Saturday, May 12, 2007

Menolak Ideologi Islam Arab

Buya Abd Aziz Aru Bone
Alumnus Jurusan Perbandingan Mazhab & Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Pernah nyantri di Pesantren Manba’ul ‘Ulum Ashiddiqiyyah serta Pesantren Khusus Hadis & Ilmu-ilmu Hadist Darus Sunnah


Ini tanggapan atas artikel Irfan S Awwas yang berjudul, “Kritik Atas Penolakan Ideologi Transnasional,” (Republika, Rabu, 9 Mei 2007). Tulisan ini juga tidak ingin berpretensi memberikan pembelaan terhadap NU yang menolak kehadiran ideologi Islam transnasional, baik yang diidentifikasi sebagai kutub Liberal yang berakar pada post-modernisme Barat atau kutub fundamentalis yang berakar pada idelogi Islam Arab. Tulisan menjelaskan argumentasi penolakan terhadap Fundamentalisme Islam Arab dengan menelaah konteks sosial politik yang meliputi kehadiran serta perannya dalam membajak Islam sebagai basis otoritas legitimasi kekuasaan-kekuasaan politik Timur Tengah. Untuk kemudian dikontraskan dengan Islam Indonesia.

***

Kebangkitan fundamentalisme Islam yang memimpikan terjadinya the re-birth of Islamic Civilization, erat kaitannya dengan era panjang kolonialisme Eropa di Timur Tengah. Kesadaran yang lahir sebagai respon terhadap kolonialisme adalah, yang paling berbahaya dari kolonialisme bukanlah dominasi militer Barat, melainkan invasi kultural yang mengikis kepercayaan umat terhadap validitas ajaran Islam. Karena itu, seruan untuk kembali kepada autentisitas Islam dipandang sebagai solusi untuk menghadapi invasi kultural Barat yang menyertai kolonialisme. (El Fadl, 1997:2). Kesadaran tersebut tidak hanya dialami Islam Sunny, tapi juga Islam Shi’ah di Iran, Irak, Lebanon dan Suriah (Mallat, 2003:4).

Mimpi itu ingin kembali menciptakan keindahan dan keagungan kehidupan Islam Madinah masa Nabi Muhammad dan kepemimpinan para klalifah awal Islam yang dipuji Robert N Bellah dengan pernyataan, tatanan sosial masa Madinah terlampau modern untuk ukuran zamannya. Lantaran tipisnya sumberdaya infrastuktur politik yang dimiliki, rekayasa demokrasi gagal diwujudkan (Bellah, 2000:213).

Tapi tidak sedikitpun mimpi tersebut terwujud, meski pun pioner pemikir modern Islam; Muhammad Abduh dan Rasyid Ridho telah membuka jalan bagi terjadinya Islamic Renaissance dengan mengupayakan penyatuan modernisme Barat dan tradisi Islam pada fase kedua kebangkitan Islam Arab yang terjadi antara tahun 1870 hingga 1900. Abduh dan Ridho berupaya menafsirkan ulang Islam agar senantiasa sesuai dengan kehidupan modern.

Alih-alih, berakhirnya kolonialisme Eropa dan mulainya dominasi militer-ekonomi Rusia dan Amerika Serikat di Timur Tengah yang diawali dengan pecahnya Perang Dunia Kedua, kembali melahirkan gerakan ‘ashabiyah nasionalisme Pan Arab dengan gagasan pokoknya, semua negara Timur Tengah yang berbahasa Arab adalah sebuah kesatuan politik, dan Islam Kafah yang diusung Ikhwanul Mislimin dengan gagasan, menjadikan Islam menjadi satu-satunya dasar yang shahih dalam pengaturan masyarakat. (Hourani, 1983: xxii).
Dari sinilah era modern pembajakan besar-besaran Islam sebagai basis otoritas dan legitimasi rezim otoriter-despotik di Timur Tengah mulai dibangun. Islam diletakan dalam kerangka politik sebagai ad-din wa ad-dawlah.

