Sunday, March 11, 2007

LSI: Kinerja Partai Buruk Sejak Pemilu 2004

Harian Rakyat Merdeka, edisi 23 Maret 2006 halaman 1

Masyarakat menilai, partai politik (parpol) memiliki kinerja paling buruk dalam kurun waktu dua tahun setelah Pemilu April 2004 lalu hingga Maret 2006 ini, dibanding tiga lembaga lain yang sama-sama dinilai berkinerja buruk, yakni DPR, Kepresidenan dan Polri.Demikian diantara hasil survey terbaru Lembaga Survey Indonesia (LSI) tentang Evaluasi Pemilih atas Kinerja Dua Tahun Partai Politik yang didiskusikan di Hotel Sari Pan, Jakarta Pusat, kemarin (22/Maret/2006).

Dari sisi fungsi intermediasi parpol, masih kurang dari separuh total pemilih, yaitu 48 persen, yang menilai bahwa parpol telah berfungsi memperantarai pemilih dengan kebijakan-kebijakan publik yang dibuat. Dibanding tiga lembaga lain, yakni Kepresidenan (71 persen), Polri (69 persen) dan DPR (52 persen) yang juga dinilai buruk, parpol adalah lembaga yang paling buruk kinerjanya,” kata peneliti utama dan juga Direktur Eksekutif LSI, Saiful Mujani Ph, D.

Selain dari sisi intermediasi, lanjut Saiful, penilaian paling buruk juga dilihat dari fungsi accountability parpol atau keterbukaan tentang keputusan-keputusan publik yang dibuat parpol. “Misalkan, publik tidak tahu bagaimana keputusan parpol-parpol untuk beberapa isu publik yang krusial, seperti kenaikan harga BBM dan impor beras. Publik menilai, secara umum, parpol masih jauh dari accountable. Hanya sekitar 1 dari 10 pemilih yang mengetahui sikap parpol yang mereka pilih untuk dua isu tersebut. Jadi, 90 persen pemilih atau hampir semua pemilih tidak tahu sikap dan keputusan parpol. Karena itu pada umumnya, publik menilai bahwa parpol-parpol yang mereka coblos saat Pemilu, tidak memperjuangkan aspirasi mereka selama dua tahun ini,” terang pria yang menyabet predikat lulusan terbaik studi ilmu-ilmu politik pada program doktoral di Ohio State University, Amerika Serikat itu.

Menurut dosen Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah ini, akuntabilitas parpol ini penting, karena selama ini parpol nyatanya gagal menjelaskan posisi mereka kepada pemilih dalam isu-isu penting. “Misalnya, ternyata pemilih tidak pernah tahu apa sikap partai yang mereka pilih tentang kenaikan harga BBM dan impor beras. Itu artinya, tidak terjadi pertanggungjawaban partai kepada konstituennya,” kata Saiful.

Kondisi tersebut, jelas pria yang akrab disapa Kak Ipung ini, merupakan warning serius bagi demokratisasi Indonesia. Apalagi, upaya mengoptimalkan fungsi intermediasi parpol tersebut terhambat oleh terfragmentasinya sistem kepartaian. “Ini akan membuat pemerintahan demokrasi tidak mudah bekerja. Energi politik akan semakin banyak diserap untuk politicking di tingkat elite, bukan untuk mengoptimalkan fungsi intermediasi parpol atas kepentingan publik dan keputusan-keputusan yang dibuat elite partai,” katanya.

Kondisi-kondisi tersebut, lanjut Saiful, berimplikasi pada merosotnya identifikasi diri pemilih dengan parpol yang secara gradual merosot dari 49 persen pada November 2003, menjadi 27 persen pada Maret 2006 . Angka ini, kata Saiful, terlalu rendah jika dibandingkan dengan negara-negara demokrasi seperti Amerika Serikat yang mencapai 66 persen atau Eropa Barat yang mencapai 61 persen.

Rendahnya hubungan emosional ini, tambahnya, berpotensi menurunkan tingkat partisipasi rakyat dalam pemilihan umum atau potensi rakyat untuk memilih golput semakin tinggi. Sebelum menjelaskan temuan-temuana tersebut, terlebih dahulu Saiful menjelaskan bahwa responden dalam survei nasional ini 1.200 orang dengan margin of error pada masing-masing survey 2,6 persen pada tingkat kepercayaan 95 persen. Survey tersebut menggunakan metode multistage random sampling.

Disarikan oleh Buya A.A. Aru Bone dari presentasi survei LSI, 22 Maret 2006, Hotel Sari Pan Pacific Jakarta


No comments: