Barat dan tidak islami.

Padahal kalau mau jujur membaca warisan khazanah intelektual Islam, perkembangan berbagai disiplin ilmu keislaman klasik yang pernah mengantarkan peradaban Islam sebagai adikuasa dunia, bahkan, hingga kini warisan intelektual itu masih tekun dipelajari dan dikembangkan, seperti, ush al-fiqh, ilmu kalam, tasawuf, kajian fiqh dengan beberapa cabangnya, ‘ulumul hadist, filsafat Islam dengan berbagai coraknya, adalah karena persentuhan Islam Arab klasik dengan Filsafat Helenisme (Mun’im Madjid, Tarikh Al-Hadharoh Al-Islamiyyah fi Al-‘Ushur Al-Wustho, 1978; Nurcholish Madjid, Khazanah Intelektual Islam, 1994). Tapi di era modern ini, sikap yang menempatkan Islam sebagai corpus terbuka kini lenyap karena dibajak kekuasaan politik despotik-otoriter.

Memang ada banyak penjelasan terhadap absennya gelombang ketiga demokrasi di Timur Tengah modern. Sikap tertutup terhadap sistem sosial-politik Barat dan pemberangusan warisan tradisi intelektual Islam klasik, sembari melakukan pembajakan Islam sebagai sumber otoritas dan legitimasi politik, adalah diantara penjelasannya.

Poin lain, adalah tidak adanya political will para pemimpin politik Timur Tengah untuk menjalankan tata kelola pemerintahan yang transparan dan akuntabel (baca: demokratis). Tiadanya political will ini lantaran demokrasi ditakuti akan membongkar semua kebusukan pengelolaan negara yang korup. Naifnya, sikap para penguasa Arab kaya minyak ini, diam-diam didukung Amerika Serikat dengan motif ekonomi-politik.

Parasit Demokrasi

Dengan bingkai latarbelakang sosial politik yang demikian, Islam puritan yang dipelopori Majelis Mujahidin dan Hizbut Tahrir kini hadir di Indonesia dengan agenda serupa; formalisasi Syariah dan pendirian negara Islam.

Revitalisasi Islam puritan di Indonesia mendapatkan angin segar dengan memanfaatkan demokratisasi yang mensyaratkan kebebasan berorganisasi dan berpendapat di ruang publik. Maka selama tidak melalui cara-cara yang melanggar hukum positif, gerakan-gerakan Islam puritan leluasa memasarkan pemahaman keislamannya. Inilah dilema demokrasi. Ibarat pohon, ia membuka diri dimanfaatkan siapapun selama mematuhi kontrak bersama, bahkan oleh parasit yang akan menghisabnya hingga mati.

Seperti disebutkan sebelumnya, kalau di Timur Tengah gerakan Islam puritan seperti Wahabisme dan Ikhwanul Muslmin memberangus tradisi aliran intelektual Islam, seperti, Mu’tazilah, Maturidiyah, Asy-Ariyah, dan tradisi fiqh berbagai mazhab sebagai bid’ah dan khurafat, sembari menyerukan kembali kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah, maka di Indonesia gerakan Islam puritan mengarahkan anak panahnya kepada Islam moderat yang menjadi modal kultural utama demokrasi.

Meski kehadiran Islam puritan menjadi ancaman serius demokrasi, tapi rasanya tidak konsisten dengan semangat berdemokrasi yang baik, jika ormas-ormas Islam moderat, seperti, Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU) meminta campur tangan pemerintah untuk melarang kehadiran ideologi Islam transnasional –termasuk gerakan Islam puritan- di Indonesia, seperti yang dilakukan Ketua Umum PBNU Hasyim Muzadi saat melakukan temu wicara Mahkamah Konstitusi (Kompas, 26 Februari 2007).

Hemat saya, pemerintah tidak perlu campur tangan. Biarkan saja demokrasi yang sedang tumbuh ini menyajikan pasar bebas ide-ide keagamaan. Inilah tantangan terberat dan terkini bagi NU dan Muhammadiyah untuk menanamkan kesadaran kepada masyarakat muslim tentang pentingnya agama sebagai way of life, bukan sebagai ideologi politik dalam kaitan hubungan Islam dan negara di Indonesia.

Islam moderat sebagai modal kultural demokrasi kita butuhkan untuk membangun kehidupan yang jauh lebih baik. Sejarah telah membuktikan bahwa Islam Indonesia mengikuti hukum sejarah yang non-linear, mengalami kontinuitas, diskontinuitas dan perubahan. Karena itu tidak seperti Islam di Timur Tengah, Islam di Indonesia mampu merespon gerak sejarah secara terbuka dan adaptif, termasuk terhadap ide-ide progesif dan demokrasi.

Islam Indonesia bukan saja telah mampu mendialogkan nilai-nilai progresif dan demokratis di ruang publik, bahkan telah mampu mempraksiskannya. Kini, Islam Indonesia tampil sebagai sebuah model masyarakat muslim demokratis atau muslim demokrat bagi dunia Islam. Lebih dari itu, dengan karakternya demikian, Islam Indonesia juga memiliki nilai tambah untuk menjembatani dan mendialogkan Barat dan Islam. Wallahu A’lam bi as-Showab.


­Buku-buku Rujukan:

El Fadl, Khaled Abou, And God Knows The Solders, The Authoritative and The Authoritarian in Islamic Discourses, (Maryland:University Press of America, rev. ed.,1997:2).

Mallat, Chibli, The Renewall of Islamic Law, Muhammad Bager as-Sadr, Najaf and the Shi’i International, (Cambridge: Cambridge University Press, 2003:4).

Mun’im Madjid, Tarikh Al-Hadharoh Al-Islamiyyah fi Al-‘Ushur Al-Wustho, (Cetakan keempat. Maktabah Al-Anhal Al-Mishriyyah, Kairo-Mesir, 1978).

Hourani, Albert, alih bahasa, Pemikiran Liberal di Dunia Arab, (Bandung: Penerbit Mizan 2004: xxii).

Sukidi Mulyadi, artikel Defisit Demokrasi di Dunia Islam, dalam Islam Negara dan Civil Society, Gerakan dan Pemikiran Islam Kontemporer, (Jakarta: Paramadina, 2005: 229).

Nurcholish Madjid, Khazanah Intelektual Islam, (Jakarta: Bintang Bulan, 1994)

Menolak Ideologi Islam Arab

Buya Abd Aziz Aru Bone
Alumnus Jurusan Perbandingan Mazhab & Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Pernah nyantri di Pesantren Manba’ul ‘Ulum Ashiddiqiyyah serta Pesantren Khusus Hadis & Ilmu-ilmu Hadist Darus Sunnah


Ini tanggapan atas artikel Irfan S Awwas yang berjudul, “Kritik Atas Penolakan Ideologi Transnasional,” (Republika, Rabu, 9 Mei 2007). Tulisan ini juga tidak ingin berpretensi memberikan pembelaan terhadap NU yang menolak kehadiran ideologi Islam transnasional, baik yang diidentifikasi sebagai kutub Liberal yang berakar pada post-modernisme Barat atau kutub fundamentalis yang berakar pada idelogi Islam Arab. Tulisan menjelaskan argumentasi penolakan terhadap Fundamentalisme Islam Arab dengan menelaah konteks sosial politik yang meliputi kehadiran serta perannya dalam membajak Islam sebagai basis otoritas legitimasi kekuasaan-kekuasaan politik Timur Tengah. Untuk kemudian dikontraskan dengan Islam Indonesia.

***

Kebangkitan fundamentalisme Islam yang memimpikan terjadinya the re-birth of Islamic Civilization, erat kaitannya dengan era panjang kolonialisme Eropa di Timur Tengah. Kesadaran yang lahir sebagai respon terhadap kolonialisme adalah, yang paling berbahaya dari kolonialisme bukanlah dominasi militer Barat, melainkan invasi kultural yang mengikis kepercayaan umat terhadap validitas ajaran Islam. Karena itu, seruan untuk kembali kepada autentisitas Islam dipandang sebagai solusi untuk menghadapi invasi kultural Barat yang menyertai kolonialisme. (El Fadl, 1997:2). Kesadaran tersebut tidak hanya dialami Islam Sunny, tapi juga Islam Shi’ah di Iran, Irak, Lebanon dan Suriah (Mallat, 2003:4).

Mimpi itu ingin kembali menciptakan keindahan dan keagungan kehidupan Islam Madinah masa Nabi Muhammad dan kepemimpinan para klalifah awal Islam yang dipuji Robert N Bellah dengan pernyataan, tatanan sosial masa Madinah terlampau modern untuk ukuran zamannya. Lantaran tipisnya sumberdaya infrastuktur politik yang dimiliki, rekayasa demokrasi gagal diwujudkan (Bellah, 2000:213).

Tapi tidak sedikitpun mimpi tersebut terwujud, meski pun pioner pemikir modern Islam; Muhammad Abduh dan Rasyid Ridho telah membuka jalan bagi terjadinya Islamic Renaissance dengan mengupayakan penyatuan modernisme Barat dan tradisi Islam pada fase kedua kebangkitan Islam Arab yang terjadi antara tahun 1870 hingga 1900. Abduh dan Ridho berupaya menafsirkan ulang Islam agar senantiasa sesuai dengan kehidupan modern.

Alih-alih, berakhirnya kolonialisme Eropa dan mulainya dominasi militer-ekonomi Rusia dan Amerika Serikat di Timur Tengah yang diawali dengan pecahnya Perang Dunia Kedua, kembali melahirkan gerakan ‘ashabiyah nasionalisme Pan Arab dengan gagasan pokoknya, semua negara Timur Tengah yang berbahasa Arab adalah sebuah kesatuan politik, dan Islam Kafah yang diusung Ikhwanul Mislimin dengan gagasan, menjadikan Islam menjadi satu-satunya dasar yang shahih dalam pengaturan masyarakat. (Hourani, 1983: xxii).
Dari sinilah era modern pembajakan besar-besaran Islam sebagai basis otoritas dan legitimasi rezim otoriter-despotik di Timur Tengah mulai dibangun. Islam diletakan dalam kerangka politik sebagai ad-din wa ad-dawlah.

Bernard Lewis, seperti yang dikutip kanda Sukidi Mulyadi, mahasiswa Ph.D Islamic Studies di Harvard University mensinyalir, kombinasi Islam sebagai agama (ad-din) dan negara (ad-dawlah), yang suci dan yang profan, ikut menjadi hambatan serius dalam proses demokratisasi di Dunia Islam, khususnya Timur Tengah (Sukidi, 2005: 229).
Di tangan rezim-rezim despotik-otoriter Timur Tengah, Nabi Muhammad senantiasa dipandang sebagai sosok pemimpin agama dan negara sekaligus. Dengan merujuk tradisi Nabi, mereka mengklaim bahwa Nabi telah memberikan blue print konsep negara. Karena itu hubungan Islam dan negara dicirikan legal-formalistik

Padahal dalam pandangan banyak ahli studi Islam, begitu pun pembacaan saya terhadap teks-teks Al-Qur’an dan Al-Hadist, Islam hanya memberikan prinsip-prinsip dasar kehidupan berpolitik yang menjadi tuntutan bagi kaum muslimin. Pengalaman Nabi di Madinah yang menjadi cita-cita kebangkitan fundamentalisme Islam seperti yang disebutkan di atas, justeru menunjukan bahwa, Nabi bukanlah juga menjadi pemimpin politik, melainkan pemimpin sosial-keagamaan. Tegasnya, Nabi tidak pernah mendirikan negara Islam di Madinah, tapi hanya mempraktikan nilai-nilai dasar bermasyarakat yang baik yang ditandai dengan sifat egaliter (al-musaawah), partisipasi atau kontrol publik (amr bi al-ma’ruf wa nahy ‘an al-munkar) musyawarah (al-syuro), berkeadilan (al-‘adalah), menghargai kemajemukan dan pluralisme (at-ta’adduddiyah) secara bersamaan juga melarang masyarakat berbuat yang sebaliknya, seperti aniaya (zholim), tidak loyal (al-khiyanah) dan lain-lain.

Tapi naifnya, tradisi Nabi di Madinah tidak dipraktekan oleh rezim-rezim dispotik-otoriter Timur Tengah. Alih-alih melakukan penolakan besar-besaran terhadap konsep demokrasi yang sesuai nilai-nilai Nabawiyah di atas, sembari mengungkapkan alasan sikap penentangan terhadap ideologi sosial-politik Barat sebagai penolakan terhadap invasi kultural Barat.

Inilah salah satu poin penjelasan Sukidi saat menjelaskan absennya gelombang demokrasi ketiga di Timur Tengah, yakni, tidak adanya political will para pemimpin politik Timur Tengah untuk menjalankan tata kelola pemerintahan yang transparan dan akuntabel (baca: demokratis), yang secara diam-diam didukung Amerika Serikat dengan motif ekonomi-politik.

Kondisi ini jelas berbeda dengan Islam Indonesia. Awalnya Islam sufistik yang merupakan tradisi Islam paling inklusif jika dibanding tradisi Fiqh, Kalam, apalagi Siyasah, masuk ke Indonesia secara damai melalui pendekatan kultural hingga mampu beradaptasi dengan tradisi dan kultur lokal sejak pertama kali hadir hingga kini.

Dengan demikian tidak seperti Islam Arab, Islam Indonesia mengikuti gerak sejarah yang non-linear, yang mengalami kontinuitas, diskontinuitas dan perubahan. Dalam konteks Islam Indonesia, gerak sejarah itu mampu direspon secara terbuka dan adaptif, termasuk terhadap ide-ide progesif dan demokrasi.

Islam Indonesia, dengan demikian, bukan saja telah mampu mendialogkan nilai-nilai progresif dan demokratis di ruang publik, bahkan telah mampu mempraksiskannya. Kini Islam Indonesia mampu tampil sebagai sebuah model masyarakat muslim demokratis dengan terus berusaha secara kreatif-kultural mendapatkan inspirasi nilai-nilai Nabawiyah di Madinah dalam kehidupan sosial-politik-keagamaannya. Wallahu A’lam bi as-Showab.



Referensi Tulisan

El Fadl, Khaled Abou, And God Knows The Solders, The Authoritative and The Authoritarian in Islamic Discourses, (Maryland:University Press of America, rev. ed.,1997:2)
Mallat, Chibli, The Renewall of Islamic Law, Muhammad Bager as-Sadr, Najaf and the Shi’i International, (Cambridge: Cambridge University Press, 2003:4)
Bellah, Robert N, Beyond Belief: Esai-esai Tentang Agama di Dunia Modern, alih bahasa (Jakarta: Paramadina, 2000:213)
Hourani, Albert, alih bahasa, Pemikiran Liberal di Dunia Arab, (Bandung: Penerbit Mizan 2004: xxii)
Sukidi Mulyadi, artikel Defisit Demokrasi di Dunia Islam, dalam Islam Negara dan Civil Society, Gerakan dan Pemikiran Islam Kontemporer, (Jakarta: Paramadina, 2005: 229)