Bernard Lewis, seperti yang dikutip kanda Sukidi Mulyadi, mahasiswa Ph.D Islamic Studies di Harvard University mensinyalir, kombinasi Islam sebagai agama (ad-din) dan negara (ad-dawlah), yang suci dan yang profan, ikut menjadi hambatan serius dalam proses demokratisasi di Dunia Islam, khususnya Timur Tengah (Sukidi, 2005: 229).
Di tangan rezim-rezim despotik-otoriter Timur Tengah, Nabi Muhammad senantiasa dipandang sebagai sosok pemimpin agama dan negara sekaligus. Dengan merujuk tradisi Nabi, mereka mengklaim bahwa Nabi telah memberikan blue print konsep negara. Karena itu hubungan Islam dan negara dicirikan legal-formalistik

Padahal dalam pandangan banyak ahli studi Islam, begitu pun pembacaan saya terhadap teks-teks Al-Qur’an dan Al-Hadist, Islam hanya memberikan prinsip-prinsip dasar kehidupan berpolitik yang menjadi tuntutan bagi kaum muslimin. Pengalaman Nabi di Madinah yang menjadi cita-cita kebangkitan fundamentalisme Islam seperti yang disebutkan di atas, justeru menunjukan bahwa, Nabi bukanlah juga menjadi pemimpin politik, melainkan pemimpin sosial-keagamaan. Tegasnya, Nabi tidak pernah mendirikan negara Islam di Madinah, tapi hanya mempraktikan nilai-nilai dasar bermasyarakat yang baik yang ditandai dengan sifat egaliter (al-musaawah), partisipasi atau kontrol publik (amr bi al-ma’ruf wa nahy ‘an al-munkar) musyawarah (al-syuro), berkeadilan (al-‘adalah), menghargai kemajemukan dan pluralisme (at-ta’adduddiyah) secara bersamaan juga melarang masyarakat berbuat yang sebaliknya, seperti aniaya (zholim), tidak loyal (al-khiyanah) dan lain-lain.

Tapi naifnya, tradisi Nabi di Madinah tidak dipraktekan oleh rezim-rezim dispotik-otoriter Timur Tengah. Alih-alih melakukan penolakan besar-besaran terhadap konsep demokrasi yang sesuai nilai-nilai Nabawiyah di atas, sembari mengungkapkan alasan sikap penentangan terhadap ideologi sosial-politik Barat sebagai penolakan terhadap invasi kultural Barat.

Inilah salah satu poin penjelasan Sukidi saat menjelaskan absennya gelombang demokrasi ketiga di Timur Tengah, yakni, tidak adanya political will para pemimpin politik Timur Tengah untuk menjalankan tata kelola pemerintahan yang transparan dan akuntabel (baca: demokratis), yang secara diam-diam didukung Amerika Serikat dengan motif ekonomi-politik.

Kondisi ini jelas berbeda dengan Islam Indonesia. Awalnya Islam sufistik yang merupakan tradisi Islam paling inklusif jika dibanding tradisi Fiqh, Kalam, apalagi Siyasah, masuk ke Indonesia secara damai melalui pendekatan kultural hingga mampu beradaptasi dengan tradisi dan kultur lokal sejak pertama kali hadir hingga kini.

Dengan demikian tidak seperti Islam Arab, Islam Indonesia mengikuti gerak sejarah yang non-linear, yang mengalami kontinuitas, diskontinuitas dan perubahan. Dalam konteks Islam Indonesia, gerak sejarah itu mampu direspon secara terbuka dan adaptif, termasuk terhadap ide-ide progesif dan demokrasi.

Islam Indonesia, dengan demikian, bukan saja telah mampu mendialogkan nilai-nilai progresif dan demokratis di ruang publik, bahkan telah mampu mempraksiskannya. Kini Islam Indonesia mampu tampil sebagai sebuah model masyarakat muslim demokratis dengan terus berusaha secara kreatif-kultural mendapatkan inspirasi nilai-nilai Nabawiyah di Madinah dalam kehidupan sosial-politik-keagamaannya. Wallahu A’lam bi as-Showab.



Referensi Tulisan

El Fadl, Khaled Abou, And God Knows The Solders, The Authoritative and The Authoritarian in Islamic Discourses, (Maryland:University Press of America, rev. ed.,1997:2)
Mallat, Chibli, The Renewall of Islamic Law, Muhammad Bager as-Sadr, Najaf and the Shi’i International, (Cambridge: Cambridge University Press, 2003:4)
Bellah, Robert N, Beyond Belief: Esai-esai Tentang Agama di Dunia Modern, alih bahasa (Jakarta: Paramadina, 2000:213)
Hourani, Albert, alih bahasa, Pemikiran Liberal di Dunia Arab, (Bandung: Penerbit Mizan 2004: xxii)
Sukidi Mulyadi, artikel Defisit Demokrasi di Dunia Islam, dalam Islam Negara dan Civil Society, Gerakan dan Pemikiran Islam Kontemporer, (Jakarta: Paramadina, 2005: 229)

No comments: