Diterbitkan Harian Rakyat Merdeka, Jumat 5 Desember 2003/11Syawal 1424 H
Oleh: Buya A. A. Aru Bone
Vietnam adalah contoh terdekat ketegasan pemerintah membasmi korupsi. Sesama Negara Asia Tenggara ini selasa kemarin (2/11) memvonis mati seorang wanita mantan direktur perusahaan negara (BUMN), karena terbukti korupsi hampir USD 7 juta (sekitar Rp 58,5 miliar). Dua mantan wakil menteri dan lima pejabat penting juga dijebloskan ke penjara karena membantu ibu mantan direktur itu memuluskan kegiatan korupsinya.
La Thi Kim Oanh (48) mantan direktur perusahaan investasi dan pemasaran di bawah kendali Kementrian Pertanian dan Pengembangan Pedesaan Vietnam, tampak pasrah kala hakim menjatuhkan vonis mati di hadapan regu tembak. Tatapan wanita ini kosong. Mesti diadili di ruangan berpenyejuk, sesekali buliran kristal terlihat menetes dari kulit halus wajahnya.
Dalam kasus ini, pemerintahan Vietnam tampak jelas tak ingin dibodohi koruptor yang berusaha mengulur-ulur sidang. Terdakwah bekas Wakil Mentri Nguyen Quang Ha yang juga menjadi tersangka karena memuluskan aksi Kim Oanh, meski dinyatakan sakit, tetap digelandang ke ruangan sidang.
Ketegasan pemberantasan korupsi yang ditunjukkan Pemerintah Vietnam seharusnya menjadi cermin benggala bagi Indonesia. Ini juga mengindikasikan, peluang pemberantasan korupsi di Vietnam lebih terbuka lebar ketimbang di negeri ini. Pasalnya, pemerintah Vietnam memiliki political will pemberantasan korupsi, sedangkan Pemerintah Indonesia tidak. Malah, seakan meniupkan angin segar pada para koruptor dengan khawatir melanggar HAM, jika koruptor dihukum mati.
Celakanya, aparatur penegak hukum yang diharapkan mampu memberantas korupsi, ternyata setali tiga uang. Hingga tak berlebihan, bila Ketua Umum PBNU Hasyim Muzadi dalam rapat kerjanya dengan Komisi VI, Selasa kemarin, mengaku kehilangan harapan, aparatur penegak hukum mampu memberantas korupsi.
Untuk itu sangat beralasan, jika Muzadi mengembalikan harapan pemberantasan korupsi kepada rakyat, melalui gerakan kultural berantas korupsi yang telah ditandatangani oleh NU dan Muhamadiyah beberapa waktu lalu. Kedua ormas Islam ini tampaknya ingin membalik paradigma pemberantasan korupsi menjadi, dari dan oleh rakyat, setelah pemerintah terbukti tak berdaya. Terlepas dari ampuh atau tidaknya gerakan kultural ini, yang jelas kepada wartawan saat itu Muzadi mengatakan, “Ini merupakan senjata terakhir, apapun hasilnya ini harus dilakukan. Sebagai muslim kita hanya diwajibkan berusaha, hasilnya kita serahkan kepada Allah”.
Dalam bahasa yang lebih vulgar, Ketua Umum PP Muhammadiyah, Syafi’I Maarif saat penandatanganan MoU Berantas Korupsi dengan NU berujar,”Dengan gerakan ini, kami ingin membuat rakyat marah terhadap koruptor, tentu dengan tetap berlandaskan hukum.”
Kedua tokoh Islam itu dan semua komponen bangsa yang menginginkan korupsi angkat kaki dari negeri ini pantas muak menyaksikan tumbuh suburnya praktek korupsi yang tampaknya telah dihargai sebagai salah satu bentuk perjuangan mempertahankan hidup.
Padahal tak bisa dipungkiri, korupsi merupakan penyebab utama dari keterpurukan bangsa, dalam aspek ekonomi, politik, stabilitas nasional, pendidikan dan seterusnya. Masyarakat semakin terperangah membaca laporan Indeks Persepsi Korupsi (IPK) yang dikeluarkan Tranparancy International (TI) tahun 2003, yang menempatkan Indonesia di rangking keenam negara terkorup di dunia. Sementara di Asia, negeri ini menempati urutan ketiga terkorup setelah Bangladesh dan Myanmar. Dengan demikian, di Asia kita ternyata lebih korup dibanding Papua Newguene, Vietnam dan Phiphina.
Telah adanya UU Anti Korupsi, serta Komisi Pemberantasan Korupsi yang sebentar lagi dibentuk, tidaklah menarik untuk diperdebatkan. Jauh lebih penting adalah menumbuhkan kesadaran rakyat melawan korupsi setelah pemerintah terbukti mandul melakukannya.
Maka kesadaran anti korupsi dengan menjelaskan hak-hak masyarakat tentang peran serta upaya pemberantasan korupsi merupakan agenda yang harus dikonsumsi umum. Hak tersebut seperti; pertama, hak untuk memperoleh layanan dan memberikan informasi. Kedua, hak untuk mencari, memperoleh dan memberikan informasi atas adanya dugaan korupsi. Ketiga, hak menyampaikan saran dan pendapat secara bertanggungjawab atas pertanyaan tentang laporan yang diberikan kepada penegak hukum. Untuk melakukan itu dituntut pemerintahan yang transparan bertanggung jawab terhadap publik.
Tidak sekedar itu, juga memperhatikan secara serius kontrol pers dan masyarakat. Tawaran ini lebih baik lagi jika didukung dan dimulai dari masyarakat sipil (civil society) yang dianggap mempunyai kekuatan tawar dengan penguasa dan dapat melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan negara.
Asumsinya, ini melibatkan wakil-wakil masyarakat seperti serikat buruh, organisasi petani, lembaga swadaya masyarakat dan sebagainya. Pendek kata, gerakan pemberantasan korupsi dijadikan gerakan kultural dengan tetap berlandaskan pada hukum.
Dengan demikian akan lebih membuka keran bagi masyarakat untuk berperan aktif memberantas korupsi. Jika tidak melibatkan masyarakat dalam pengawasan penyelenggaraan negara, sama artinya dengan memberikan kekuata absolute kepada pejabat publik, tanpa transparansi dan pertanggungjawaban. Kondisi demikian jelas bertentangan dengan prinsip demokrasi.
Di sisi lain, dalam konteks pemilu 2004 mendatang, kiranya seruan Muzadi di sela-sela raker dengan Komisi VI Selasa lalu, agar rakyat memilih presiden yang memiliki komitmen memberantas korupsi serta tidak pernah terlibat praktek korupsi harus disambut baik.
Seperti yang dikatakan Muzadi, gerakan kultural Berantas Korupsi dengan paradigma dari dan oleh rakyat, (mungkin) merupakan cara terakhir alias golok pamungkas menebas korupsi, setelah pemerintah dan aparat hukum negeri ini terbukti mandul dan tak berdaya. Wallahu a’lam bi ashowab.