Sunday, March 11, 2007

Beragama: Dari Ritus ke Aksi


Diterbitkan 3 edisi oleh Harian Rakyat Merdeka, pada minggu terakhir Ramadhan
SEPERTI Ramadhan kemarin, kaum muslimin Indonesia akan kembali menjalaninya, kali ini pun dengan keprihatinan mendalam karena banyak masalah menimpa bangsa ini yang tak kunjung beranjak pergi.

Belum hilang kenangan pahit tragedi Tsunami yang meluluhlantakan Aceh dan Nias, akhir Desember lalu. Kita kembali dihantui oleh berbagai ancaman konflik
dan gagalnya implementasi perundingan Helshinki. Belum beranjak bangsa ini dari keterpurukan ekonomi yang terus menghimpit, masyarakat pun kembali dibebankan
oleh pencabutan subsidi BBM yang berimplikasi melesatnya harga jual BBM eceran dalam negeri sebagai konsekuensi dari ketidakmampuan Pemerintah menanggung beban subsidi atas selisih pembelian harga minyak di pasar internasional yang bertengger di atas angka $65 per barel.

Ironisnya, di tengah mahal dan langkanyaBBM, masyarakat dikejutkan oleh berita keterlibatan sejumlah pejabat Pertamina yang melakukan pencurian minyak melalui pipa bawah laut senilai Rp8,8 triliun per tahun di Lawe-Lawe, Kalimantan Timur.

Wajah muram Indonesia tahun ini pun dipertebal olehmaraknya aksi kekerasan saat Pilkada di berbagaidaerah yang merupakan cerminan gagalnya konsolidasi
demokrasi di tingkat lokal. Kabar sedih juga datangdari 13.662.594 jiwa rakyat yang berada di bawah gariskemiskinan (data versi BPS, 2005) yang dipaksa semakin
mengencangkan ikat pinggang menjelang puasa dan lebaran nanti, karena tak kuasa membeli bahan makanan yang terus meroket sebagai implikasi naiknya harga
minyak dunia dan menurunnya nilai tukar rupiah.

Pun sederet tumpukan persoalan klasik lain yang masih menjerat leher negeri ini, seperti korupsi yang terus-menerus dilakukan secara sistematik karena
lemahnya supremasi hukum, padahal keduanya dipercaya memberi sumbangsih besar terhadap rapuhnya ekonomi dan bobroknya birokrasi negara.

Reformasi yang sudah berlangsung kurang lebih tujuh tahun, sampai saat ini belum memberikan jawaban atas tuntutan yang diharapkan masyarakat. Bangsa ini masih mengalami keterpurukan multidimensi. Tuntutan dan harapan masyarakat adalah bagaimana perubahan sosial politik yang terjadi berimbas pada perubahan sosial
ekonomi rakyat, yakni tingkat kesejahteraan menjadi lebih baik.

Tak pelak, hingga detik ini, setiap ada perubahan politik nasional, belum menampakan upaya politik untuk menyelesaikan masalah-masalah besar bangsa yang
meliputi ancaman separatisme, keterpurukan ekonomi, hiruk-pikuk politik yang berpotensi gagalnya konsolidasi demokrasi, kekerasaan sosial keagamaan,
pluralisme, terorisme dan korupsi.

Masih terjerembabnya bangsa ini dalam multiketerpurukan, saya kira lebih disebabkan oleh semakin kaburnya standar dan fungsi nilai dalam
kehidupan berbangsa. Bagi para pejabat dan pemegang kendali kebijakan publik, pudarnya standar nilai ini mendorong tumbuh suburnya praktik korupsi dan
runtuhnya supremasi hukum yang diyakini sebagai penyebab utama keterpurukan.

Sementara bagi masyarakat yang berada di luar lingkaran politik dan birokrasi, mendorong mereka bertindak serupa dengan bentuk dan caranya sendiri. Letupan kekerasan dan gesekan antar kelompok massa di tingkat akar rumput yang dalam batas-batas tertentu merupakan aktualisasi dari pudarnya kesadaran untuk menyelesaikan permasalahan melalui mekanismne hukum, adalah bentuk lain dari pudarnya supremasi hukum dan etika moral dalam kehidupan bersama. Maka lengkaplah sudah wajah suram Tanah Air ini.

Di sisi lain, fungsi etika agama dan moralitas sebagai sumber nilai yang kerap dibayangkan para filsuf dan didengungkan para agamawan, hanya ada dalam dunia
metafisik dan tak pernah melangkah ke dunia empirik, saat semua sistem budaya dan keagamaan hanya menjadi penganjur paling getol kesolehan di mimbar-mimbar
khutbah, tumpukan buku dan memenuhi langit berbagai chanel televisi dan radio.

Kala terdapat disparitas mencolok antara normativitas etika dan moral agama dengan praksisnya, maka cara kerja model Machiaveli, Nietsezhe dan Karl Marx tetap merupakan sebuah aksi bagi sebuah moralitas melalui caranya sendiri. Dan bertahap, akan merupakan lonceng kematian agama ketika agama tidak lagi sanggup memberikan jawaban bagi beragam problematika kehidupan dan hanya menyibukkan diri dengan janji-janji syorga.

Maka dalam konteks Ramadhan yang sebentar lagi bertandang, dapatkah bulan mulia ini dijadikan momentum untuk meningkatkan solidaritas kemanusiaan
dan mengembalikan fungsi praksis etika agama dan moralitas sebagaimana semestinya?

Islam, sebagaimana halnya agama-agama besar yang lain, mengajarkan keimanan seseorang diukur dari kesediaannya memberi bagi orang lain yang lebih
memerlukan. Dan Tuhan, akan menolong seseorang yang mau menolong sesamanya tanpa memandang perbedaan yang ada. Ajaran ini hanya penting, baik dan benar, jika
diaktualisasikan dalam tindakan nyata, bukan hanya dikhotbahkan di atas mimbar oleh para agamawan yang jauh dari hidup keseharian.

Dan usaha untuk memfungsikan ajaran agama ini, secara pragmatis menemukan relevansinya di tengah berbagai permasalahan yang mencekik leher bangsa dan kehidupan kita berbangsa.

Bulan-bulan suci keagamaan; seperti Ramadhan, Idul fitri, Idul Adha dan lainnya, merupakan moment tepat untuk merenungkan kembali peran agama dalam turut
menyelesaikan berbagai persoalan kemanusiaan. Apalagi tampak selama ini, ritual keagamaan masyarakat cenderung bersifat formalistik. Kesholehan seseorag
hanya diukur dengan ukuran formal sembari mengesampingkan kesholehan yang berorientasi
kemanusiaan.

Dalam konteks puasa yang diwajibkan itu, tentu tidak semata merupakan ibadah yang berorientasi ketuhanan an sich yang merupakan konsekuensi teologis ketundukan
hamba kepada Tuhannya. Lebih dari itu, puasa harus juga diberi makna kemanusiaan. Karena pada hakikatnya Tuhan menurunkan agama bukan untuk kepentingan-Nya.
Agama hadir untuk memperkenalkan nilai-nilai ketuhanandengan tujuan akhir, kesejahteraan umat manusia.

Demikian pula teologi –beserta seperangkat ibadah yang ada di dalamnya- harus diberi makna kemanusiaan. Dengan pemaknaan teologis seperti itu, maka
pembicaraan konseptual tentang agama, senantiasa berkaitan dengan persoalan ril kehidupan manusia.Ketaatan kepada Tuhan harus berimplikasi pada
pemecahan masalah kemanusiaan.

Agama harus dijadikan praksis sosial untuk mengatasi masalah kemanusiaan. Teologi yang selama ini hanya membicarakan Tuhan dan ketaatan manusia kepadan-Nya, harus diberi orientasi kemanusiaan. Itu artinya, harus
mengembalikan ritus agama menjadi aksi, sebuah fungsi revolusioner agama yang pernah dicontohkan para nabi, namun selama ini tampak terpendam.

Di tangan para nabi, agama hadir sebagai perangkat revolusioner bagi pembebasan umat dari berbagai persoalan hidup kemusiaan. Peran praksis agama ini
pernah dicontohkan oleh Nabi Musa saat membebaskan pengikutnya dari otoritarianisme Fir’aun, penguasa Mesir Kuno. Juga pernah dicontohkan Nabi Isa (Yesus ) saat membebaskan bangsa Yahudi dari kekaisaran otoriter Romawi yang kala itu dipimpin Herodes. Pun pernah dicontohkan Nabi Muhammad saat membebaskan
masyarakat Arab dari tradisi nenek moyang yang irasional dan dungu.

Maka di tangan para nabi, agama hadir sebagai perangkat pembebasan masyarakat yang tertindas. Karena memang secara normatif, pembebasan seseorang atau
komunitas sosial dari derita kemiskinan, kebodohan, ancaman ketertindasan, perilaku tidak adil, adalah tujuan pokok pewahyuan agama. Disini pula lah
sebenarnya terletak inti utama ajaran Islam, inti ritual puasa, zakat, shodoqah, idul fitri dan lainnya.

Tentu saja, sebagai sebuah aktivitas keagamaan yang bersifat kultural individual, puasa tidak bisa diharapkan memperbaiki keterpurukan bangsa secara
drastis, karena persoalan keterpurukan bersifat politis-struktural. Sehingga penyelesaiannya pun dimulai dan digerakkan dari tubuh pemerintah sendiri. Sungguh
tidak fair, lembaga agama dituntut untuk memberantas serta menangkap para koruptor, karena yang paling bertanggungjawab adalah pemerintah. Itu tugas lembaga
dan pejabat negara, meski agama melalui seperangkat ritusnya memberi inspirasi, motivasi, dan memainkan fungsi sosiokultural untuk turut terlibat dalam pengentasan berbagai persoalan kehidupan manusia.

Tapi tampak jelas, jawaban yang diberikan agama selama ini jauh dari memuskan (untuk tidak mengatakan mengecewakan). Jawaban fundamentalistik diajukan sebagai upaya untuk menegaskan Islam memang agama yang sempurna dan telah memberi jawaban yang lengkap atas semua masalah. Sementara itu jawaban sekularisme seakan-akan ingin melarikan diri dari kenyataan, seolah-olah agama hanyalah uruan ritus belaka yang berorientasi ketuhanan. Sedangkan masalah kemanusiaan harus dicarikan solusinya di luar agama.

Harus ada jawaban lain di luar fundamentalisme dan sekularisme. Karena itu, diperlukan sebuah dasar-dasar intelektual untuk intrepretasi yang radikal terhadap hakekat dan arti dalam pelaksanaan ritus-ritus agama guna menyingkap “harga kemanusiaan” yang tertimbun dalam ritus-ritus formal keagamaan. Dalam orientasinya yang lebih pragmatis, dekonstruksi seperti ini diperlukan untuk mengantarkan kreatifitas yang melampaui obsulitisme (fundamentalisme) dan sekularisme umat dalam menjawab tantangan diskursus kontemporer: keadilan, pembelaan terhadap kemanusiaan, demokrasi, kebebasan manusia sebagai individu dan kewajibannya terhadap lingkungan.

Sebab, ketika anjuran kesholehan hanya berhenti pada himbauan normatif semata, maka bukan hanya bagi Nietsezhe tuhan telah mati tiga abad yang lalu. Namun malaikat pun telah pingsan bersama para filsuf dan agamawan dengan membawa anjuran moralnya.

Bahwa, “Berbuat baik kepada orang lain dan tidak mementingkan diri sendiri,” semua orang sepakat. Tetapi orang yang sama bisa berbuat kejam dan menidas melalui sistem ekonomi, politik, tanpa merasa berdosa karena dilindungi seperangkat undang-undang yang disusun para tiran. (***)

No comments: