Krisis multidimensi yang belum beranjak pergi ini, dalam batas-batas tertentu berimplikasi negatif pada kepercayaan publik terhadap agama. Pudarnya public trust secara gradual ini, akibat akumulasi kekecewaan publik terdahap para cerdik pandai yang secara terus menerus mempertontonkan inkonsistensi antara pikiran dan ucapan dengan tindakan praktis. Puncaknya, tontonan tersebut secara perlahan seakan ingin mengkonfirmasi dugaan publik, bahwa para cerdik pandai tidak memiliki moral integrity dan intelectual integrity melakukan perbaikan.
Setiap usai sholat subuh chanel-chanel TV dan radio malangmelintang di angkasa, masuk ke bilik-bilik kamar, menyebarkan moralitas normatif agama. Tiap tahun ratusan judul buku agama dan moral dicetak oleh puluhan penerbit. Begitu banyak seminari, madrasah dan pesantren dibangun tiap tahun. Lidah para agamawan pun tidak pernah keluh meneriakan normativitas moral agama di mimbar-mimbar khutbah. Tapi semua itu hanya menjadi seruan moral belaka. Alih-alih menjadi panutan publik, seperti halnya para intelektual, agamawan pun kerap mendapat cibiran publik karena untaian katanya tak sejalan dengan aksi.
Sementara di seberang sana, masyarakat kerap menempuh jalannya sendiri dalam menghadapi permasalahan. Masyarakat menjadi gampang marah, ribut, saling bunuh, angka kriminalitas naik drastis, kepercayaan terhadap hukum merosot, kekerasan terjadi dalam banyak ragam bentuknya.
Memang ada sejumlah variable lain yang turut memicu agresifitas masyarakat, seperti, pertumbuhan ekonomi mikro yang jalan di tempat, korupsi yang belum angkat kaki, penggangguran dan beberapa masalah sosial politik lain. Tetapi pada batas-batas tertentu, cara itu ditempuh masyarakat di tengah rapuh dan memudarnya kepercayaan mereka terhadap agama.
Anda yang (merasa diri) pemeluk agama yang taat mungkin akan berkata, agama tidak bisa disalahkan jika para pemeluknya menyimpang dari nilai-nilai moral yang diajarkan agama. Tapi pertanyaannya, bagaimana anda bisa membuktikan kebenaran agama jika agama tidak mampu memberikan pengaruh positif terhadap pemeluknya? Lalu apa manfaat kebenaran agama, jika ia tidak mampu memberi pengaruh positif pada pemeluknya.
Bagi saya, hal tersebut merupakan tantangan bagi agama di tengah kompleksitas problematika modern. Yakni bagaimana mengembalikan fungsi revolusioner agama agar mampu secara aktif berperan dalam sejarah. Persisnya, agama harus mampu hadir dan kembali memainkan perannya sebagai perangkat perubahan sosial. Peran revolusioner itulah yang dimainkan para nabi dahulu. Di tangan Nabi Musa, agama mampu hadir sebagai sumber kekuatan bagi bangsa Mesir melawan kezholiman penguasa Fir'aun. Di tangan Nabi Isa, agama mampu hadir menyelamatkan bangsa Yahudi. Demikian pula di tangan Nabi Muhammad, agama mampu menyulap semenanjung Arabia jahiliyah menjadi sebuah ummah yang selama sekitar 9 abad pernah menjadi adidaya dunia.
Dengan beragam kompleksitas problematika modernitas kini, apakah agama masih mampu mengulang semua cerita sukses para nabi di atas. Secara tegas saya katakan ya, Revolusi Islam Iran saya rasa merupakan salah satu contoh nyata untuk itu. Chibli Mallat dalam bukunya yang berjudul, The Renewal of Islamic Law, Muhammad Baqir Sadr, Najaf and The Shi'i International, memaparkan sebuah studi komprehensif tentang kehidupan Muhammad Baqir Sadr yang memberikan kontribusi signifikan terhadap pembaharuan hukum Islam dan politik kontemporer Timur Tengah.
Mallat menjelaskan bagaimana Sadr dan jaringan intelektual jebolan Kota Suci Najaf (termasuk Imam Khumaeni) mereformasi sistem pendidikan agama, dan mengembangkan pendekatan inovatif sebagai kunci bagi studi hukum Islam, ekonomi dan perbankan di negara-negara basis Syiah seperti Lebanon, Iran, Irak, bahkan memainkan peran signifikan pada Revolusi Islam Iran, 1979.
Peran intelektual Sadr sebagai ulama-filosof telah mengulang cerita sukses agama dalam fungsinya sebagai factor determinan perubahan sosial-politik-ekonomi. Bahkan, seperti yang diakui Hassan Hanafi saat ia memberikan ceramah di Auditrorium UIN Jakarta,2001, bahwa ide al-yasar al-islami (kiri Islam) yang menjadi proyek pemikirannya sangat terinspirasi oleh kesuksesan Revolusi Iran. Kesuksesan Sadr dan jaringan intelektual Najaf (termasuk Khumaeni), seperti yang ditegaskan Franz Magnis Suseno dalam bukunya Pemikiran Karl Marx, Materialisme Utopis, saat sampai pada sub bab yang membahas teori Materiasme Sejarah Karl Marx, Romo Magnis menulis pernyataan tegas, andaikata Marx masih hidup hingga kini, saya percaya ia akan merevisi penyataannya yang mengatakan agama adalah candu, jika dia menyaksikan keberhasilan Revolusi Islam Iran.
Tentu saja saya tidak menganjurkan kita meng-copy paste kesuksesan jaringan ulama Najar (Sadr dan Khumaeni), karena revolusi tersebut memiliki konteks dan kultur keagamaan dan kultur keilmuan yang berbeda dengan kultur keagamaan dan kultur keilmuan kita. Tapi saya percaya, dalam batas-batas tertentu kesuksesan peran agama dan intelektual di Iran (dengan mengecualikan sejumlah kekurangannya), bisa menjadi inspirasi, bagaimana semestinya agama dipahami dan diperankan dalam panggungkelam Indonesia.
Wednesday, March 14, 2007
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment