Sunday, March 11, 2007

Ujian Nasional Itu....

Oleh, Buya A. A. Aru Bone


Rabu siang, sekitar 50 siswa berseragam putih abu-abu menggelar education expo bertajuk “We Are Not Stupid” di halaman Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Jakarta. Mereka adalah adik-adik kita yang divonis gagal oleh sistem pendidikan negara dalam Ujian Nasional (UN) lalu.

Selain berorasi menyampaikan pendapat, para siswa itu memamerkan piala dan berbagai piagam penghargaan tingkat wilayah dan nasional dalam beragam perlombaan keterampilan dan ilmu pengetahuan yang pernah mereka ikuti.

Tidak sampai disitu, sebagian ada yang memperlihatkan nilai-nilai rapor membanggakan yang diperoleh sejak SD, SMP, hingga jenjang SMU, kepada sejumlah pengunjung.

Tampak ekspresi bangga di wajah mereka mempertontonkan semua itu. Salah seorang siswa bertanya kepada saya dengan mata berkaca-kaca setelah memperlihatkan nilai-nilai rapornya, “Dengan semua nilai-nilai ini Kak, apa iya saya bodoh?”

Saya tidak kuasa menahan haru saat itu, tapi saya juga tak ingin menangis mendengar pertanyaan yang bagi saya, merupakan gugatan terhadap sebuah sistem yang tidak adil.

Sebisa mungkin saya membesarkan hatinya. Bukan untuk menghibur, bukan. Tapi memang saya mengakui, dia adalah siswa berprestasi. Mereka yang kemarin siang berkumpul untuk mempertontonkan prestasinya, adalah para siswa berprestasi yang dikorbankan oleh sistem yang tidak adil. Mereka bergabung dalam Gerakan Siswa Bersatu. Bersatu memperjuangkan hak mereka yang direnggut oleh sistem negara.

Dalam salah satu orasi, seorang siswa bernama Reza Indrianto (dia bukan yg gagal UN. Dia lulus tapi ikut aksi karena solidaritas dengan teman2nya) berteriak lantang menggunakan pengeras suara, “Kami sengaja memamerkan semua prestasi ini, untuk memberitahukan kepada Pak Wapres, bahwa kami bukan siswa pemalas! Kami bukan siswa bodoh! Kami bukan siswa malas belajar!”

Melihat mereka, saya teringat adik saya, Fachruddin Razi Aru Bone, alumnus STM Negeri Ende, Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT). Dia juga pernah menjadi korban ketidakadilan sistem pendidikan kita. Divonis tidak lulus hanya karena meninggalkan bangku sekolah selama tiga minggu DENGAN KETERANGAN harus menemani Ibu yang dirawat di rumah sakit seusai operasi.

Padahal pada tiga mata pelajaran; fisika, matematika dan kimia, nilainya adalah yang tertinggi se-Provinsi Nusa Tenggara Timur. Sistem presentasi kehadiran di kelas atau absensi yang diterapkan membabi-buta, telah mengagalkan kelulusannya.

Dia hampir putus asa saat itu, tidak mau kembali ke bangku sekolah karena tak kuasa menanggung malu.

Saya harus pulang kampung hanya untuk memotivasi dia. Alhamdulillah hasilnya seperti yang kami harapkan. Pada tahun berikutnya, dia lulus dengan predikat lulusan terbaik dan tetap mendapat nilai tertinggi se-provinsi untuk mata pelajaran fisika, matematika dan kimia. Dia diterima sebagai mahasiswa Jurusan Fisika di UGM Jogya melalui jalur UMPTN.

Anda tahu? Diantara ke-50 siswa berprestasi yang hadir di halaman YLBHI kemarin siang, diantaranya ada yang telah diterima pada sejumlah universitas bergensi, seperti UI, UGM, Unbraw Malang, etc, melalui jalur PMDK. Bahkan, seorang adik manis bernama Melati, siswi SMA 6 Blok M Jakarta, sudah mendapatkan scholarship dan diterima pada salah satu universitas di dua negara secara bersamaan: Australia dan Jerman.

Lantas, apakah adil jika Pak Wapres Muhammad Jusuf Kalla ngotot agar Ujian Nasional ulangan tidak perlu dilaksanakan yang berarti mengorbankan masa depan mereka. Bahkan, dia menekan Mendiknas dan para anggota DPR asal fraksi-fraksi pendukung Koalisi Kerakyatan yang mendesak pemerintah melaksanakan UN ulangan (demikian pengakuan Kalla saat bertemu para pimpinan media massa di Istana Wapres, seperti yang dilaporkan Liputan6 SCTV beberapa waktu lalu)

Kalau ada anggota DPR yang ngomong keras agar UN ulangan dilakukan, saya langsung telpon ketua fraksinya supaya diurus anak buahnya itu. Ini memang pil pahit. Tapi hasilnya kita akan lihat beberapa generasi mendatang,” itu kata Kalla -saya ingat persis pernyataan itu-

Lha, lantas bagaimana dengan nasib adik-adik kita yang gagal itu!? Apakah mereka menjadi kelinci percobaan dari sebuah sistem negara!? Kasarnya, apakah mereka dikorbankan untuk cita-cita masa depan yang diangankan Kalla itu!?

Padahal, seperti yang dikatakan kuasa hukum para siswa, Gatot, pemerintah telah melakukan beberapa kesalahan dalam pelaksanaan UN. “Kita punya UU Sisdiknas dan PP 19/2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Dalam standar pendidikan tersebut, pasal 72 ayat (1) menyebutkan ada empat kriteria bagi siswa untuk dinyatakan lulus,” kata Gatot.

Kriteria yang dimaksud Gatot antara lain: siswa mengikuti program belajar, memperoleh nilai di beberapa mata pelajaran (ketrampilan, kewarganegaraan, dan lain sebagainya), lulus ujian sekolah, dan lulus UN. Nah, keempat ini menjadi akumulasi penilaian. Bukan hanya satu atau tiga mata pelajaran dalam UN. Pada pelaksanaanya, pemerintah telah melakukan kesalahan dengan menetapkan kelulusan tanpa akumulasi penilaian dari guru.

Saya juga mau tambahkan, bahwa UU Sisdiknas menyebutkan, UN ulangan adalah hak para siswa. Pada Pasal 66 ayat 3 mengatakan, ujian nasional diadakan sekurang-kurangnya satu kali dan sebanyak-banyaknya dua kali dalam satu tahun, dalam satu tahun pelajaran. Sedangkan pasal 69 ayat 1 menyatakan setiap peserta didik jalur pendidikan dasar dan menengah dan pendidikan jalur non formal kesetaraan berhak mengikuti UN dan berhak mengulanginya sepanjang sebelum dinyatakan lulus. Kalla dan Menteri Pendidikan Bambang Sudibyo telah berulangkali mengatakan, para siswa setingkat SLTA/SMU/Aliyah/STM atau SLTP/Tsanawiyah yang gagal UN itu bisa mengikuti ujian paket C.

Lha, bagi saya paket C itu merupakan penghinaan terhadap kemampuan akademik adik-adik kita yang gagal UN, karena mengkuti ujian paket C lantaran gagal UN, adalah dekadensi pendidikan formal bagi para siswa itu.

Lantas kenapa Pemerintah tidak melakukan UN ulangan? Padahal itu amanat UU Sisdiknas dan PP nomor 19/2005. Padahal dana Rp25 miliar untuk pelaksanaan UN ulangan telah disepakati antara Depdiknas dan Komisi X DPR.

Para siswa yang gagal UN itu paham, jika mereka merupakan pihak yang dikorbankan untuk mewujudkan mimpi penguasa.

Makanya mereka menyanyikan lagu Ratu yang dipelesetkan menjadi, “UN, buaya darat. Busyet…aku tertipu lagi. Mulutnya, manis sekali. Tapi, hati bagai srigala. Oh..oh..uye..ye…”

No comments: