Diterbitkan Harian Republika, Minggu, 6 juni 1999
Rasanya merupakan hal yang wajar bila umat Islam menguasai Senayan, lantaran mayoritas pemilih adalah umat Islam. Dalam tataran etika dan insting politik, karena mayoritas pemilih dan penduduk adalah umat Islam, maka apa pun partainya, rasanya ada kewajiban untuk menentukan calegnya mayoritas adalah umat Islam, agar aspirasi masyarakat yang mayoritas itu benar-benar diperjuangkan dengan sungguh-sungguh.
Hal lain yang sangat esensial dan harus juga disadari oleh umat Islam bahwa karena suaranya adalah mayoritas, maka sangat menentukan arah bangsa; dan dengan memilih partainya yang calegnya didominasi oleh non-muslim, sama halnya dengan mengembalikan keadaan umat Islam seperti pada era Soekarno dan di era Soeharto tahun delapan puluhan, di mana umat Islam dipinggirkan, padahal waktu itu senayan didominasi oleh umat Islam, lalu apa jadinya nasib umat Islam bila Senayan didominasi oleh non-Muslim?
Bahaya yang tak kalah serunya adalah bila Senayan didominasi oleh non-Muslim atau tokoh-tokoh yang loyalitasnya kepada isu-isu Islam masih diragukan, adalah lahirnya sekularisme. Indonesia dikhawatirkan seperti Turki: penduduk mayoritasnya umat Islam, tapi Islam tidak diberi tempat dalam pemerintahan, karena agama dipisahkan dari masalah keduniawian.
Lahirlah pandangan seperti yang dianut Barat, bahwa Negara hanya akan maju bila dipisahkan dari agama. Dengan kata lain, agama dianggap sebagai penghambat untuk maju. Sejarah mencatat bahwa Barat maju pesat dengan berpendirian seperti itu. Namun ‘kan terjadi hal yang sebaliknya, bila umat Islam berpandangan sama seperti itu. Hal ini disebabkan faktor intern, bahwa doktrin Islam tidak sama dengan doktrin Barat (Kristen). Seperti yang dikatakan Muhammad Abduh (1859-1905)- seorang pembaharu pemikiran Islam modern-, bahwa Barat dapat maju karena meninggalkan agamanya, tetapi kita (umat Islam) akan maju kalau kita berpegang teguh pada ajaran agama kita.
Karena itu, agar kita tidak terjebak pada sekulerisme dan umat Islam tidak terpinggirkan untuk kesekian kalinya, ada baiknya umat Islam mencermati daftar caleg, dan sebesar apa loyalitas mereka terhadap perjuangan Islam, juga seberapa banyak kuantitasnya, apakah sudah proporsional sesuai dengan jumlah umat Islam yang mayoritas itu atau belum.
Hal ini penting, agar suara yang diberikan umat Islam itu tidak menjadi boomerang bagi dirinya sendiri. Hingga nanti kita tidak menyesal di belakang hari dengan menjadi “simpatisan buta” hanya karena ketua partainya kharismatik dan beragama Islam, tapi loyalitasnya pada Islam masih diragukan. Ditambah lagi pengurus partainya didominasi oleh non-Muslim. Dengan memilih partai politik yang seperti itu, tidak tertutup kemungkinan suara kita akan menjadi boomerang bagi kita. Wallahu a’lam bi ashowab
Buya Abdul Aziz Aru Bone, Mahasiswa Fakultas Syariah IAIN (sekarang UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta (Identitas disesuaikan saat pertamakali diterbitkan)
No comments:
Post a Comment