Diterbitkan Harian Rakyat merdeka, Kamis 6 November 2003/ 11 Ramadhan 1424H
Oleh: Buya A. A. Aru Bone
Mahasiswa sering disebut agen perubahan (agent of social Change) karena potensi intelektual yang dimiliki untuk melakukan perubahan. Namun, kekecewaan yang terus menerus diberikan oleh kondisi politik sekarang, seperti telah membangun kokoh rasa antipati mahasiswa terhadap kehidupan politik yang ada.
Mahasiswa adalah ujung tombak perubahan. Kalimat itu selalu menjadi kebenaran atas kesaksian rakyat dalam melihat evolusi maupun revolusi zaman. Di berbagai belahan dunia, komposisi mahasiswa selalu menjadi penting dalam setiap pergerakan politik.
Di Indonesia, mahasiswa terus menunjukkan giginya sebagai wakil tulus suara arus bawah. Menuju tahun 2004 nanti, posisi mahasiswa menjadi krusial sebagai “pengeras suara” seluruh anak negeri. Dimanakah gerakan mahasiswa dalam konstalasi politik sekarang?
Dari dulu, mahasiswa sudah berperan dalam sejarah sosial Eropa sejak universitas di Bologna, Paris, dan Oxford pada abad 12 dan abad 13 didirikan. Sejak saat itulah lahir apa yang kemudian dikenal sebagai International Stunents Day. Dari sanalah rekognisi dan apresiasi terhadap perjuangan mahasiswa terus mendapatkan anggukan setuju dari rakyat yang tak berdaya.
Di Indonesia, mahasiswa sering disebut sebagai agen perubahan alias agent of social change karena potensi intelektual yang dimiliki untuk melakukan perubahan. Namun, kekecewaan yang terus menerus diberikan oleh kondisi politik sekarang, sepertinya telah membangun kokoh rasa antipati mahasiswa terhadap kehidupan dan pelaku politik (di pemerintahan).
Sedangkan, tanpa peran serta mereka di pemilu 2004 yang notabene agenda politik negara terpenting tahun depan, sebenarnya akan membuat Ibu Pertiwi dalam bahaya. Karena itu berarti, mahasiswa tidak lagi menjadi pandu bagi Ibunya. Sehingga kata “tersesat” akan menjadi bahaya yang menunggu. Jangan sampai trauma politik praktis politisi kotor justru menghambat pergerakan sesungguhnya. Pengawasan dan pemilihan parpol yang teruji keberpihakannya pada rakyat harus ditemukan dan dijaga!
Kita tinjau kembali ketika mahasiswa dan kaum intelektual di Portugal ketika melancarkan perjuangan menentang diktator Antonio Salazar. Rezim Salazar adalah musuh utama mahasiswa. Begitu pula pergolakan mahasiswa yang pernah terjadi di Amerika Latin, Eropa, Paris, Jerman dan seterusnya, yakni di bawah kekuasaan yang tak bernurani.
Dulu, bagi para mahasiswa yang hidup pada zaman revolusioner, di saat rakyat yang tertindas dan terkukung oleh kolonialisme, feodalisme, imperialisme dan kediktatoran, mereka berontak, bergolak dan terus melawan.
Oleh karena itu, sebagai mahasiswa yang terus melanjutkan tugas idiologis dari generasi sebelumnya, harus terus berjuang demi kepentingan rakyat! Era teknologi informasi yang merubuhkan dinding rahasia kekuasaan harus digunakan sebagai landasan perjuangan dan dilaksanakan dalam kerangka yang konstitusional.
Perang informasi, perebutan pengaruh, dan pembangunan citra, dalam menyambut Pemilu langsung 2004 nanti haruslah dimenangkan oleh mereka yang sejatinya berjuang demi kemajuan bangsa Indonesia. Mengapa? Karena, pada pemilu besok, status-quois akan berusaha mempertahankan komposisi 80:20, miskin:kaya yang selama ini ada. Sehingga tidak bisa tidak, mahasiswa harus ikut langsung terjun dan memastikan bahwa parpol yang tidak memihak rakyat harus dikalahkan.
Bahwa politik adalah masalah yang terlalu penting untuk diserahkan kepada politisi semata. Ungkapan ini sama artinya, pemilu dan partisipasi mahasiswa mempunyai hubungan yang tinggi dan vital, mereka harus saling menjaga.
Jangan sampai pemilu dimanipulasi oleh segelintir orang. Perlawanan ekstra parlementer maupun sesuai konstitusi (ikut pemilu) sebaiknya dijalankan secara pararel. Akhirnya, Shakespears pun berujar: ”Sekali lagi lawan, kita maju bersama!”. Kalau tidak, pake konde saja!*** Wallahu a’lam bi ashowab