Oleh, Buya A. A. Aru Bone
Semenjak berakhirnya Orde Baru, revitalisasi Islam radikal semakin dominan di ruang-ruang publik dengan aktor utamanya, ormas-ormas Islam radikal seperti FPI, MMI, Hizbut Tahrir dan Laskar Jihad. Orde Reformasi yang disepakati sebagai tahapan demokratisasi yang memprasyaratkan kebebasan berekspresi dan menyampaikan pendapat, nyatanya juga membawa angin segar dan momentum revitalisasi bagi ormas-ormas Islam radikal yang, karena kuatnya hegemoni negara, selama Orde Baru hanya menjadi gerakan bawah tanah.
Kondisi ini, secara gradual mengikis citra Islam Indonesia sebagai Islam moderat yang selama ini menjadi mainstream yang diperankan oleh ormas-ormas Islam seperti Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, Persis dan Nahdlatul Wathon. Kemerosotan citra Islam moderat semakin menemukan akselerasinya oleh pemberitaan media massa tentang kekerasan-kekerasan mengatasnamakan agama oleh ormas Islam radikal dan merebaknya berbagai aksi teror atas nama agama beberapa tahun terakhir.
Dalam tatapan dunia internasional, Indonesia pun mulai diwaspadai sebagai wilayah pembiakan sel teroris Asia Tenggara. Meski masih mengandalkan Indonesia mampu memainkan perannya sebagai mediator dialog Islam-Barat karena kultur Islam moderatnya, tapi Barat juga menempatkan Indonesia sebagai negara yang tidak aman dikunjungi karena potensi radikalisme agama yang dimiliki. Travel warning yang hingga kini masih diberlakukan oleh Amerika Serikat, Australia, Inggris dan Denmark, terhadap Indonesia, mempertegas hal ini.
Dengan demikian, Barat seakan ingin mengatakan, bahwa meski ber-mainstream Islam moderat, Indonesia tengah menjadi wilayah pembiakan sel terorisme yang ditandai revitalisasi radikalisme agama, hingga layak diberi travel warning yang artinya, dikelompokan dengan negara-negara semisal Irak, Iran dan Afganistan.
Selama Orde Baru, kelompok Islam moderat seperti Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, Nahdlatul Wathon dan Persis, meski dibungkam agar tidak berpolitik praktis melalui kebijakan fusi partai-partai Islam ke dalam Masyumi, tetapi difasilitasi dan dirangkul untuk memperkuat basis kultural Islam moderat melalui berbagai lembaga pendidikan, panti asuhan dan rumah sakit, etc. Hal ini lebih merupakan keniscayaan pragmatis-politis Orde Baru yang tidak ingin kehilagan dukungan politik kaum muslimin.
Sementara kelompok Islam radikal, selain dibungkam secara politik dan kultural, juga dikejar-kejar bagai anjing kurap dengan tuduhan terlibat berbagai gerakan separatis pendirian negara Islam (DII/TII) atau pemberlakuan Syariat Islam.
Dalam konfigurasi politik Orde Baru yang teramat menghegemoni, Islam radikal tak punya pilihan lain, kecuali menjadi gerakan bawah tanah. Bahkan banyak diantara tokohnya yang melarikan diri keluar negeri, lalu bergabung dengan kelompok-kelompok Islam radikal penganut Wahabisme dan terlibat dalam pertempuran di Afganistan, Palestina, Moro, etc. Ada juga yang tidak ke medan tempur, tetapi lari dari aparatur Orde Baru dengan memutuskan belajar Islam pada sejumlah perguruan tinggi Arab Saudi yang menganut Wahabisme. Mereka lah yang kini menjadi tokoh-tokoh kharismatik pada berbagai ormas Islam radikal seperti MMI, Laskar Jihad dan FPI.
Semenjak Era Reformasi yang meniscayakan terbukanya kebebasan berekspresi bergulir, kelompok Islam radikal kembali menemukan momentum aktualisasi dan revitalisasi di ruang-ruang publik. Sejumlah tokohnya, seperti Abu Bakar Baasyir yang pernah dilabelkan terlibat DII/TII, para veteran perang Afganistan pun kembali ke Tanah Air. Bersama komponen yang selama Orde Baru bertahan di dalam negeri dengan gerakan bawah tanah, seperti Ja’far Umar Tholib dan Habib Riziq (keduanya selama Orde Baru menempuh jenjang pendidikan S1 di Fakultas Syari’ah King Su’ud University, Riyadh), perlahan melalui ormas-ormas Islam radikal menggerogoti citra Islam moderat yang selama ini menjadi mainstream.
Fundamentalisme Islam yang dipengaruhi Wahabisme bercirikan eksklusif, tidak toleran, skriptural-tekstual, memang tidak serta merta mendorong orang melakukan kekerasan atas nama agama. Ada tahapan pelik berupa ekspur pengalaman kekerasan menjadi kekerasan praksis. Faktor lain, adalah konstruksi sosial politik dalam negeri dan dunia internasional yang tidak imbang dan menindas. Tatanan realitas yang demikian terbelah, senjang dan dominatif, antara kaya-miskin, Barat-Islam, penindas-tertindas, kapitalis-proletar, tertidik-terabaikan dengan segenap isu-isu praksisnya, menguatkan militansi keislaman untuk mengubah realitas dengan caranya sendiri.
Dalam pandangan kelompok fundamentalis ini, dunia pun dibagi menjadi "kami" dan "mereka," "yang taat pada Tuhan" dan "yang ingkar." Dalam pandangan mereka, ‘kebenaran" adalah yang berada di tangan mereka yang bulat tanpa benjol karena sumbernya dari Tuhan. Tugas mereka adalah memperjuangkannya untuk mewujudkan kebenaran yang mereka pahami, untuk mengubah realitas menjadi seperti yang mereka pahami. Bila perlu dengan cara-cara kekerasan. Dengan mengatasnamakan Tuhan, siapapun yang menentang adalah "yang ingkar." Dan karena itu harus dilawan, bila perlu dengan kekerasan.
Berbagai kasus kekerasan yang dilakukan ormas-ormas Islam radikal seperti FPI, MMI, dan Laskar Jihad, adalah contoh yang dapat kita sebutkan. Di sinilah fundamentalisme agama berperan memberikan justifikasi teologis melalui beragam interpretasi atas teks-teks keagamaan secara skriptural-tekstual yang merupakan salah satu ciri utama Wahabisme.
Pada tahap inilah, berbagai ormas Islam radikal tersebut mendapatkan justifikasi teologis atas kekerasan keagamaan yang mereka lakukan. Pada tahap ini pula, tampak benang merah antara Wahabisme dengan paradigma fundamentalistik yang dianut para tokoh kharismatik ormas-ormas Islam radikal tersebut. Persentuhan mereka dengan Wahabisme memberikan pengaruh paradimatiknya dalam membentuk paradigma keislaman yang fundamentalistik yang melegitimasi kekerasan atas nama agama yang dilakukan ormas-ormas Islam radikal semacam FPI, MMI, dan Laskar Jihad.
Pada tahap ini pula, tampak ada benang merah ideologis antara tokoh-tokoh kharismatik ormas Islam radikal Indonesia dengan ideologi Islam yang dianut tokoh-tokoh Islam radikal Timur Tengah, termasuk Osamah Bin laden yang berasal dari Saudi Arabia, negeri tempat Wahabisme berasal, tumbuh, dan menjadi ideologi keagamaan yang dianut negara dan masyarakatnya. Wallahu a’lam bi ashowab.
Sunday, March 18, 2007
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment