Sunday, March 11, 2007

Cinta, Islam dan Valentine


Oleh, Buya Abd Aziz Aru Bone

Beberapa putaran bumi ke depan, Hari Kasih Sayang atau Valentine’s Day tiba. Tepatnya pada tanggal 14 Februari ini. Tradisi peringatan tersebut memang datang dari Barat.

Ini dirayakan sebagai suatu perwujudan cinta kasih seseorang. Perwujudan yang bukan hanya untuk sepasang muda-mudi yang sedang jatuh cinta. Namun, ini memiliki makna yang lebih luas lagi. Di antaranya cinta terhadap Tuhan, kasih antara sesama, pasangan suami-istri, orangtua-anak, kakak-adik, bahkan juga bermakna bagi mereka yang menanti dengan penuh harap cemas nasib cintanya. Hmm….

Maka pada coretan khusus ini, aku hanya berusaha fokus pada hubungan cinta antara dua anak manusia yang berlainan jenis seksual, atau “Cinta Erotis” sekadar meminjam istilah Erich Fromm (Lihat The Art of Loving).

Perayaan Valentine’s Day yang identik pula dengan pemberian kado, disadari atau tidak, telah diserap oleh orang-orang Indonesia. Sudah banyak orang Indonesia yang merayakannya dengan kebiasaan masing-masing.

Kini, jika Anda berjalan-jalan ke mall atau pusat perbelanjaan Ibukota, hiasan perayaan Imlek yang didominasi warna merah darah telah diganti warna merah jambu. Pada setiap helaian pita atau balon, ada tergores nama seorang tokoh suci dari Roma asal abad ketiga, Santo Valentine.

Dari namanya saja, perayaan Hari Kasih Sayang ini serasa memiliki perpaduan sebuah tradisi yang bernuansa Kristiani dan Roma kuno. Ada beberapa versi mengenai legenda sosok Santo Valentine ini.

Diantaranya. Dahulu, seorang pemimpin agama Katolik bernama Valentine bersama rekannya Santo Marius secara diam-diam menentang Pemerintahan Kaisar Claudius II kala itu. Pasalnya, kaisar tersebut menganggap bahwa seorang pemuda yang belum berkeluarga akan lebih baik performanya ketika berperang. Maka, ia melarang para pemuda menikah, demi menciptakan prajurit perang yang potensial.

Nah, Valentine tidak setuju dengan peraturan tersebut. Ia secara diam-diam tetap menikahkan setiap pasangan muda yang berniat untuk mengikat janji dalam sebuah perkawinan. Hal ini dilakukannya secara rahasia. Lambat laun, aksi Valentine tercium oleh Claudius II. Valentine harus menanggung perbuatannya. Ia dijatuhi hukuman mati. Kasihan kan…

Selama mendekam di balik jeruji besi menunggu hadirnya hari eksekusi, Valentine jatuh hati pada anak gadis seorang sipir penjara. Gadis yang dikasihinya itu senantiasa setia menjenguk Valentine di penjara. Tragisnya, sebelum ajal tiba, Valentine menorehkan sebuah surat untuk sang gadis.

Ada tiga buah kata yang tertulis sebagai tanda tangannya di akhir surat dan menjadi populer hingga saat ini, yang dalam Bahasa Inggris kerap ditulis menjadi ‘From Your Valentine.’

Akhirnya, sekitar 200 tahun sesudah itu, Paus Gelasius meresmikan tanggal 14 Febuari tahun 496 sesudah Masehi sebagai hari untuk memperingati Santo Valentine. Ekspresi perwujudan cinta Valentine terhadap gadis yang dicintainya itu masih terus digunakan oleh banyak umat manusia lintas agama dan budaya, dalam rentang waktu 16 abad, hingga masa kini.

Tradisi sejumlah agama besar memang terlibat aktif mengabadikan kisah “Cinta Erotis” para tokohnya. Tidak itu saja, sejarah agama-agama besar dunia juga meninggalkan napak tilas kisah cinta erotis para tokohnya disertai keterangan tentang kompleksitas hubungan antara laki-laki dan perempuan ini.

Kita sebut saja, sejarah lahirnya Taj Mahal yang amat indah dan monumental di India dengan sejumlah peperangan yang menelan korban ribuan nyawa, semuanya juga berangkat dari kompleksitas dan misteri Cinta Erotis ini. Kisah klasik seputar tragedi cinta erotis antara Romeo dan Juliet di Barat, Layla Majnun di Parsia, atau legenda pembangunan Candi Prambanan yang menjadi landmark sejarah kejayaan kerajaan (baca: agama) Hindu di Nusantara, semuanya adalah contoh adanya kekuatan dahsyat yang terpendam yang bersumber dari Cinta Erotis masing-masing pelakunya.

Nah, seperti halnya tradisi Agama Katolik (Roma) di atas, sejarah Taj Mahal, Candi Prambanan Hindu dan kisah-kisah cinta klasik tersebut, dalam tradisi Islam, kita juga dikenalkan dengan kisah tragedi cinta erotis putera puteri Nabi Adam dan Siti Hawa, yakni kisah konflik asmara antara Habil dan Qobil yang bersaing memperebutkan cinta saudari perempuan mereka. Konflik cinta ini berakhir dengan kematian salah satu putera Adam-Hawa itu. Kematian ini juga mengawali pembunuhan pertama dalam sejarah umat manusia!

Pun dalam kisah yang lain, Al-Qur’an juga menceritakan kisah cinta erotis Zulekha terhadap Nabi Yusuf. Bahkan, kisah ini dituturkan Al-Qur’an dalam sebuah surah tersendiri; Surah Yusuf.

Dalam untaian kehidupan Rasulullah Muhammad SAW pun, para ulama dalam rentang sejarah Islam tak pernah alpa menyebutkan besarnya rasa cinta erotis Siti Khadijah Al-Kubra terhadap seorang pemuda bernama Muhammad Ibn Abdullah. Pemuda jujur berusia 25 tahun yang bekerja sebagai distributor sekaligus pengecer komuditas dagang Khadijah ke Negeri Syam dan Basroh.Karena tertarik pada kepribadiannya yang agung dan kelihaiannya berdagang, tanpa sungkan janda berusia 40 tahun itu meminta kesediaan sekretaris pribadinya, Nafsiah binti ‘Aliyah, supaya mengajukan pinangan pada sang paman Abu Tholib, agar Muhammad sudi menjadi suaminya.

Pernikahan pun digelar. Pasangan ini dikaruniai enam anak, dua laki-laki: Qasim dan Abdullah, keduanya meninggal waktu masih bayi - dan empat orang anak wanita: Fatima az-Zahra, Zainab, Ruqaya, dan Ummi Kalsum. Karena Qasim-lah kadang-kadang Nabi disebut Abul Qasim (ayah Qasim). (Lihat, Tabaqot Al-Kubro, Ibn Saad. Lihat juga Shoheh Muslim, Imam Muslim. Pada yang Bab menerangkan membolehkan meratapi kuburan).

Khadijah sempat mendampingi Muhammad 25 tahun lamanya setelah perkawinan. Dialah wanita dan manusia pertama yang menyatakan keimanan dan kepercayaan penuh terhadap agama “baru” yang dibawa suaminya Muhammad, di saat belum seorang percaya manusia pun percaya. Wanita inilah yang menemani dan menguatkan Muhammad di saat beragam ancaman, teror, penghinaan datang bertubi-tubi. Wanita mulia inilah yang mengorbankan semua kekayaan yang ia miliki untuk tugas suci suami tercinta. Dia pula yang mendekap, menyelimuti, menenangkan dan meyakinkan Muhammad akan kebenaran risalah Ilahi yang diterima.

Khadijah meninggal dunia tiga tahun sebelum Hijrah. Kepergian istri mulia ke haribaan Ilahi itu meninggalkan duka mendalam pada diri Rasulullah. Beliau sangat terpukul dan sedih. Momen ini diberi sebutan khusus dalam sejarah Islam sebagai “’Aamul Khuzni,” tahun duka cita.Para ulama percaya, Khadijah adalah isteri yang paling dicintai Nabi diantara semua istri beliau, termasuk Siti Aisyah. Rasulallah pun masih kerap memuji dan menyebut-nyebut kebaikan dan keutamaan almarhumah istri pertamanya itu di hadapan para istrinya yang lain. Setiap kali melihat wajah Fatimah putrinya, Nabi kerap teringat Khadijah. Fatimah memang mengingatkan beliau pada Khadijah, karena putrinya itu mewarisi kecantikan fisik, keanggunan dan kemuliaan almarhumah ibunda.

Seperti halnya kisah cinta erotis Rasulullah SAW tersebut, para sejarawan muslim juga mengabadikan kisah cinta erotis para putri Nabi. Diantara yang paling banyak dirujuk adalah kisah cinta erotis Siti Fatimah dengan Sayyidina Ali Ibn Abi Tholib.

Fatimah merupakan gadis cantik, cerdas dan berperangai mulia. Karenanya tak heran bila banyak pria, diantaranya para sahabat utama Rasulullah jatuh hati padanya. Beberapa tokoh senior seperti Abu Bakar As-Shiddiq, Umar Ibn Al-Khattab, Ustman Ibn Affan pernah menyatakan cinta mereka pada gadis ini. Tapi semuanya ditampik.Bahkan, Ali Ibn Abi Tholib yang kelak menjadi suaminya, pernah pula ditampik cintanya beberapa kali. Karena memang sejak awal Fitimah tidak sedikitpun menaruh rasa pada pemuda itu. Memang Ali sempat ragu, cemas dan gundah. Tapi ia bukan pemuda yang mudah putus asa, karena keyakinannya yang tinggi bahwa gadis itu memang ditakdirkan untuk menjadi pendamping hidupnya, pengisi kelemahannya, penutup kekurangannya, maka ia tetap berusaha penuh harap.

Hingga akhirnya, dengan izin Allah, mereka menikah. Sejarah sudah banyak mencatat, kekuatan cinta erotis mereka dan kepasrahan pada Allah, telah menjadi kekuatan tersendiri dalam meniti pijak demi pijak anak tangga penderitaan dalam membina rumah tangga dan membesarkan kedua putera belahan jiwa; Hasan dan Husein.Setelah saya sebutkan beberapa contoh kisah erotis yang memberikan daya dorong dan kontribusi besar dalam pengembangan agama-agama besar dunia; Katolik, Hindu dan Islam, saya juga mengingatkan bahwa cinta erotis pun berpotensi negatif. Dalam Al-Qur’an kita diingatkan oleh drama kosmis Nabi Adam dan istri beliau Siti Hawa (lihat penuturan kisah ini dalam Al-Qur’an: Surah Al-Baqorah 130-135).

Dalam sejumlah kitab tafsir klasik, diantaranya; Tafsir Al-Maraghi dan Tafsir Ibn Katsir disebutkan, awalnya Syetan tidak berhasil menggoda Nabi Adam agar melanggar perintah Allah yang melarang mendekati (apalagi memakan) pohon khuld (keabadian). Tidak berhasil menggoda Adam, Syetan beralih menggoda Siti Hawa, dan berhasil. Siti Hawa lah yang berhasil meyakinkan Nabi Adam untuk memakan buah Khuld, yang dengan sendirinya membuat mereka berdua melanggar titah Allah itu.

Tentu saja penafsiran yang lebih dipengaruhi oleh unsur-unsur Israiliyyat (Keyahudian –karena memang umat Yahudi mempercayainya demikian) di atas bisa kita kritisi, bahkan kita bantah karena, selain tidak didukung oleh penjelasan lain dalam Al-Qur’an dan Hadist Shoheh, juga sangat bias gender. Bahkan juga, bertentangan dengan ayat-ayat Al-Qur’an yang lain yang menyebutkan kesetaraan dan kemitraan peran pria dan wanita, suami dan istri. (Qs. Alu Imran:195, tentang asal kejadian laki-laki dan perempuan; Qs. An-Nisa:21, dalam konteks hubungan suami istri; Al-Baqorah:187, bahwa kemitraan suami istri dinyatakan sebagai kebutuhan timbal balik; At-Tawbah:71, juga dalam kegiatan sosial).

Meski demikian, saya tidak ingin memperpanjang isi coretan ini dengan menjelaskan argumentasi-argumentasi yang membantah model penafsiran di atas. Melainkan, model penafsiran bias gender ini sengaja saya ajukan untuk sekadar memberi contoh –he..he…he…meski terkesan memaksakan, karena saya sendiri tidak setuju- yang diambil dari Kitab Suci (sebab kalau contoh dalam kehidupan manusia biasa tentu teramat sangat banyak kan), bahwa selain potensi positifnya, cinta erotis juga menyimpan potensi negatif.

Mungkin karena potensi negatif inilah, Nabi Adam dan Siti Hawa terusir dari “syurga”. Tentu saja, dosa beliau berdua telah dimaafkan oleh Allah seperti yang Dia sebutkan pada potongan ayat selanjutnya pada rangkaian drama kosmos ini dalam Al-Qur’an. Bahkan, jika kita memperhatikan kaitan ayat per ayat dengan sedikit lebih teliti, ditambah dengan penguraian susunan grammatical kata per kata pada Surat Al-Baqorah, ayat 130-135 yang menceritakan drama kosmis ini, maka tampak cukup jelas bahwa semuanya tidak lepas dari skenario Tuhan.

Artinya, Adam dan Hawa beserta anak cucu memang ditakdirkan untuk hidup di dunia sebagai khalifah, bukan di “syurga.” –sengaja kata ini saya beri tanda petik, karena ada sejumlah perbedaan penafsiran tentang “syurga” yang ditempati Adam-Hawa itu. Lagi-lagi saya tidak akan menjelaskannya disini-.

Pertanyaan selanjutnya yang dapat kita ajukan disini, kenapa sih, agama-agama besar itu terlibat aktif mengabadikan kisah cinta erotis para tokohnya. Pengabadiannya bukan hanya pada tataran sejarah masing-masing agama, bahkan pada tataran normatif: kitab sucinya.

Kita bisa saja melist sejumlah jawaban untuk pertanyaan iseng ini. Sebagian jawaban untuk ini juga, secara tidak langsung, sudah saya sebutkan saat mencantumkan beberapa contoh sisi positif cinta erotis ini.

Tapi saya lebih senang membiarkan Al-Qur’an menjawabnya sendiri. Untuk itu secara padat, jawabannya ada pada Al-Qur’an: Surah Ar-Rum ayat 21. Terjemahannya kira-kira begini: “Dan dari tanda-tanda kebesaran-Nya (adalah), Dia menciptakan kamu berpasangan dari jenis mu sendiri. Agar kamu merasa tenteram dengan pasangan mu. Dan Dia menjadikan antara kalian rasa kasih dan sayang (cinta). Sesungguhnya pada yang demikian itu, terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berfikir.”

Maka dengan berlandaskan sejumlah alasan yang saya tulis dalam coretan ini. Saya rasa sudah merupakan kewajiban kita untuk mensyukuri rasa cinta erotis yang Allah anugerahkan pada hati kita, tentu dalam pemaknaan seluas dan sepositif yang kita bisa.

Diantaranya, adalah dengan merayakan cinta erotis ini sebagai bentuk kecil dari rasa syukur. Dan karena mempertimbangkan konteks masyarakat Indonesia kini yang mengambil momentum perayaan Valentine’s Day –seperti yang sudah saya sebutkan di awal-, maka kita pun boleh merayakannya.

Salam, semoga suatu hari, cinta dengan kesadaran ketuhanan berkenan hadir di hati tiap kita. Dengan cinta seperti inilah, cinta akan memenuhi kehendak Sang Pemiliknya, Allah. Amin. Wallahu a’lam bi ashowab

Buya Abdul Aziz Aru Bone

Jakarta, 6 Februari 2006.

1 comment:

Anonymous said...

ok baguss pak...itulah cinta sebenarnya...:)