Sunday, March 11, 2007

Belajar Berdemokrasi Dari Sepakbola


Oleh, Buya A. A. Aru Bone

Hingar-bingar pagelaran akbar Piala Dunia 2006 telah usai. Sudah sekitar sebulan kita dihibur para pemain berkelas dunia dari 32 negara peserta dengan aksi-aksi memukau memperebutkan si kulit bundar.

Sepanjang hajat akbar empat tahunan itu, kita mendukung, membanggakan, meneriakan, bahkan mengibarkan bendera negara yang kesebelasannya kita dukung.

Sadar atau tidak, kita telah larut dalam nasionalisme negara yang kesebelasannya kita favoritkan. Ini memang pengakuan pahit bagi sebuah negeri besar dengan penduduk tak kurang dari 230 juta jiwa, tapi tidak memiliki 11 pria yang piawai menggocek si kulit bundar.

Anda tidak perlu berkecil hati, toh kita tidak sendiri. Masih ada sekitar 70-an negara yang kesebelasan sepak bola negerinya bukan peserta Piala Dunia 2006, juga mengalami hal yang sama; tersihir sepak bola.

Selain membangkitkan nasionalisme kebangsaan bagi negeri-negeri peserta, popularitas piala dunia juga telah menembus sekat-sekat nasionalisme yang dirasakan di negeri-negeri yang bukan peserta. Makanya, tak peduli meski kita orang Indonesia, di depan layar televisi, kita berteriak, “Hidup Perancis, Hidup Inggris, Hidup Itali, etc…”

Kini piala dunia sudah usai, bersamaan dengan itu kebanggaan kita terhadap kesebelasan negara-negara lain yang merupakan aktualisasi dari lepasnya sekat-sekat nasionalisme antar bangsa, pun ikut usai.

Setelah ikut larut dalam hingar-bingar piala dunia, sebagai bangsa yang sampai kini hanya kuasa bermimpi kesebelasan sepak bolanya merumput di laga piala dunia, paling tidak kita semestinya bisa untuk mengambil satu-dua pelajaran berharga dari pesta sejagat empat tahunan itu.

Dalam konteks Indonesia sebagai negara multikultural yang menapaki transisi demokratisasi, selain mengajarkan tentang supremasi hukum yang tercermin dalam makna fair play di lapangan hijau, sepak bola juga mengajarkan penghargaan terhadap pluralisme. Dua faktor ini; supremasi hukum dan pluralisme merupakan prasyarat utama terbentuknya civil society yang merupakan rumah bagi demokrasi.

Tanpa membedakan warna kulit, suku-bangsa, stratifikasi sosial, sepak bola menuntut fair play yang meniscayakan setiap kesebelasan, setiap pemain, tunduk dan patuh pada satu peraturan yang sama tanpa ada diskriminasi. Sang wasit sebagai penegak peraturan, dituntut untuk tak segan-segan bertindak tegas meniupkan peluit lalu memberikan sanksi, jika ada pemain yang melanggar peraturan.

Tak peduli pemain bintang atau bukan, dari negara maju atau terbelakang, seberapa pun besar tekanan dan penolakan penonton, hukum harus tetap ditegakan jika ada pemain yang melakukan pelanggaran. Komitmen untuk sama-sama menegakan peraturan bukan hanya dituntut dari seorang wasit, tapi juga terhadap semua pemain dan pihak-pihak yang terlibat walau berada di luar lapangan hijau, seperti penonton, official, etc. Kesadaran semua pihak atas komitmen ini, diperlukan bagi terciptanya supremasi hukum demi terwujudnya fair play.

Sementara dalam lingkup peran pemain dalam masing-masing kesebelasan, sepak bola mengajarkan penghargaan terhadap pluralisme demi terwujudnya tujuan bersama. Penghargaan terhadap pluralisme memang meniscayakan anti-diskriminasi dan penghargaan terhadap tiap-tiap individu.

Tampaknya sulit dibantah, bahwa hanya dalam sepak bola-lah, integritas individu benar-benar dihargai sesuai fungsi, kontribusi dan perannya dalam tim. Karena itu dalam sepak bola, sebuah tim dibentuk dengan mempertimbangkan keahlian dan kemampuan individu.

Karena itulah, seorang keturunan Arab-Aljazair bernama Zinedine Zidane dipilih sebagai pengatur serangan yang merupakan tulang-punggung tim Perancis. Besarnya porsi yang diberikan bagi Zidan dalam tim, bukan jalan tanpa kerikil. Di tahun 1998, bangsa Perancis yang bule mengeluhkan banyaknya imigran asal negara-negara Islam di negerinya. Bahkan pada awal tahun ini kerusuhan massal imigran asing sempat marak di berbagai kota di Prancis.

Tapi karena memang tim sepak bola dibentuk dengan mempertimbangkan keahlian dan kemampuan individu, maka figur-figur sentral dalam Tim Ayam Jago itu pun diisi para imigran. Sosok seperti Zizou –sapaan Zidan-, Thierry Henry, Patrick Vieira, merupakan para imigran atau keturunan imigran yang membawa Les Bleus memenangi Piala Dunia 1998 dan finalis Piala Dunia 2006.

Para imigran yang merupakan kelompok sosial minoritas itu telah menghadiahkan kebanggaan bagi negerinya. Saat berada di lapangan hijau, mereka berusaha memberikan yang terbaik bagi negerinya, seakan tak peduli jika kaumnya masih saja dipandang sebagai masyarakat kelas kedua.

Bagi saya, Perancis nomer satu. Saya hidup untuk negeri saya, begitu juga semua orang di Perancis. Jadi saya harus melakukan yang terbaik untuk negeri saya. Kami ingin Perancis kembali juara,” begitu kata Zidan dalam konferensi pers menjelang partai final melawan Itali.
Kita juga pernah mendengar Shoe Hok Gie, Liem Swie King, Kwik Kian Gie, bicara seperti itu. “Saya harus melakukan yang terbaik untuk negeri saya…!”

Sebentar lagi, insya Allah, kita juga akan mendengar Jaffar Umar Thalib, Habib Rizieq, juga Abu Bakar Ba’asyir, bicara lantang: “Bagi saya, Indonesia nomer satu. Saya hidup untuk negeri saya, begitu juga semua orang di Indonesia. Jadi saya harus melakukan yang terbaik untuk negeri saya. Kami ingin Indonesia bebas dari korupsi, menjadi sebuah negeri tanpa rasa ngeri, karena tak ada lagi penindasan terhadap rakyat kecil….!”

Ya, kita semua harus berkomitmen mewujudkan Indonesia yang menegakan supremasi hukum tanpa kompromi, sebagaimana yang diajarkan sepakbola dengan fair play-nya. Secara simultan, juga mewujudkan penghargaan terhadap pluralisme dalam segala bentuknya. Karena dua hal ini, kita butuhkan sebagai prasyarat bagi kesuksesan Indonesia kita dalam menapaki tangga transisi demokrasi dan terwujudnya civil society.
Eh, ngomong-ngomong, kapan ya Indonesia bisa ikut piala dunia…..?

Salam, ditulis sehari setelah pertandingan final Piala Dunia 2006.

No comments: