Sunday, March 11, 2007

Berlebaran Di Tengah Nestapa

Oleh, Buya A.A. Aru Bone

Seperti tahun-tahun yang lalu, tahun ini kita kembali merayakan Idul Fitri. Hari-hari besar keagamaan seperti Idul Fitri, merupakan moment tepat untuk kembali merenungkan makna praksis etika agama dalam kehidupan kita bermasyarakat dan berbangsa.

Apalagi tampak selama ini, ritual keagamaan masyarakat cenderung bersifat formalistik. Kesholehan seseorang hanya diukur dengan ukuran formal sembari mengesampingkan kesholehan yang berorientasi kemanusiaan.

Padahal kita semua percaya, bahwa Islam bukanlah agama yang berorientasi ketuhanan an sich. Alih-alih mengajarkan, kesholehan pada Tuhan harus berimplikasi positif pada perbaikan dan peningkatan kehidupan bermasyarakat. Tuhan, misalkan, mengancam akan melempar ke nereka ahli sholat yang tidak memiliki kepedulian pada pengentasan kemiskinan, pemeliharan anak yatim, etc.

Islam adalah agama yang mengajarkan, kesholehan individual haruslah diberi orientasi sosial. Ketaatan kepada Tuhan harus berimplikasi pada perbaikan kehidupan antar sesama manusia. Karena itu teologi dan seperangkat ritus yang ada padanya, haruslah diberi orientasi kemanusiaan.

Lantaran pada hakikatnya, Tuhan menurunkan agama bukan untuk kepentingan-Nya. Agama hadir untuk memperkenalkan nilai-nilai ketuhanan dengan tujuan akhir, kesejahteraan umat manusia.

Dengan pemaknaan ritus keagamaan seperti itu, maka pembicaraan konseptual tentang agama, senantiasa berkaitan dengan persoalan ril kehidupan manusia. Ketaatan kepada Tuhan harus berimplikasi pada pemecahan masalah kemanusiaan. Atau setidaknya, memberi inspirasi terhadap pemecahan beragam problem kemanusiaan.

Perenungan makna praksis etika agama, merupakan bagian inheren dalam upaya untuk memfungsikan etika agama dalam realitas sosial. Hal ini semakin menemukan relevansinya di tengah beragam keprihatinan dan krisis dalam kehidupan kita bermasyarakat dan bernegara beberapa tahun terakhir.

Lantas, apa makna praksis Idul Fitri yang bisa diharapkan bersumbangsih positif pada pemecahan beragam krisis dalam kehidupan kita berbangsa?

Idul Fitri adalah juga hari kemenangan. Disebut demikian, karena pada hari itu kaum beriman yang berhasil mengendalikan hawa nafsu, tampil sebagai pemenang dalam pertarungan abadi antara kebaikan dan keburukan dalam dirinya. Itulah yang tercermin dalam ungkapan “wal faizin” yang artinya, semoga kita termasuk orang-orang yang memperoleh kebahagiaan dan kemenangan.

Kemenangan dalam hal ini adalah kemenangan dari sebuah perjuangan besar, yakni perjuangan menaklukan kecenderungan negatif hawa nafsu, yang sesungguhnya merupakan perjuangan paling sulit dilakukan manusia dibanding perjuangan-perjuangan lain, seperti perjuangan fisik.

Makna Idul Fitri sangat penting untuk kita patrikan dalam diri dan kemudian kita aktualisasikan dalam kehidupan nyata yang diliputi oleh berbagai krisis dewasa ini. Kehidupan kita dilanda krisis multidimensi, sejak krisis ekonomi, sosial politik hingga krisis lingkungan dan energi. Krisis-krisis ini sesungguhnya berpangkal pada krisis moral sehingga kemudian menjadi krisis kemanusiaan, yaitu krisis yang disebabkan manusia kehilangan jatidirinya sebagai manusia.

Manusia modern, akibat kesombongan dan keangkuhannya, banyak yang terjerembab ke dalam kenistaan dan kehinaan. Mereka jatuh ke dalam pendewaan diri (individualistic) pendewaan bendawi (materialistic) dan pendewaan birahi (hedonistic). Manusia seperti ini dalam Al-Qur’an disebut sebagai manusia-manusia yang jatuh ke titik nadir kemanusiaan (asfala safilin).

Maka Ramadhan yang baru lewat mengajarkan kita “Imsak,” yang secara harfiah berarti mengendalikan diri, adalah pesan Ramadhan yang paling penting agar kita mampu mengendalikan diri dari segala hal buruk, merusak dan merugikan diri maupun orang lain.

Imsak” secara filosofi mengandung arti, agar kita kaum beriman menjadi orang-orang yang mampu mengatasi masalah mendasar umat manusia, yakni problema ambivalensi diri –problem adanya dua kecenderungan dalam diri kita terhadap kebaikan dan keburukan.

Imsak” dalam hal ini mengajarkan kita agar mampu memenangkan kebaikan atas keburukan, lalu mengembangkan kebaikan itu menjadi keterbaikan untuk diri dan sesama. Inilah yang disebut amal shaleh, yakni suatu perbuatan yang berdimensi kebaikan dan berimplikasi kemaslahatan. Tidak sempurna iman seseorang tanpa melakukan amal, dan tidaklah sempurna amal itu tanpa membawa dampak kebaikan dan kemaslahatan bagi sesama.

Dalam konteks kehidupan kita berbangsa, sejak delapan tahun lalu, kita sebagai bangsa mengalami keterpurukan akibat krisis multidimensi berkepanjangan. Tentu krisis ini menggoyahkan sendi-sendi kehidupan kita berbangsa, bahkan secara relatif merusak citra bangsa di mata internasional.

Bangsa Indonesia yang dikenal religius dan memiliki penganut muslim terbesar di dunia, ternyata juga dikenal sebagai bangsa yang paling korup, produsen ekstasi terbesar di dunia, atau bangsa yang tidak ramah terhadap sesama. Bangsa Indonesia mengalami kegamangan akibat kehilangan pegangan nilai-nilai kebenaran seperti kejujuran, keadilan dan kebersamaan. Ini merupakan tantangan kebudayaan. Bila tidak kita antisipasi sejak dini, tidak mustahil bangsa ini akan semakin terpuruk.

Upaya-upaya menuju arah perbaikan, sekecil apapun itu, merupakan mutiara berharga yang harus terus didorong untuk memperbaiki harkat dan martabat bangsa ini. Umat Islam yang menjadi penduduk mayoritasnya, mengemban tugas ini.

Maka sebagai langkah awal, sudah sepantasnya kita melakukan evaluasi bersama. Untuk melakukan pemetaan terhadap kesalahan, kebodohan, kelalaian di masa lalu untuk hari esok. Langkah kedua, adalah niat untuk melakukan perubahan. Langkah ketiga, adalah melakukan aksi dengan agenda dan sasaran yang telah ditetapkan bagi kepentingan umat.

Pada tataran ini, perubahan mesti diawali dengan perubahan individual menuju perubahan sosial. Demikian juga perubahan struktural (yang terkait erat dengan kebijakan-kebijakan pengelolaan negara), harus lebih dahulu dikedepankan sebelum menggagas perubahan kultural. Langkah selanjutnya adalah, menjalin kebersamaan di antara semua komponen bangsa. Tentu semua ini membutuhkan ikhtiar nyata dan sungguh-sungguh. Dengan kerja keras dan gerak kebudayaan yang sistematis, strategis, konkrit dari semua anak bangsa, Insyallah Indonesia kita akan menjadi lebih baik. *** Wallahu a’lam bi ashowab


Selamat Idul Fitri, Mohon Maaf Lahir Batin.

Jakarta, Minggu malam 29 Oktober 2006

No comments: