Thursday, March 19, 2009

Demokrasi Mutanajis

Diterbitkan Rakyat Merdeka online

http://www.rakyatmerdeka.co.id/indexframe.php?url=situsberita/index.php?pilih=gazebo&id=136&page=1

Jumat, 27 Februari 2009, 13:20:52 WIB

Oleh: Buya A.A. Aru Bone


Sepanjang 10 tahun reformasi dan demokratisasi, Indonesia telah melakukan pembaharuan pada sejumlah aspek sistem kehidupan berbangsa dan bernegara.

Pada aspek politik, negeri ini panen pujian dari komunitas internasional karena merupakan negara demokrasi ketiga terbesar di dunia. Diantaranya, karena penerapan sistem pemilu langsung untuk pemilihan presiden/wakil presiden dan para anggota DPR/DPRD. Serta pilkada langsung untuk pemilihan para gubernur, bupati dan walikota. TNI yang selama Orde Baru terlibat politik praktis melalui Dwi Fungsi, kini telah kembali ke barak sembari melakukan pembaharuan internal menuju tentara profesional. Partai politik bukan hanya tidak diawasi seperti masa Orde Baru, tapi juga tumbuh subur karena sistem multipartai.

Pada aspek pengelolaan pemerintahan, pelaksanaan pemerintahan semasa Orde Baru yang sentralistik, kini berganti wajah Otonomi Daerah. Para gubernur, bupati, walikota dan DPRD yang dipilih langsung oleh rakyat, kini bebas dan berhak penuh menentukan arah pembangunan daerah, administrasi dan perencanaan, serta pengelolaan keuangan daerah.

Dalam aspek ketatanegaraan, sistem tata negara kita kerap disebut sempurna menyusul hadirnya Mahkamah Konstitusi yang berwenang menangani sengketa antar lembaga tinggi negara, pertentangan Undang Undang dengan Undang Undang Dasar, serta penyelesaian sengketa hasil pilkada dan pemilu.

Untuk aspek peradilan dan penegakan hukum, Mahkamah Agung yang merupakan benteng terakhir keadilan, kini bukan lagi subordinasi pemerintah karena secara independen berwenang penuh mengatur dirinya sendiri dari segi anggaran, penempatan dan pembinaan hakim serta pemilihan pimpinan Mahkamah Agung.

Tidak sampai di situ, Reformasi juga menghadirkan lembaga-lembaga independen seperti Komisi Yudisial, Komisi Kejaksaan dan Komisi Kepolisian yang berwenang mengawasi, menilai, bahkan menjatuhkan (merekomendasikan) sanksi terhadap para penyidik kepolisian, hakim dan jaksa dalam penanganan suatu perkara.

Di aspek perbankan. Bank Indonesia yang berwenang menentukan arah ekonomi makro, devisa serta pengelolaan dan pengaturan sistem perbankan nasional, kini juga independen bukan lagi merupakan subordinasi presiden.

Sementara di aspek bisnis dan usaha, kini hadir Komisi Pengawasan dan Persaingan Usaha yang independen dan berwenang memeriksa, menilai, mengawasi dan memberi sanksi bagi badan usaha yang melenceng dari prinsip-prinsip usaha yang adil dan bersih.

Di tingkat sosial, pers yang kerap disebut sebagai pilar keempat demokrasi, kini secara penuh menikmati kebebasan mengemukakan pendapat, mengawasi dan mengkritik pelaksanaan pengelolaan negara pada berbagai aspek dan tingkatan. Komponen masyarakat sipil pun kini bebas berserikat dan bersuara, LSM tumbuh subur tanpa pengawasan apalagi pelarangan. Bahkan para pekerja pun bebas berserikat, bersama memperjuangkan hak-haknya.

Reformasi juga melahirkan lembaga indepanden yang memiliki kewenangan super guna terciptanya pelaksaan pemerintahan yang baik, bersih dan bertanggungjawab, seperti Komisi Pembarantasan Korupsi dengan segenap perangat perundangan dan peradilannya, serta Badan Pemeriksa Keuangan.

Menurut akal sehat, pembaharuan pada aspek politik, hukum, peradilan, ekonomi, perbankan, sosial dan ketatanegaraan yang telah terlaksana dengan baik di atas, semestinya tidak lagi memberi kita alasan untuk bermasalah dengan kualitas kepemimpinan dan penyelengaraan pemerintahan di Pusat dan Daerah.

Reformasi sistemik pada banyak aspek bernegara di atas seharusnya menghadirkan good governance pada semua aspek dan lapisan pengelolaan negara.

Tapi kenyataannya, korupsi bukan saja masih marak tapi pemberantasannya masih tebang pilih dan tebang untung, pemborosan keuangan negara jamak terjadi pada setiap aspek dan lapisan institusi negara, pelaksanaan pemerintahan di Pusat dan Daerah minim accountabilitas. Seperti halnya korupsi, nepotisme dan kolusi pun masih dimaklumi sebagai bentuk usaha mempertahankan hidup, putusan hukum dalam kasus-kasus yang menyita perhatian publik pun masih jauh dari rasa keadilan masyarakat. Masyarakat umumnya masih jauh dari standar hidup sejahtera karena ketiadaan distribusi keadilan ekonomi.

Pertanyaan yang perlu diajukan adalah, apa yang kurang dengan pembaharuan sistem demokrasi kita?

Najis di Hulu
Jika reformasi dan demokratisasi diibaratkan sungai yang mengalir dari hulu ke hilir, maka selama 10 tahun Indonesia telah sukses menciptakan sistem dan lembaga-lembaga demokrasi di ujung sana , di hilir.

Reformasi memang telah menggerakan bandul kekuasaan dari tangan Soeharto di masa Orde Baru ke tangan rakyat. Namun harus diingat, bahwa sesungguhnya rakyat tidak pernah menggenggam kekuasaan. Dengan sistem demokrasi keterwakilan, bandul kekuasaan itu kini berada di tangan perwakilan rakyat (DPR) yang ditentukan oleh partai politik untuk disodorkan kepada rakyat agar dipilih melalui mekanisme pemilu.

Dengan demikian dapat dikatakan, bandul kekuasaan itu kini digenggam oleh partai politik melalui perwakilannya di DPR. Maka di era Demokrasi ini, yang berkuasa sesungguhnya bukanlah rakyat, tapi partai politik! Maka partai politik melalui

DPR adalah lembaga yang paling berkuasa dan menentukan maju mundurnya Republik Indonesia . Saya akan meneruskan logika ini dengan mengajukan bukti betapa sangat berkuasanya partai politik melalui DPR.

DPR sebagai salah satu lembaga tinggi negara memiliki sejumlah peran dan fungsi penting menentukan arah dan kebijakan negara.

Pertama, hak budget. Melalui hak budget DPR berkuasa menentukan APBN. Hak budget merupakan kekuasaan amat penting dan strategis karena berwenang menentukan prioritas anggaran dalam hal besaran, sector dan daerah.

Kedua, fungsi legislasi. Melalui fungsi legislasi DPR berwenang membahas dan mengesahkan semua Undang Undang yang diusulkan pemerintah. Maka DPR berwenang menentukan arah perjalanan dan tata cara bernegara.

Ketiga, fungsi pengawasan. Dengan fungsi pengawasan yang merupakan amanat konstitusi, DPR bertugas mengawasi pelaksanaan pemerintahan. Dengan hak angkat dan hak interpelasinya, dalam menjalankan fungsi pengawasannya DPR berhak penuh memanggil semua lembaga penyelenggara negara dan swasta. Semuanya wajib datang bila dipanggil.

Selain itu, DPR juga berhak memilih Dewan Gubernur Bank Indonesia, hakim agung, anggota dan Ketua Mahkamah Konstitusi, para ketua dan anggota komisi-komisi independen seperti Komisi Pemberantasan Korupsi, Komisi Pemilihan Umum, Pengawas Pemilihan Umum, Komnas HAM, Komisi Yudisial, Komisi Kejaksaan, Komisi Kepolisian, para anggota Komisi Pengawasan dan Persaingan Usaha. DPR juga berwenang memberi penilaian dan persetujuan terhadap calon Panglima TNI dan Kepala Polri yang diusulkan presiden, serta melakukan uji kelayakan dan kepatutan para calon duta besar yang diajukan presiden.

Maka cukup tergambar betapa sangat berkuasanya DPR. Dengan kekuasaan yang demikian besar, tak berlebihan jika DPR disebut sebagai lembaga yang menentukan maju mundurnya Indonesia . Pertanyaan penting yang harus diajukan adalah, siapa sebenarnya yang menguasai DPR?

Sebagai lembaga politik yang diisi oleh para politisi, tentu saja motif dan nuansa politik sangat kental dalam setiap pengambilan keputusan di DPR. Secara normatif, mekanisme pengambilan keputusan di DPR menempuh mekanisme musyawarah dan voting.

Tetapi dalam prakteknya, pengambilan keputusan di DPR adalah berdasarkan kesepakatan fraksi yang merupakan perwakilan partai politik di DPR. Kerap kali para anggota DPR tidak independen karena dibayang-bayangi hak recall yang dijatuhkan fraksi (partai politik) bila anggota DPR mbalelo.

Jadi, tak berlebihan jika dikatakan bahwa yang berkuasa di DPR sesungguhnya adalah partai politik karena partai politik melalui fraksinya adalah satu-satunya institusi yang mengarahkan setiap pengambilan keputusan di DPR. Maka tak berlebihan pula jika dikatakan bahwa, partai politik adalah institusi demokrasi yang menjadi tulang punggung yang menentukan maju mundurnya Indonesia . Partai politik adalah hulu pengambilan keputusan di DPR.

Demikian juga ketika pemilu atau pilkada, partai politik pun tetap berkuasa, bukan rakyat. Anda boleh girang ketika Indonesia dipuji dunia sebagai negara demokratis terbesar ketiga di dunia karena menggelar pemilu dan pilkada langsung.

Tapi ingat, ketika berada di bilik suara untuk menggunakan hak pilih, rakyat hanya memilih para calon anggota DPR/DPRD, calon presiden dan wakil presiden serta kepala daerah yang disodorkan oleh partai politik. Ketika menggunakan hak pilihnya, rakyat tidak pernah tahu dan tak pernah diberi tahu bagaimana mekanisme, proses seleksi dan pertimbangan pengajuan seorang calon oleh partai politik karena wewenang penentuan calon presiden dan wakil presiden, calon anggota legislatif dan pasangan calon kepada daerah sepenuhnya merupakan hak partai politik.

Maka jika proses demokrasi ibarat aliran sungai, maka partai politik adalah hulunya. Demikian gambaran partai politik sebagai institusi penting demokrasi. Tetapi parahnya, sebagai institusi penting demokrasi, realitas partai politik kita jauh dari sekadar mendekati ideal. Pada umumnya partai politik kita tidak demokratis; tercemar najis feodal, najis otoriter dan najis budaya politik uang.

Jika hulu sungai demokrasi kita terkena najis (mutanajis), mengalami pencemaran, maka di hilir pasti juga tercemar. Maka secara keseluruhan, proses demokratisasi yang oleh para ahli kerap disebut dimulai dengan pemilu atau pilkada pun tercemar najis.

Najis feodal, otoriter, politik uang dari hulu terus mengalir mencemari lembaga-lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif di Pusat dan Daerah. Mungkin karena demokrasi kita adalah demokrasi mutanajis, maka berbagai pembaharuan sistemik yang saya sebutkan di awal tulisan tak kunjung melahirkan good governance. Wallahu a’lam

No comments: