Oleh, Buya A. A. Aru Bone
A. PENDAHULUAN
Satu diantara sejumlah hal yang teramat perlu diperhatikan dalam memahami matan (redaksi) hadist adalah mengetahui sebab-sebab lahirnya hadist. Lantaran, pemahaman terhadapnya akan membantu memahami hadist secara –lebih- baik. Urgensi serupa, hampir mirip dengan pemahaman tentang sebab-sebab turunnya suatu ayat Al-Qur’an.
Imam Ibn Taimiyah berpendapat, “Mengetahui sebab itu, menolong dalam memahami al-Hadist dan ayat al-Qur’an. Lantaran, mengetahui sebab dapat mengetahui musabbab (akibat).”
Saya akan jelaskan terlebih dahulu pengertian Asbaabul Wuruudil Hadist secara singkat disini. Saya berusaha agar penjelasan singkat ini dapat memberi gambaran sederhana tentang salah satu cabang ilmu-ilmu hadist tersebut.
Secara etimologis (lughatan), asbaabul wuruud merupakan susunan idaafah dari kata asbaab yang merupakan bentuk jamak taksir atau irregular plural nouns dari kata sabaab, yang berarti SEBAB atau segala sesuatu yang dapat menghubungkan kepada sesuatu yang lain. Dan kata wuruud yang artinya, KEDATANGAN, atau bisa juga diartikan, penyebab terjadinya sesuatu. Kata wurud merupakan bentuk isim masdar (kata benda abstrak yang dibentuk dari kata kerja). Dalam tashrifiyyah kata tersebut berasal dari fi’il madhi (kata kerja lampau)-nya WARADA, fi’il mudory-nya YARIDU, lalu dibentuk menjadi isim masdar, WURUUDAN, yang berarti DATANG atau TIBA atau SAMPAI.
Secara terminologis (ishthilahan), Imam as-Suyuthi mendefinisikan asbaabul wuruud dengan, “Sesuatu yang menjadi thoriq (jalan atau metode) yang menentukan maksud suatu hadist yang bersifat umum atau khusus, mutlaq atau muqayyad, dan untuk menentukan ada atau tidaknya naskh (penghapusan permberlakuan) dalam hadist tertentu, dan lain sebagainya.
Prof. Said Aqil Husein al-Munawwar mengomentari defenisi as-Suyuthi ini dengan mengatakan, jika defenisi itu dicermati, tampaknya lebih mengacu pada fungsi asbaabul wuruud yang, diantaranya mencakup, untuk menentukan ada tidaknya naskh-mansukh dan lain-lain. Jadi, menurut Aqil, kurang tepat jika defenisi itu diberikan untuk cabang ilmu hadist Asbaabul Wuruud. Aqil lebih setuju dengan defenisi yang diberikan oleh Prof. Hasbi Ash-Shiddiqy yang mendefenisikan dengan:
“Ilmu yang dengannya diketahui sebab-sebab dan zaman (konteks) yang turut dalam hadirnya suatu hadist.” (Terjemahan versi penulis).
Ada juga ulama yang mendefenisikan asbaabul wuruud mirip dengan defenisi asbaabul nuzul dalam studi ilmu-ilmu Al-Qur’an (uluumul Qur’an). Saya terjemahkan saja defenisi itu dengan, “Sesuatu (dapat berupa peristiwa atau pertanyaan) yang terjadi pada waktu sebuah hadist disampaikan oleh Nabi SAW.”
Ada sejumlah defenisi lagi yang diungkapkan sejumlah ulama ahli hadist klasik. Tapi, seperti lazimnya defenisi yang diberikan terhadap setiap sesuatu, selain dapat membantu memberikan gambaran atas sesuatu tersebut, pada sisi lain definisi juga membatasi gambaran tentang cakupan sesuatu itu. Adalah hanya untuk tuntutan akademis lah, definisi terhadap sesuatu tetap diketengahkan untuk memberi identifikasi meski disertai kekurangan.
Maka perlu saya tegaskan disini, ketiga definisi di atas tidaklah secara bulat utuh tanpa benjol, mampu menggambarkan cakupan substansi cabang disiplin ilmu hadist asbaabul wuruud. Tapi, setidaknya bisa kita harapkan memberi semacam gambaran sederhana tentang kajian itu. Karena ketiga definisi tersebut saya rasa masih belum cukup, kita juga dapat menambahkan bahwa, asbaabul wuurud selain mengkaji sesuatu, baik berupa peristiwa, pertanyaan atau sebab-sebab, tapi juga mengkaji otoritas Nabi saat menyampaikan suatu hadist. Penegasan ini saya rasa perlu, sebab selain berperan dalam otoritasnya sebagai Utusan Allah, dalam kesehariannya Nabi Muhammad juga merupakan seorang yang berperan dalam otoritasnya sebagai pemimpin masyarakat, pemimpin politik, panglima perang, hakim, kepala keluarga, dan sejumlah peran lain Rasulullah yang disebutkan dalam sejarah Islam. Untuk itu, kiranya asbaabul wurud juga mengkaji, dalam otoritas apakah Nabi Muhammad menyampaikan suatu hadist.
Bahkan, Prof. Khaled Abou El Fadl, guru besar Fiqh dan Ushulul Fiqh pada University of California at Los Angeles (UCLA) dalam beberapa bukunya secara teoritis menyinggung pembahasan tentang pentingnya memperhatikan dialektika yang terjadi antara otoritas teks, konteks, otoritas pengarang -dalam pembicaraan kita adalah Nabi sendiri- dan konteks pembaca teks. Dia juga menekankan pentingnya membedakan fungsi dan status sebuah hadist Nabi dalam kaitannya dengan latar belakang hadirnya hadist tersebut. Pembedaan itu berimplikasi pada nilai imperatif masing-masing hadist dalam kaitannya dengan fungsi hadist sebagai salah satu sumber hukum dalam hukum Islam. Ini karena terkait erat dengan konteks dan otoritas Nabi saat menyampaikan suatu hadist.
Berikut saya kutipkan agak panjang pernyataan Khaled Abou El Fadl dalam bukunya And God Knows The Soldiers, The Authoritative and Authoritarian in Islamic Discourse. Diantaranya ia menulis:
In the discourse on the prophet’s legacy (siirah), not all of the pophet’s acts are of equal imperative value. Rather, their value is dependent upon their categorization. Some of the sunnah is tasyri’iyyah (intended by the prophet to be legislative) and some constitutes af’al jibiliyyah (personal behavior not intended by the prophet to be legislative). The non legislative (jibiliyyah) category includes sunnah that relates to specialized or technical knowledge on things such as medicine, commerce, agriculture, or war. It also includes matters that are peculiar to the person of the prophet such as number of his wives or sawm al wisal (puasa wisal, yakni puasa sehari atau beberapa hari penuh tanpa berbuka. Malam, siang sore pagi, puasa terus). The legislative (tasyri’iyyah) is divided into matters relating to the prophet’s roles as a messenger of God or as a head of state or as a judge.
Furthermore, the legislative acts of the prophet could elucidate five or six different types of legal categories, such acts could indicate an obligation (fard), duty (wajib), recommended (manduub or mutahabb), permissible (mubaah) reprehensible or disaproved (makruh) or forbidden (haraam). These injuctions could telate to matters of ibadaat (laws of worship regulating the relationship between humans and God), mu’a,malat (acts relating to civil and commercial intercourse regulating the relationship between human beings) or aadaab (sometimes called isti’dhaniyyat), precedents that advise and educate on matters relating to manner and form).
A specific system of analysis certains category, and one must be very careful not to jump from one category to another without clear and persuasive evidence.
For exemple, a Sunnah relating to adaab (manner) cannot be used, by it self, to support an imperative ruling on ibaadaat or mu’amalat (worship or civil interactions). However, an adaab Sunnah may elucidate the proper etiquette in conducting business or performing ibadaat. Consequently, a point of aadaab may relate to aadaab al-mu’amalaat (the proper manners in undertaking civil interaction) or aadaab al-ibadaat (the proper manner in performing worship). This sunnah is not a part of ibaadat or mu’ama’laat proper, but is part of proper etiquette to be followed in performing mu’aamalat or ibaadaat.
Lebih dari yang disebutkan oleh Khaled Abou El Fadl, mempelajari hadist dengan memperhatikan sebab-sebab khususnya dan illat (alasan hukum) yang melatarbelakangi hadirnya sebuah hadist dibutuhkan karena, ada hadist yang sepintas tampak umum, tetapi setelah dikaji secara seksama, ternyata ada illat hukum yang menyertainya.
Maka, jika illat hukum itu hilang atau berubah, harusnya diikuti perubahan status hukum atas masalah tersebut. Dalam kajian Ushulul Fiqh (metodologi atau juga filsafat hukum Islam) kita juga telah mengenal kaedah (rumusan teoritis) yang mengatakan.
“Status hukum suatu masalah berubah sesuai dengan perubahan alasan penetapan hukumnya.”
Hubungannya dengan kaedah di atas, lebih lanjut saya ingin mengatakan bahwa, dalam upaya memahami hadist haruslah diketahui variable-variable yang melingkupinya, bahkan dimana dan untuk tujuan apa hadis tersebut dimunculkan Nabi. Lantaran berbagai hadis itu membicarakan hal-hal yang berkenaan dengan banyak masalah, ada yang bersifat lokal, partikular, temporal, ada juga yang berfungsi sebagai perinci atau penjelas bagi ayat-ayat al-Qur’an tertentu. Ada juga yang menjelaskan banyak hal yang tidak terdapat dalam al-Qur’an. Bahkan, seperti yang telah diingatkan oleh Khaled Abou El Fadl, ada hadist yang bermuatan tasyri’iyyah (menjadi ketetapan atau sumber penetapan hukum) dan ada juga yang af’al jibiliyyah (perilaku atau tatakrama kehidupan Nabi yang tidak menjadi ketetapan hukum atau sumber hukum).
Lalu, harus juga dipisahkan antara hadis yang bersifat umum dengan khusus, antara yang transejarah dengan yang lokal-partikular, karena semuanya mempunyai ketentuan dan pemberlakukan hukum tersendiri.
Maka sekali lagi, untuk melakukan semua hal di atas, kita membutuhkan beberapa metode, diantara yang utama adalah, asbabul wuruud al-hadist bagi hadist-hadist yang memiliki asbaabul wurrud-nya.
Setelah mengetengahkan beberapa definisi dan penjelasan sejumlah pakar dalam PENGANTAR ini, saya berharap kita mendapat gambaran umum tentang cakupan, objek pembahasan, signifikansi dan fungsi salah satu cabang dari cabang-cabang ilmu hadist, yakni asbaabul wuruud.
B. MACAM-MACAM ASBAABUL WURUUDIL HADIST
Tentang asbaabul wuruudil hadist, Imam Muhammad Ibn Idris as-Syafi’i atau lebih dikenal dengan Imam As-Syafi’i, dalam kitabnya Ar-Risaalah mengingatkan, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Berikut saya sajikan poin-poin penjelasan beliau dalam kitab itu.
Pertama, ada kalanya suatu hadist lahir karena Rasulullah ditanya tentang sesuatu hal oleh para sahabat. Akan tetapi, dalam periwayatan (transmisi)-nya, si periwayat tidak menyampaikan hadis tersebut secara sempurna (misalkan, tidak menyebutkan pertanyaan yang melahirkan jawaban tersebut). Atau, hadist tersebut hanya diriwayatkan oleh orang yang hanya mendengar atau mengetahui jawaban Rasulullah tersebut. Namun ia tidak mengetahui masalah atau latarbelakang yang melatari jawaban Rasulullah pada hadist tersebut.
Dengan demikian, ada kalanya hadist yang kita ambil atau terima dari kitab-kitab hadist kurang lengkap jika dilihat dari konteksnya, terutama Kutub as-Sittah (kitab hadist yang enam); Shoheh Bukhori, Shoheh Muslim, Sunan Abi Dawud, Sunan at-Tirmizi, Sunan an-Nasa’i, dan Sunan Ibn Majah.
Seperti hadist-hadist yang merupakan jawaban atas suatu pertanyaan atau penjelasan atas suatu peristiwa, namun pertanyaan atau peristiwa yang melatarinya tidak disertakan dalam periwayatan. Jika hal-hal tersebut tidak kita ketahui, maka akan sangat berpotensi melakukan kesalahpahaman dalam memahami dan menyimpulkan hadist seperti itu.
Kedua, ada kalanya Rasulullah menetapkan suatu ketentuan atas suatu masalah. Kemudian pada kesempatan lain, menyangkut masalah yang sama, beliau menetapkan pula suatu ketentuan yang tampaknya berbeda. Akan tetapi, sebagian orang tidak mengetahui peristiwa yang melatarinya dalam kesempatan berbeda itu, sehingga mengesankan ada ketidakkonsistensi atau bahkan pertentangan. Padahal sebenarnya bukanlah demikian.
Maka memahami matan hadist dengan memperhatikan asbaabul wuruud-nya, akan sangat mengantarkan kita untuk mendapatkan pemahaman yang, minimal mendekati apa yang dimaksudkan Nabi saat mencetuskan hadist tersebut.
Diantaranya, dengan cara ini pula, maka kesan inkonsistensi bahkan pertentangan antar hadist bisa ditemukan jalan keluarnya (saya ingin katakan juga, untuk mencari solusi masalah kesan pertentangan antara hadis, ada beberapa metode lain selain melacak asbaabul wuruud-nya. Metode-metode lain itu adalah: metode kompromi (jamak), tarjih –melacak untuk menentukan yang paling unggul, dan metode nasikh. Hal-hal tersebut dibahas dalam kesempatan lain).
Lantas, apa saja asbaabul wuruud suatu hadist? Imam as-Suyuthi menjelaskan, bahwa asbaabul wuruud dapat dikategorikan tiga macam: (1) Mengetahui asbaabul wuruud yang sebabnya dari ayat-ayat tertentu al-Qur’an. (2) Dari yang berupa hadist itu sendiri. (3) Dari keterangan yang berkaitan dengan para pendengar atau para sahabat Nabi.
Selanjutnya, saya akan menjelaskan ketiga point tersebut. Untuk membantu pemahaman kita, saya akan sertakan pula masing-masing satu contoh hadist disertai asbaabul wuruud-nya.
(1) Sebab yang berupa ayat al-Qur’an
Sebab ini disebabkan oleh ayat Al-Qur’an yang turun dalam bentuk umum, namun yang dikehendaki oleh ayat tersebut adalah makna khusus. Contohnya, firman Tuhan pada Surah al-An’am:82.
Saya Terjemahan: "Orang-orang beriman yang tidak mencampurkan keimanan mereka dengan kezholiman, mereka itulah yang mendapat keamanan dan merekalah yang diberi petunjuk." (Qs. Al-An'am:82)
Saat ayat ini turun, sebagian sahabat nabi memperselisihkan apa yang dimaksud dengan kata dhulmun (kezholiman) pada ayat tersebut. Ada yang mengartikannya dengan al-jaur (aniaya), ada pula yang mengartikannya dengan mujawatul hadd (melanggar aturan). Tak mau terus berselisih, mereka lalu mengadu kepada Nabi dengan mengajukan pertanyaan yang bersifat mempertanyakan. Nabi lalu menjelaskan kepada mereka bahwa yang dimaksud oleh kata tersebut adalah as-syirk (syirik atau menyekutukan Tuhan). Keterangan ini terdapat dalam hadist yang diriwayatkan Imam al-Bukhori dari Abdullah Ibn Mas'ud yang terjemahan sebagai berikut:
Qutaibah Ibn Said telah memberitakan kepada kami. (Qutaibah berkata) Jarir telah memberitakan kepada kami dari Al A'masy dari Ibrahim dari Alqomah dari Abdullah Ibn Mas'ud semoga Allah meridhoi-nya: Ibn Mas'ud berkata: Ketika ayat berikut turun (maksudnya, ayat Al-An'am:82 di atas): "Orang-orang beriman yang tidak mencampurkan keimanan mereka dengan kezholiman, mereka itulah yang mendapat keamanan dan merekalah yang diberi petunjuk." Para sahabat Nabi merasa berat dan berkata: "Siapa diantara kita yang tidak mencampurkan keimanannya dengan perbuatan zholim?" Lalu Nabi memberi bersabda: "Bukan itu maksudnya. Tidakkah kalian pernah mendengar ucapan Lukman kepada puteranya bahwa: "Sesungguhnya syirik (menyekutukan Allah) sungguh merupakan kezholiman yang paling besar." Qs. Lukman:13
(2) Sebab yang Berupa Hadist
Asbaabul wuruud yang tercantum dalam hadist yang satu Asbaabul wuruud kadang tercantum dalam hadist itu sendiri. Sebagai contoh adalah hadist Nabi tentang Iman, Islam dan Ihsan yang terjemahannya sebagai berikut:
Kami diberitakan dari Musaddad, ia berkata: Kami diberitakan dari Isma'il bin Ibrahim, kami diberitakan dari Abu Hayyan al-Qayyimy dari Abu Zur'ah dari Abu Hurairah. Ia berkata: "Pada suatu hari Rasul berada bersama para sahabat, lalu seorang pria datang kepada belIau lalu bertanya: "Apakah iman itu?" Beliau menjawab, "Iman adalah kamu percaya kepada Allah dan malaikat-Nya, percaya dengan adanya pertemuan dengan-Nya, dan dengan rasul-rasul-Nya, dan kamu percaya dengan adanya hari kebangkitan." Ia bertanya: "ASpakah Islam itu?" Beliau menjawab: "Islam yaitu kamu menyembah Allah dan tidak menyekutukan-Nya, mendirikan sholat, menunaikan zakat yang diwajibkan, dan berpuasa pada bulan Ramadhan. Ia bertanya: "Aakah ihsan itu?" beliau menjawab,"Hendaknya kamu menyembahkan Allah seakan kamu melihat-Nya. Tapi jika kamu tidak melihatnya, sesungguh-Nya Dia melihat mu. Dia bertanya lagi: "Kapan hari kiamat itu?" Nabi menjawan, "Orang yang ditanya tidak lebih tahu dari yang bertanya. Akan tetapi aku akan beritahu kamu tanda-tandanya, (yaitu) apabila seorang budak perempuan melahirkan tuannya, apabila pengembala unta dan ternak berlomba-lomba dalam bangunan; dalam lima hal tidak ada yang mengetahuinya kecuali Allah." Kemudian Nabi membaca ayat al-Qur'an: "Sesungguhnya Allah, hanya pada sisi-Nya saja pengetahuan tentang hari kiamat (Qs. Luqman:34). Orang yang bertanya itu pun pergi, Nabi lalu berkata: "kembalikanlah dia," akan tetapi para sahabat tidak melihat apa-apa (mungkin maksudnya sesuatu yang ucapan Nabi itu ditujukan), maka beilau bersabda: "(orang yang bertanya) Itu adalah Jibril yang datang untuk mengajarkan tentang agama kepada manusia."
Pada hadist di atas tampak jelas, bahwa asbaabul wuruud-nya merupakan pertanyaan seorang lelaki (Jibril) kepada Nabi Muhammad.
Dalam salah satu keterangannya, guru kami Prof. Ali Mustofa Ya’qub pernah menyampaikan, bahwa hadis diatas dijadikan landasan oleh sejumlah ulama dalam menetapkan rukun iman, rukun Islam dan defenisi Ihsan. Tapi perlu saya sampaikan, bahwa matan (redaksi) hadist yang sanad (jalur trnsmisi)-nya diterima melalui sahabat Nabi Abu Hurairah diatas, kurang lengkap. Untuk mendapatkan gambaran matan yang lebih utuh, saya sarankan agar merujuk ke matan hadis yang sama, tapi sanad-nya berpangkal pada sahabat Nabi, Ibn Umar.
b. Asbaabul Wurrud tercantum dalam hadist yang lain
Sering pula asbaabul wuruud suatu hadis terdapat dalam informasi hadist lain yang sanad-nya berlainan. Contohnya, hadist tentang keutamaan niat berhijrah yang sanadnya berlainan. Untuk matan Arab-nya hadist ini silahkan merujuk pada Kitab Shohih Bukhori, hadist nomor 6689, hal. 2088.
Saya hanya terjemahkan sebagai berikut:
Terjemahnya:
(Imam Bukhori berkata) Kami diberitakan oleh Qutaibah bin Said, (Qutaibah berkata) Kami diberitakan dari Abdul Wahab, ia berkata: Aku mendengar Yahya bin Said berkata: Aku diberitakan dari Muhammad bin Ibrahim bahwa ia mendengar al-Qomah al-Laysy berkata: Aku mendengar Umar bin Khattab berkata: Aku mendengar Rasulullah bersabda: Segala amal berbuatan ditentukan dengan niat. Karena itu barang siapa berhijrah karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya ialah karena Allah dan Rasul-Nya. Dan barang siapa yang hijrah untuk memperoleh keduniaan dan wanita yang akan ia kawini, maka hijrahnya itu untuk apa yang ia inginkan.” (Hadist Shohih atau otentik, dibenarkan otensisitasnya oleh Bukhori dan Imam Muslim)
Adapun asbaabul wuruud hadist di atas kita temukan pada kitab Mu’jamul-Kabir karya Imam at-Thabarany yang ber-sanad tsiqoh (transmisi dapat dipercaya) dari Ibn Mas’ud.
C. CARA-CARA MENGETAHUI ASBAABUL WURUUDIL HADIST
Seperti yang sudah saya katakan sebelumnya, hadis-hadis Nabi itu membicarakan banyak hal dan dilingkupi oleh latarbekalang yang menyertainya. Sementara dalam sejumlah ayat al-Qur’an disebutkan, bahwa dalam menyampaikan ajaran agama, Nabi senantiasa dibimbing oleh Allah. Inilah mungkin diantara maksud, bahwa Nabi memiliki sifat Maksum (terpelihara dari kesalahan). Ibn Taimiyah, seperti yang dikutip Nurcholish Madjid, memahami sifat maksum itu adalah, jika saja Nabi melakukan kekeliruan atau kesalahan, ia akan mendapat teguran langsung dari Allah melalui wahyu, intuisi, atau media lain.
Karena itu, tugasnya sebagai pembawa risalah itu pastilah dilakukan Nabi dengan sempurna. Selain itu, tingkat kepatuhan Nabi kepada Allah juga sangat tinggi. Bahkan, tingkat kecerdasannya pun adalah yang paling tinggi di antara manusia.
Saya juga ingin tegaskan lagi, bahwa selain berfungsi sebagai seorang Utusan Allah, Nabi Muhammad juga menjalankan beberapa fungsi dalam kehidupan masyarakat, keluarga dan pribadi. Lantaran itu, semua hadist yang sampai kepada kita, seharusnya tidak kita pahami secara tekstual an sich. Meski saya akui, mungkin saja suatu hadist tertentu lebih tepat dimaknai secara tekstual, seperti halnya mungkin saja, suatu hadist yang lain juga lebih tepat dimaknai secara kontekstual. Akan tetapi, otoritas Nabi saat melahirkan hadist itu pun harus kita kaji. Apakah ia dalam otoritasnya sebagai Utusan Tuhan, pribadi, atau otoritas tertentu dalam masyarakatnya.
Para ulama dahulu sudah menyadari semua itu. Karena itu mereka telah bersusah payah mengorbankan umur, tenaga, pikiran untuk menemukan sejumlah metode dalam mengkaji hadist. Untuk hal ini, melalui telaah metode ma’aniul hadist kita harapkan akan tersingkap petunjuk atau “sesuatu” yang berada di balik teks-teks hadist tertentu.
Jujur, mempelajari hadist Nabi tidaklah se-simple dan semudah yang dibayangkan orang. Anda akan berdecak kagum saat menelusuri kajian dan metode para ulama lampau yang diwariskan bagi kita untuk mendapatkan pemahaman terbaik atas hadist-hadist Nabi. Tentu saja saya yang bodoh ini tidak mampu menguasainya secara keseluruhan. Lantaran memerlukan pemahaman yang mendalam, pandangan yang teliti dan pengkajian yang meliputi semua teks terkait, serta wawasan yang luas untuk mengetahui tujuan-tujuan syariat dan hakikat-hakikat agama. Di samping itu, juga dibutuhkan keberanian moral yang tinggi dan kemantapan jiwa yang memadai. Pendek kata, belajar hadist dan ilmu-ilmu hadist tidaklah semudah yang dibayangkan orang.
Baiklah. Pertanyaan pokok disini adalah, bagaimana cara mengetahui asbaabul wuruudil hadist? Embrio mengenai ilmu asbaabul wuruud sebenarnya sudah ada sejak masa sahabat Nabi. Hanya saja belum tersusun secara sistematis. Demikian kesimpulan Imam As-Suyuti dalam kitabnya al-Luma’ fii Asbaabi Wuruudil-Hadist. Lalu ia mengalami perkembangan dan disusun dalam kitab-kitab yang sistematis.
Berikut saya sebutkan beberapa kitab yang membahas asbaabul wuruudil hadist. Kita dapat memperoleh informasi tentang asbaabul wuruudil hadist pada kitab-kitab ini. Tapi penting saya tegaskan, tidak semua kitab yang saya sebutkan disini pernah saya lihat, apalagi saya baca. Sebagian ada yang pernah saya baca, sebagian lagi saya kutip dari keterangan beberapa sumber. Berikut kitab-kitab itu:
1.Asbaabul wuruudil hadist karya Abu Hafs Umar bin Muhammad bin Raja al-Ukhbari (380-458 H).
2.Asbaabul Wuruudil hadist karya Abu Hamid bin Kaznah al-Jubary
3.Asbaabul Wuruudil Hadist, kitab ini disebut juga Al-Luma’ fii Asbaabil Wurrudil Hadist. Karya Imam Jalaluddin Abdurrahman As-Suyuti. Beliau membahas asbaabul wuruud dalam kitab ini menurut bab. Dia menyebutkan kira-kira seratus hadist. Ini merupakan kitab terakhir yang beliau tulis dari ratusan karya tulisnya. Namun ajal terlebih dahulu menjemput beliau sebelum menyelesaikan menulis kitab ini.
4.Al-Bayan wa Ta’rif fii asbaabil wuruudil hadist, karya Ibrahim Muhammad bin Kamaluddin al-Hanafy ad-Dimasyqi. Dikenal dengan Ibn hamzah (w. 1054-1120 H/1644 – 1708 M). Dalam kitab ini beliau mencantumkan sekitar 1831 hadist dengan tebal tiga jilid. Kitab ini disusun secara alfabetis berdasarkan potongan hadist yang kemudian dijelaskan asbaabul wuruud-nya. Dicetak pada tahun 1329 H.
Selain itu, kita bisa juga mendapatkan informasi-informasi tentang asbaabul wuruudil hadist pada kitab-kitab tarikh (sejarah) Islam klasik. Meski demikian, tentu saja pada kitab-kitab jenis ini tidak disebutkan secara sistematis bahwa sebuah potongan informasi sejarah merupakan asbaabul wuruud dari suatu hadist. Karena itu, para pengkaji hadist biasanya lebih memilih untuk merujuk langsung pada kitab-kitab yang secara spesifik membahas asbaabul wuruud.
Diantaranya dari kitab-kitab di atas lah, kita bisa melacak informasi-informasi tentang asbaabul wuruud sebagian hadist Nabi Yang Mulai.
D. MEMAHAMI HADIST YANG TIDAK MEMILIKI ASBAABUL WURUUD
Di atas kita telah berbicara tentang hadist yang memiliki asbaabul wuruud. Tapi penting diingat, meski kita berasumsi bahwa (hampir) semua hadist Nabi mempunyai asbaabul wuruud-nya, tapi tidak semua hadist dapat dilacak asbaabul wuruud-nya.
Hal ini bisa terjadi karena beberapa faktor. Diantaranya, mungkin juga hilang, tercecer, tidak tercatat, atau hancur dan dihancurkan dalam bentangan sejarah panjang sejak masa Nabi dengan kita saat ini. Saya ingin katakan, bahwa pergolakan politik dan begitu banyak peperangan dalam sejarah Islam tentu berimplikasi signifikan terhadap eksistensi ilmu pengetahuan di dunia Islam klasik.
Misalkan, penyerbuan bangsa Mongol ke Baghdad yang dipimpin oleh Jengis Khan pada tahun 656H/1258M, kemudian diteruskan oleh cucunya Hulagu Khan. Merupakan salah satu aksi bumi hangus yang teramat dahsyat terhadap semua bangunan peradaban Islam di Baghdad.
Sejarah berulangkali menggambarkan, sungai Tigris di Irak disesaki tumpukan buku yang digunakan para tentara Mongol itu menyeberangkan bala tentaranya. Saking banyaknya buku-buku yang dihanyutkan, air sungai besar itu berubah warna menjadi hitam karena tinta jutaan jilid buku yang luntur.
Penyerbuan itu hanya satu contoh dari sekian banyak peperangan yang perimplikasi negatif terhadap tradisi ilmiah dunia Islam masa lampau. Saya berkeyakinan, semua peperangan itu telah juga melenyapkan begitu banyak pencapaian peradaban adikuasa Dunia Islam yang pernah berjaya sekitar 9 abad.
Jadi, asumsi saya. Meski ada hadist-hadist yang memang tidak mempunyai asbaabul wuruud. Besar kemungkinan begitu banyak kitab yang membahas tentang asbaabul wuruud juga ikut musnah dalam perjalanan sejarah hingga tidak sampai ke tangan kita.
Lantas, bagaimana memahami hadist yang tidak memiliki asbaabul wuruud? Atau katakanlah, mungkin suatu hadist sebenarnya punya asbaabul wuruud, akan tetapi tidak kita temui pada kitab-kitab yang membahas asbaabul wuruud? Atau, asbaabul wuruud-nya pernah dibubukan, tapi kitab itu hancur, hilang dalam perjalanan sejarah hingga tidak sampai ke masa kita.
Disini lah barangkali kita dapat menggunakan metode analisis pemahaman teks atau fiqhul hadist, demikian istilah yang biasa dipakai para ahli hadist. Pembahasan tentang ini akan menguras tenaga dan pikiran.
Pendekatan di atas bisa dipadukan dengan pendekatan historis, sosiologis, antropologis, bahkan mungkin psikososial, seperti yang ditulis Prof. Said Aqil Husein al-Munawwar.
Selain itu, metode Hermeneutik yang ditawarkan oleh Prof. Abou El Fadl dalam bukunya, God’s Name: Islanic Law, Authority and Women, bisa juga dipakai. Yang saya pahami, Abou El Fadl menawarkan pembacaan hermeneutik dalam menelaah otoritas teks dan pengarang teks, kaitannya dengan konteks dan otoritas pembaca teks.
E. PENUTUP
Demikian makalah sederhana ini. MAKALAH INI HANYA SEKADAR PENGANTAR BAGI KAJIAN HADIST DAN ILMU-ILMU HADIST YANG RUMIT DAN KOMPLEKS. Kalau ada kesalahan, kekurangan data, analisa dan sebagainya, itu hanya datang dari diri saya. Kalau pun ada satu, dua titik manfaat dan kebenaran, itu semata-mata karena kemurahan Allah.
Sebelum saya akhiri, selain asbaabul wurud, sejumlah cabang ilmu-ilmu hadist lainnya adalah, Fiqhul Hadist, Jarh wa Ta’dil, Metode Takhrij, Ilmu Rijalul Hadist, Kritik Sanad dan Kritik Matan. Semoga Tuhan mempermudah kita memahami pengetahuan-pengetahuan bermanfaat. Amin. Wallahu A’lam bi ashowab
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Warson, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia (Yogyakarta: 1984)
Abu Abdullah Muhammad Ibn Ismail Ibn Ibrahim Ibn al-Mughiroh al-Ja'fari (Imam al Bukhori), Al-Jami' al-Musnad as-Shohih al-Mukhtasar min 'Umuri Rasulillahi wa Sunanihi wa Ayyamihi (Lebih dikenal dengan Shoheh al-Bukhori) (Beirut: Dar al-Fikr, 1994)
Ahmad Umar Hasyim, Qowaa'idu Ushulil Hadist, (Beirut: Dar al-Fikr, tth)
Abu al-Husein Muslim bin al-Hajjaz an-Naisabury, Al-Musnad as-Shohih al-Mukhtasyar min as-Sunan Nabi. Naqd al-'Adl 'an Rasulillahi saw. (Dikenal dengan Shohih Muslim), (Beirut: Dar al-Fikr, 1993)
Fatur Rahman, Ihktisar Mustalahul Hadist, (Al-Maa’rif, Bandung, 1974)
Ibn Manzur, Lisanul Arab (Beirut: Dar Al-Fikr, 1990)
Jalaluddin Abrurrahman as-Suyuthi, Al-Luma’ fii Asbaabi Wuruudil Hadist, (Beirut: Dar- al-Fikr, tth)
------------, Lubah an-Naquul fii Hamisy Tafsir al-Jalalain. (Edisi Arab cetakan Indonesia oleh Maktabah Usaha, Semarang, tth)
------------, Al-Asybah wa an-Nadhoir fii al-Furu’, Darul Kutub al-Islamy, tth.
Khaled Abou El Fadl, And God Knows The Soldiers, The Authoritative and Authoritarian in Islamic Discourse, University Press of America, Maryland, 1997.
-------------, God’s Name: Islamic Law, Authority and Women, OneWordl Publication, Oxford, 2003
Muhammad Ibn Idris as-Syafi’i, Ar-Risalaah (Beirut: Dar al Fikr, tth)
M. Syuhudi Ismail, Pengantar Ilmu Hadist. (Angkasa, Bandung, 1994)
Said Aqil Husein al-Munawwar, Metode Pemahaman Hadist: Pendekatan Historis, Sosiologis dan Antropologis, Metafora (1998)
TM. Hasbi Ash-Shidiqqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadist (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 1997)
CATATAN KAKI:
Fatur Rahman, Ihktisar Mustalahul Hadist, (Al-Maa’rif, Bandung, 1974), cetakan ke-10 hal. 326.
Dikutip dari M. Syuhudi Ismail, Pengantar Ilmu Hadist. (Angkasa, Bandung, 1994) Cet. Ke-10 hal.66
Ibn Manzur, Lisanan Al-Arab (Beirut: Dar Al-Fikr, 1990) Jilid I hal.44
Ahmad Warson, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia (Yogyakarta: Unit Pengadaan Buku-buku Ilmiah Keagamaan, 1984) hal. 1655.
Jalaluddin Abrurrahman as-Suyuthi, lebih dikenal dengan Imam as-Suyuthi dalam karyanya, al-Luma’ fii Asbaabi wuruudil hadist, (Beirut: Dar- al-Fikr, tanpa tahun), hal.11
TM. Hasbi Ash-Shidiqqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadist (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 1997) Cet. Ke-1 hal. 142.
Lihat, as-Suyuthi, Lubah an-Naquul fii Hamisy Tafsir al-Jalalain. (Edisi Arab cetakan Indonesia oleh Maktabah Usaha, Semarang, tth), hal.5
Khaled Abou El Fadl, And God Knows The Soldiers, The Authoritative and Authoritarian in Islamic Discourse, hal 50-51, University Press of America, Maryland, 1997.
Lebih lanjut, lihat keterangan tentang kaedah Ushul Fiqh tersebut pada, al-Asybah wa an-Nadhoir fii al-Furu’, karya Imam as-Suyuthi. Penerbit Darul Kutub al-Islamy, tth, hal. Maaf saya lupa halamannya, tapi kebetulan saya masih hafal kaedah tersebut.
Muhammad Ibn Idris as-Syafi’i, Ar-Risalaah (Beirut: dar al Fikr, tth) h. 213
Ibid, h. 214.
As-Suyuthi, Op. Cit., h.18-19
Abu Abdullah Muhammad Ibn Ismail Ibn Ibrahim Ibn al-Mughiroh al-Ja'fari (lebih dikenal dengan Imam al Bukhori), al-Jami' al-Musnad as-Shohih al-Mukhtasar min 'Umuri Rasulillahi wa Sunanihi wa Ayyamihi (kitab ini dikenal dengan juga dengan Shoheh al-Bukhori) (Beirut: Dar al-Fikr, 1994) jilid 3 nomor hadist 4776, hal.1502.
Ahmad Umar Hasyim, Qowaa'idu Ushulil Hadist, (Beirut: Dar al-Fikr, tth) h. 260.
Imam al-Bukhori, Ibid., Jilid 3 Nomor Hadist 4777 hal. 1502.
Lihat juga pada Abu al-Husein Muslim bin al-Hajjaz an-Naisabury (Dikenal dengan Imam Muslim), al-Musnad as-Shohih al-Mukhtasyar min as-Sunan Nabi SAW. Naqd al-'Adl 'an Rasulillahi saw. (Dikenal dengan Shohih Muslim), (Beirut: dar al-Fikr, 1993) Jilid I, nomor hadist 9, hal. 28.
Imam Bukhori, Op.Cit., nomor hadist 1, hal.21 dan nomor hadist 6689, hal.2088
Said Aqil Husein al-Munawwar, Metode Pemahaman Hadist: Pendekatan HIstoris, Sosiologis dan Antropologis, Metafora (1998) h.32.
No comments:
Post a Comment