Saturday, October 18, 2008

Mengapa RUU Pornografi Harus Ditolak? (I)


Setahu saya, tidak dibenarkan sebuah UU mengatur bagaimana seharusnya orang merasa dan berpikir. Demikian juga tidak dibenarkan sebuah UU mengatur bagaimana orang merasa, termasuk perasaan erotis dan hasrat seksual. Lantaran semua itu adalah masalah private yang tidak boleh/tidak bisa diatur oleh negara (RUU Pornografi jika diundangkan akan memberikan kewenangan bagi negara dan aparatusnya mengatur hal-hal private tersebut). UU, negara beserta aparatusnya hanya bisa mengatur jika hal-hal private tersebut diselewengkan dalam bentuk tindakan yang merugikan kepentingan orang lain.


Dengan demikian, saya memahami pasal 29 ayat 2 Universal Declaration of Human Rights yang anda kutip tersebut sebagai, dibolehkannya kehadiran UU dimaksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan yang layak terhadap hak-hak dan kebebasan-kebebasan orang lain, dan untuk memenuhi syarat-syarat yang adil dalam hal kesusilaan, ketertiban dan kesejahteraan umum dalam suatu masyarakat yang demokratis.


Dengan demikian, kehadiran UU dimaksud hanya bisa mengatur penyelewenangan pengunaan hak-hak dan kebebasan-kebebasan private tersebut dengan tujuan memberi jaminan keberadaan hak-hak dan kebebasan orang lain.


Jadi bukan mengatur hak-hak dan kebebasan private yang diakui dalam Universal Declaration of Human Rights, melainkan mengatur penyelewengan dalam pengunaannya yang dapat berdampak pada rusaknya hak-hak dan kebebasan orang lain.


Nah, jika kita kaitkan dalam konteks perdebatan kita tentang RUU Pornografi, maka legal draf RUU Pornografi seharusnya bukan mengatur bagaimana seharusnya orang merasa tentang hasrat seksual dan berpikir tentang sesuatu yang erotis. Melainkan seharusnya memberikan jaminan dengan mengatur penyelewenangan penggunaan hak-hak dan kebebasan tentang seksualitas, hasrat seksual, etc, agar tidak merugikan hak dan kebebasan orang lain.


Padahal, pasal 1 ayat 1 RUU Pornografi, yang mendefinisikan pornografi sebagai ”materi seksualitas yang dibuat manusia yang dapat membangkitkan hasrat seksual dan/atau melanggar nilai-nilai kesusilaan dalam masyarakat”.


Jelas sekali, rumusan definisi tersebut telah mengandaikan, secara publik dapat diketahui apa yang dapat membangkitkan hasrat seksual pada seseorang dan apa yang tidak, padahal hal tersebut sangat bersifat subyektif dan merupakan hak dan kebebasan private yang seharusnya dilindungi (kecuali jika penyimpangannya merugikan orang lain)


Contoh, bagi saya melihat pose wanita cantik berbikini dengan belahan dada menonjol di pampang pada salah satu papan iklan di salah satu sudut Mall Blok M tidak membangkitkan hasrat/perasaan seksual.


Tapi ‘kan belum tentu bagi orang lain. Bisa jadi bagi saya tidak membangkitkan hasrat, tapi bagi orang lain membangkitkan hasrat.


Menghadapi masalah yang teramat sangat subjektif seperti contoh sederhana ini, bagaimana seorang hakim memutuskannya? Bagaimana seorang jaksa penuntut umum mendakwakannya? Masak cewek tersebut harus dihukum penjara sekian tahun atau denda sekian miliar hanya karena hasrat seksual seseorang pria bangkit melihat posenya seperti itu di papan iklan Blok M Mall?


Tidak bisa tidak, dalam menghadapi kasus ini hakim dan jaksa akan menggunakan standar nilai tertentu (misalkan, konsep Islam tentagn batasan aurat; yang sebenarnya dalam kajian fiqh multiinterpretasi dan debatable)


Jadi, problem besar RUU Pornografi itu, legal drafnya mengatur (baca: melarang) suatu hal yang, selain diakui sebagai HAM oleh Universal Declaration of Human, juga mengatur sesuatu yang sangat subjektif, yakni, perasaan dan pikiran tentang membangkitkan hasrat atau tergolong porno atau tidak.


Poin lain, juga sangat berpotensi menimbulkan pengikisan nilai-nilai masyarakat dan budaya Indonesia yang beragam yang demikian juga berarti pengingkaran terhadap pluralitas warga negara, karena telah menggiring pada upaya totalisasi perilaku dan sikap dalam wadah yang tunggal atas standar nilai tertentu.


Padahal, penyelewenangan atas penggunaan hak-hak dan kebebasan private yang dalam merugikan orang/sekelompok orang lain adalah merupakan tindakan kriminal yang dapat diselesaikan melalui berbagai macam perangkat hokum yang kini ada, seperti, KUHP, UU Perlindungan Anak, UU Pers, UU Perfilman, UU Penyiaran dan lain-lain.


Tambahan, saya sepakat dengan banyak penentang RUU Pornografi yang mengatakan, segala sesuatu tidak harus diatur oleh undang-undang. Karena tidak sanggup mengatur banyak, termasuk hasrat seksual dan pikiran seseorang.


Karena itu dalam kajian sosiologi, kita tidak hanya mengenal hokum sebagai lembaga social, tapi juga mengenal hal-hal lain, seperti, kebudayaan, pendidikan, baik pendidikan umum maupun pendidikan khusus dalam agama serta bimbingan-bimbingan moral lainnya. Semua itu jauh lebih efektif mengontrol penggunaan kemerdekaan dan hak-hak private, ketimbang hokum. Karena hukum memang tak sanggup.


No comments: